Sekolah merupakan salah satu wadah yang berdampak besar terhadap tumbuh kembang manusia. Para orang tua umumnya rela mengorbankan harta benda demi sang anak mendapatkan pendidikan yang tidak hanya baik dari segi akademik namun juga piawai dalam mengasah cara berpikir.
Secara umum, ada dua jenis sekolah yaitu, Public School atau identik dengan sekolah negeri dan Private School yang identik dengan sekolah swasta.
Kedua jenis sekolah tersebut regulasinya tetap mengacu kepada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan. Namun, untuk sekolah swasta umumnya memiliki kekhususan regulasi sesuai kekhasan sekolah masing-masing. Sekolah swasta berbasis kebudayaan tentu akan berbeda kekhasannya dengan sekolah swasta berbasis keagamaan dan sebagainya.
Hal tersebut bukan berarti sekolah negeri tidak memiliki kekhasan. Ia juga memiliki kekhasan, namun karena sekolah tersebut didirikan pemerintah dan menjadi milik negara, maka setiap regulasinya harus mampu mengayomi seluruh warga negara Indonesia. Kecuali, sekolah negeri tersebut adalah Madrasah yang berada dibawah naungan Kementerian Agama maka, mereka akan berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam.
Sekolah negeri umumnya dipilih karena selain menawarkan mutu yang baik, juga karena biaya sekolah cenderung affordable. Selain itu, sekolah yang didirikan oleh pemerintah tersebut –lazimnya- tidak mengharuskan siswa atau siswinya mengenakan atribut keagamaan tertentu. Sehingga orang Islam yang memilih tidak berjilbab pun bisa sekolah di sana tanpa harus mengenakan jilbab.
Inklusifitas dan universalitas sekolah negeri tersebut beberapa waktu belakangan ini bak mengalami degradasi yang justru mencitrakan eksklusifitas. Hal tersebut semakin mencuat setelah viralnya pewartaan mengenai seorang siswi sekolah negeri yang mengalami tekanan psikis akibat kewajiban mengenakan jilbab.
Mengenakan jilbab oleh sebagian kalangan umat Islam diyakini sebagai sebuah keharusan yang tidak boleh ditolak terlebih saat mereka telah baligh. Saya pribadi tidak mengelakan pemahaman tentang kewajiban mengenakan jilbab bagi seorang wanita Islam. Namun, kita juga tidak boleh menepiskan bahwa ada pula pemahaman yang lain yang tidak mutlak mengharuskan seorang wanita Islam mengenakan jilbab.
Sebagai lembaga pendidikan yang tidak berbasis pada agama tertentu, pemangku kebijakan di sekolah negeri harusnya clear dan paham betul dengan tafsir-tafsir mengenai jilbab tersebut. Kalau siswi boleh mengenakan jilbab, maka siswi Islam yang memilih tidak mengenakan jilbab pun tidak boleh dipaksa mengenakan jilbab.
Fenomena tersebut juga menjadi PR besar untuk pemerintah agar semakin peka terhadap gejala-gejala kekakuan beragama yang mulai tumbuh subur di lembaga pendidikan. Secara pribadi, para guru berhak memiliki pemahamannya sendiri tentang agama. Akan tetapi, di saat yang sama mereka juga harus bisa menempatkan hal tersebut secara profesional dan proporsional.
Sekolah negeri, sekolah yang didirikan, dikelola, dibiayai dan dimiliki oleh pemerintah harus tetap menjadi sekolah yang bernafaskan pada inklusifitas dan universalitas yang menampung semua kalangan dan latar belakang apapun.
Kalau pemerintah berhasil melakukan penyetaraan kualitas sekolah melalui zonasi, maka pemerintah juga pasti mampu mendegradasi sikap-sikap kekakuan beragama yang ada di lembaga pendidikan.
Penulis: Dewi Praswida (Persaudaraan Lintas Agama Semarang)