Beberapa waktu yang lalu saya melihat dalam sebuah video yang berlatar tempat di Inggris, seorang pekerja medis perempuan keluar dari rumahnya hendak berangkat bekerja. Kemudian beberapa tetangganya memberikan tepukan tangan. Riuh, gemuruh seperti saat pertandingan sepakbola ketika gol tercipta. Sang pekerja medis itu menangis, terharu dengan dukungan dari para tetangganya, atau mungkin juga sedih karena harus meninggalkan keluarganya di rumah.
Hanya dia yang tahu. Yang jelas tidak setiap hari ia diperlakukan seperti itu oleh tetangganya ketika hendak berangkat bekerja. Meskipun pekerjaan sebagai pekerja medis terhitung sebagai profesi mulia, namun baru kali ini ia begitu dielu-elukan bak pahlawan. Hal ini karena kiprahnya berjuang di garda terdepan dalam melawan pandemi Covid-19 yang sedang marak akhir-akhir ini.
Kemudian saya membaca sebuah berita yang sangat ironis, berbanding terbalik dengan perisitiwa di video tadi. Jenazah seorang perawat di Semarang yang meninggal setelah terinfeksi Covid-19 ditolak oleh warga. Ia terkena Corona ketika bekerja merawat pasien yang terinfeksi virus tersebut. Seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak sepantasnya mendapatkan perlakuan buruk seperti itu.
Ketika terjadi penolakkan pemakaman itu tidak terbayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Luka kesedihan karena ditinggalkan harus ditambah dengan kebingungan dan kemarahan karena tidak bisa mendapatkan tempat pemakaman.
Mendengar peristiwa ini, saya merasa bahwa sungguh ini adalah sebuah gambaran dari titik nadir kemanusiaan. Apakah kita telah kembali ke masa awal peradaban, dimana Tuhan harus mengutus burung gagak untuk mengajari manusia cara-cara penguburan. Padahal kita sudah sampai di masa turunnya syariat yang sempurna yang juga menandakan bahwa kemampuan akal manusia telah sempurna. Namun ternyata kita masih disuguhi adegan dimana akal dan nurani manusia masih dikalahkan oleh ketakutan yang tidak berdasar.
Syariat telah mengajarkan,
“هَلْ جَزَآءُ الْإِحْسٰنِ إِلَّا الْإِحْسٰنُ”
“Bukankah balasan kebaikan itu kebaikan juga?” (Ar-Rahman : 61)
Seorang pekerja medis yang setiap hari mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan kita semua, mengutamakan kepentingan orang banyak dibandingkan keluarganya sendiri yang harus ia tinggalkan ketika bertugas, lantas ketika ia meninggal mengapa begitu kejinya diperlakukan. Air susu dibalas dengan air tuba. Ayat ini dikemanakan?
Mungkin mereka yang menolak itu juga lupa, kalau mengurusi jenazah itu hukumnya fardhu kifayah. Kalau tidak ada yang mengurus, yang dosa ya semuanya. Ketika melihat saudara, tetangga atau orang sekampung yang meninggal, kewajiban kita adalah segera mengurusi jenazahnya.
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ
“Segerakanlah (pengurusan) jenazah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Demikian sabda baginda Nabi (saw).
Tidak kah mereka merenung, bagaimana kalau yang meninggal karena Covid-19 itu adalah keluarga mereka sendiri. Tentunya mereka tidak mau juga diperlakukan seperti itu. Sungguh mereka telah melupakan prinsip emas yang diajarkan Baginda Nabi besar Muhammad (saw) kurang lebih 1400 tahun yang lalu, bahwa perlakukanlah orang seperti halnya kamu ingin diperlakukan.
Mereka para pasien atau pun para korban meninggal dari pandemi ini butuh simpati, bukan stigmatisasi. Alih-alih melakukan penolakan, berikanlah dukungan kepada keluarga yang ditinggalkan. Daoam kondisi yang rentan ini kita harus saling menguatkan.
Usir ketakutan dan kepanikan terhadap jenazah Covid-19 itu dengan pengetahuan bahwa pemerintah sudah menetapkan suatu protokol standar untuk pemakaman jenazah korban Covid-19 ini sehingga aman dari resiko penularan. Protokol ini telah sesuai dengan standar dari kementrian kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Jenazah Covid-19 telah diberikan cairan disinfektan kemudian dibalut plastik khusus, lalu dimasukkan kedalam peti kayu yang kuat dan tebal, minimal setebal 3 cm. Lalu peti itu dipaku di beberapa tempat dan disegel lagi dengan silicon.
Tidak cukup sampai di situ petugas yang membawanya pun harus memakai APD (alat pelindung diri) lengkap sehingga aman ketika membawa dan menguburkannya. Belum lagi lokasi pemakaman yang harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman dan minimal 30 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk minum.
Seharusnya dengan protokol yang seketat ini tidak ada lagi kekhawatiran dari masyarakat terhadap jenazah korban virus Corona.
Kita harus tahu bahwa hingga saat ini tidak ada laporan dari negara mana pun di seluruh dunia mengenai kasus penularan virus Corona melalui jenazah. Berkerumun di tengah jalan untuk melakukan penolakkan, justru situasi seperti ini lah yang rawan penularan.
Dalam kondisi seperti ini saatnya kita saling menunjukkan solidaritas dan dukungan. Mereka yang telah meninggal telah selesai tugasnya di dunia ini, tugas kita yang masih hidup adalah, mengambil ibroh dari kehidupannya dan menguburkan jenazahnya dengan sebaik-baiknya. Melakukan stigmatisasi dan memusuhi jenazah korban Corona sama sekali berlawanan dengan akal sehat ditinjau dari sisi mana pun.
Sumber: Islamrahmah.id