Sengkarut kebebasan berpendapat belakangan mengemuka mengisi ruang debat. Bukan hal baru memang, ketika kebebasan berekspresi terganjal dengan makna intoleransi. Sementara kata intoleransi pun masih sering dipakai sebagai “peluru” advokasi.
Toleransi bagi dunia, adalah ibarat setitik air yang melegakan dahaga. Mengapa demikian? Karena kita tidak hidup dan berjalan sendiri di muka bumi ini, tidak juga harus selalu bertemu dengan orang-orang yang sama setiap hari.
Di tengah masyarakat yang heterogen, terdapat pula silang pendapat antara satu dan yang lainnya. Sangat tidak mungkin, kita mengatur orang lain agar selalu sama dengan yang kita inginkan. Logika sederhananya, seorang anak kembar pun boleh memiliki pendapat yang berbeda. Maka demikian halnya dengan seluruh umat manusia yang ada di dunia.
Faktor Penyebab Intoleransi
Banyak hal yang sebenarnya bisa kita pelajari dari isu-isu intoleransi, alih-alih memperdebatkan siapa yang seharusnya menerima perbedaan atau mengakui keseragaman. Intoleransi sebenarnya muncul hanya karena 2 faktor, yaitu ketidaktahuan dan kebiasaan. perhatikan saja kasus-kasus intoleransi yang sering mengemuka.
Faktor pertama yang mempengaruhi munculnya intoleransi adalah ketidaktahuan terhadap sebuah objek, yang kemudian memicu reaksi dari mereka yang hanya berprasangka. Perhatikan saja pada kasus Islamophobia dan stigma “Islam Teroris”. Saya yakin, mereka yang memperlakukan Islam dengan kebencian, adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam.
Di luar konteks keyakinan beragama, ketika seseorang ingin memberikan penilaian terhadap suatu hal, sudah seharusnya mereka melakukan riset yang mendalam melalui sumber-sumber yang seharusnya. Beredarnya stigma “Islam Teroris”, tidak lain berawal dari sebuah aksi “gagal paham” makna jihad, yang pada akhirnya menimbulkan prasangka negatif terhadap Islam secara keseluruhan, sebagai kelompok yang melegalkan pembantaian atas nama agama.
Lebih jauh lagi, ternyata intoleransi dalam hal ini, bisa juga dipicu oleh faktor internal, yang menyalahartikan beberapa kaidah yang seharusnya baik, namun dipraktikkan pada jalan yang keliru. Hal itulah yang dinamakan kesalahan penafsiran oleh oknum. Imbasnya, kelompok atau organisasi tersebut secara keseluruhan lah yang akan mendapatkan stempel negatif, dari orang di luar golongan mereka, yang juga tidak memiliki pengetahuan yang cukup.
Faktor kedua adalah kebiasaan. Mari kita lirik hal sederhana di dalam keseharian kita. Bagaimana kita mendefinisikan kata “bagus”? Mungkin kita akan mengatakan, bagus adalah seperti lukisan pemandangan dengan gambaran gunung, sungai dan pedesaan, dengan bentuk yang bisa dipahami serta paduan warna yang pas.
Atau sebagian lain berpikir bahwa “bagus” seperti motor atau mobil yang mulus, mengilap, tanpa dempul, dan bisa digunakan tanpa perawatan yang merepotkan. Pada organ tubuh seperti kulit, kita akan mengatakan “bagus” pada kulit yang terawat, cenderung putih atau kuning langsat, tidak berkerut dan tidak bersisik.
Pertanyaan sederhana pun muncul. Apakah seorang pelukis aliran surealisme atau ekspresionisme tidak pernah punya karya yang bagus? Mereka selalu menorehkan kuas dengan membuat wujud-wujud khayalan dan tidak logis, atau bahkan membuat bentuk sesuai imajinasi mereka sendiri.
Tapi nyatanya, lukisan mereka pun laku di pasaran, bahkan diburu oleh banyak ruang pameran. Contoh lain, bagaimana dengan para penggemar kendaraan rakitan dari besi-besi tua dan mesin bekas? Nyatanya kendaraan yang mereka punya bisa juga mengantar empunya sampai ke banyak kota. Juga tentang kuit manusia, apakah tidak ada orang yang berkulit bagus di Afrika?
Toleran Butuh Ilmu
Kebiasaan di tengah masyarakat semacam itulah yang kemudian disebut sebagai stereotype negatif. Jika kita mengatakan cantik hanya untuk mendefinisikan mereka yang berkulit bersih, maka secara tidak langsung kita sudah membuat “dinding pemisah” bagi mereka yang tidak memiiki ciri-ciri demikian. Padahal, apa yang dimiliki secara natural, tentu saja akan menjadi hak asasi yang paling asasi, karena tidak akan mungkin kita tolak atau kita ubah dengan mudah.
Selebihnya, intoleransi kemudian dipertajam dengan memunculkan peraturan-peraturan yang awalnya bertujuan untuk menertibkan golongan yang dinilai melakukan pemaksaan penyeragaman. Namun, alih-alih menertibkan, peraturan tentang intoleransi justru menjadi bumerang, terutama dalam hal keyakinan.
Utamanya, bagi mereka yang merasa keyakinan adalah suatu hal yang harus dibela habis-habisan, karena berbeda pendapat dalam menafsirkan satu keyakinan, berarti berbeda Tuhan. Padahal, jika kita mau sejenak duduk bersama, bukankah ketidaktahuan dan stereotype negatif bisa diredam, hanya dengan satu sikap rendah hati, untuk mau berbagi dan menerima ilmu dengan lapang hati?
Wajar jika kita merasa aneh dengan hal yang tidak biasa. Kita bahkan sangat boleh mengatakan tidak suka. Tapi, ketika hal yang tidak kita sukai tidak mungkin seketika musnah di muka bumi, cukup terima saja sebagai pelengkap warna.
Penulis: Rahma Roshadi