“Kamu Jawa tulen, kulitnya hitam, nanti besar jadi pembantu. Hahaha.”
“Kamu Islam, ya? Tuhan kita beda, kita nggak boleh berteman.”
Di sebuah siang yang gerah, keisengan menjemput keponakan pulang sekolah memberikan pengalaman yang mengernyitkan kening. Obrolan itu terdengar di tengah anak-anak kelas 3 SD yang sedang berkumpul mengelilingi penjual jajanan. Sudah perlukah untuk ajarkan perbedaan pada anak?
Saya pernah berpikir, dunia anak-anak adalah masa yang menyenangkan. Tidak pernah ada hal merepotkan pikiran tentang kebutuhan, persinggungan, termasuk untuk menjelaskan perbedaan. Tapi pemandangan barusan membuyarkan semuanya.
***
Dunia melesat semakin cepat bersama teknologi yang dibangunnya. Belakangan, manusia pun mulai terlihat sangat fokus pada siapa dirinya, serta bagaimana ia harus bertahan dalam eksistensi bersama circle pilihannya. Alhasil, pemahaman tentang lingkungan yang pluralis bukan lagi menjadi hal menarik untuk digubris.
Pemikiran ini seharusnya terlihat sebagai sebuah masalah untuk orang dewasa. Padahal, semua seharusnya sadar bahwa anak-anak yang tumbuh di lingkungan semacam ini pun akan melihat dan meniru, dan menjadikannya pelajaran mendalam untuk diterapkan ketika ia dewasa kelak.
Kita tahu dan banyak pengamat juga sepakat bahwa anak usia dini adalah “The Golden Age”. masa-masa keemasan yang tidak pernah terulang kembali pada kesempatan yang sama sepanjang hidup manusia. Anak-anak adalah spons terbaik pada setiap apa yang didengar dan dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya.
Teori Toleransi untuk Ajarkan Perbedaan
Sebuah teori menarik dari Emmanuel Levinas menjadi landasan yang tepat untuk menghargai perbedaan. Levinas mengungkap teori “penampakan wajah”. Semua orang memiliki wajah yang kadang ia banggakan keelokannya, namun sejatinya ia tidak pernah bisa melihat sendiri wajahnya tanpa bantuan alat serupa cermin.
Tetapi, cermin pun membisu ketika wajah kita berada di depannya, karena memang sifat benda adalah mati. Penampakkan wajah hanya akan berarti manakala wajah kita dilihat orang lain. Orang tersebut lah yang akan melihat dan mengartikulasikan wajah kita dengan multi makna misalnya; wajah ceria, wajah cerdas, wajah priyai, wajah tampan, wajah cantik, wajah duka, senyum, wajah susah, wajah gelisah dan sebagainya.
Artinya, sekeras apapun kita membentuk diri sendiri, manusia tidak akan lepas dari orang lain yang akan menilai. Manusia tetap membutuhkan “cemin” yang jujur, yang tidak lain adalah orang di sekitarnya yang tentu saja tidak akan mungkin sama satu sama lain.
Oleh karena itu, pada dasarnya manusia hidup ini akan selalu berdampingan dan bersinggungan dengan orang lain dimanapun kita berada. Sehingga harmonisme kehidupan bermasyarakat harus selalu tercipta.
Perbedaan antar suku, budaya, agama dan faktor fisik lainnya hanya sebatas lafal atau pengucapan, ritualitas atau peribadatan, tempat ibadah atau sembahyang namun perbedaan tersebut bukanlah sebuah kebasahan untuk terjadinya sikap intoleran hingga anarkhisme.
Pentingnya Pendidikan Keberagaman
Senang atau tidak, kenyataannya, kita hidup dalam masyarakat yang beragam dan semakin beragam. Sebuah pertanyaan basa-basi, “Dari mana (asal Anda)?” barangkali kini semakin rumit dijawab. Pertanyaan tersebut ternyata bukan sekadar bermakna tempat tinggal, melainkan sudah menjurus kepada daerah bahkan kesukuan.
Tak ada satu orang pun bisa memilih bagaimana warna kulitnya, suku, keturunan siapa, atau logat bahasa yang dia punya. Maka dengan segala macam hal “paten” tersebut, sudah seharusnya kita tidak punya hak untuk mengubah, apalagi menghakimi perbedaan.
Pendidikan semacam inilah yang penting dikenalkan kepada anak-anak, karena perbedaan yang terlihat saat ini disinyalisasi akan semakin kompleks ketika mereka dewasa kelak. Faktanya, teknologi tidak seutuhnya membantu manusia mendapatkan informasi yang tepat. Adakalanya orang justru tergirin opininya pada pendapat yang rasis dan intoleran.
Bayangkan, jika pertanyaan teman sekelas tadi terekam oleh sang anak hinga dewasa. Ditambah sumber informasi dunia maya yang terekam dengan keliru. Maka benih rasis dan intoleran sudah berhasil di tanam pada generasi mendatang. Bahwa orang Islam hanya boleh berteman dengan orang Islam saja, orang Jawa selalu berkulit hitam, penduduk ibu kota tidak boleh berteman dengan anak desa dan sebagainya.
Karakter dan kepribadian yang terbentuk pada anak merupakan fundamental education yang dapat mewarnai seluruh sifat dan gaya hidupnya di kemudian hari. Anak-anak juga berhak tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun Indonesia bukanlah negara Islam.
Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Sebuah pertanyaan sederhana, “muliakah sikap menghakimi perbedaan?”
Mendesaknya kebutuhan akan pendidikan anak usia dini juga dipicu oleh hasil temuan-temuan baru, yang mempertegas bahwa perkembangan intelektual terjadi sangat besar pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Pada usia empat tahun seorang anak sudah membentuk 50 % intelegensi yang akan dimilikinya setelah dewasa, 30 % lagi pada usia delapan tahun dan 20 % siswanya pada tertengahan akhir dasa warsa kedua.
Potensi anak dalam hal perkembangan social-emosional (Social-Emotional Develompment) dapat dipertegas kematangannya sejak usia dini tentang arti kesetiakawanan, kepedulian, saling berbagi, dan saling menghargai serta toleransi terhadap sesama tanpa membedakan satus sosialnya dan bahkan warna baju teman di sekitarnya.
Tips Ajarkan Perbedaan pada Anak
Demikian jelaslah bahwa toleransi umat beragama yang ditanamkan pada anak semenjak dini sangat diperlukan, karena dengan pemahaman tersebut dapat dijadikan pedoman bersikap, bertingkah laku didalam hidup bermasyarakat nantinya. Maka sangat diperlukan peran orang dewasa di sekitarnya:
1. Perhatikan sikap Orang Tua
Orangtua yang ingin mengajarkan anak agar menghargai keragaman harus peka terhadap stereotip budaya yang mungkin telah mereka pelajari dan berusaha untuk memperbaikinya. Pastikan ayah dan ibu juga mencontohkan sikap menghormati orang lain di depan anak.
2. Ingatlah bahwa Anak Selalu Mendengarkan
Sadarilah cara berbicara tentang orang yang punya perbedaan. Hindari membuat lelucon tentang stereotip tertentu. Meskipun beberapa di antaranya mungkin tampak menyenangkan, tetapi hal ini dapat merusak sikap toleransi dan rasa hormat.
3. Pilih Hiburan Anak dengan Hati-hati
Saat ini media dan budaya pop sangat memengaruhi pembentukan sikap anak. Oleh sebab itu, orangtua harus jeli dalam memilih buku, mainan, musik, seni dan video yang akan diberikan ke anak.
4. Akui Dan Hormati Perbedaan Dalam Keluarga
Tunjukkan bahwa keluarga pun menerima kemampuan, minat, dan gaya anak yang mungkin berbeda antar saudara. Hargai keunikan setiap anggota keluarga di rumah.
5. Toleransi Tidak Berarti Menoleransi Perilaku yang Tidak Dapat Diterima
Artinya setiap orang berhak diperlakukan dengan hormat dan harus memperlakukan orang lain dengan hormat juga. mengajarkan perbedaan dan toleransi sekaligus mengajarkan pada anak untuk peduli pada lingkungan, kesehatan bahkan keselamatan orang lain.
Contoh sederhana, ajarkan pada anak menggunakan masker di masa pandemi meskipun tidak sedang sakit, untuk menghormati perasaan orang lain dan saling menjaga kesehatan satu sama lain. Pendidikan toleransi akan sangat menjauhkan diri dari egois dan tidak pernah merasa dirinya bersalah.
6. Bantu Anak Merasa Nyaman Dengan Dirinya Sendiri
Anak-anak yang merasa buruk tentang diri mereka sendiri sering kali memperlakukan orang lain dengan buruk pula. Anak-anak dengan nilai harga diri yang kuat dan menghormati dirinya sendiri cenderung memperlakukan orang lain dengan hormat juga. Oleh sebab itu, pastikan ayah dan ibu membantu anak untuk merasa diterima, dihormati, dan dihargai.
7. Dekatkan Dengan Dunia Yang Beragam
Beri anak kesempatan untuk bekerja dan bermain dengan orang lain yang berbeda dari mereka. Saat memilih sekolah, coba pilih tempat yang punya populasi yang beragam. Ketika orang tua mendorong sikap toleran dan ajarkan perbedaan pada anak, berbicara tentang nilai-nilai yang baik dan mencontohkan perilaku yang baik pula, maka anak-anak otomatis akan mengikuti jejak orangtuanya.
Penulis: Rahma Roshadi