Rene Descartes pernah berujar, Cogito Ergo Sum – Saya Berpikir maka Saya Ada. Kalimat ini sejatinya merupakan sebuah konsep keberadaan alam pikir manusia sebagai satu-satunya pembeda dengan makhluk atau benda lainnya. Namun sadarkah kita, jika belakangan konsep ini mulai terdelusi?
Kegundahan itu sebenarnya berawal dari selentingan yang membuat saya mengernyitkan kening. Seorang kawan yang sangat eksis di media sosial dengan berbagai kegiatan, pada suatu kesempatan bertemu muka ia justru berkeluh kesah karena kehidupan yang dijalani sangatlah melelahkan.
Waktunya berkumpul dengan keluarga banyak tersita. Ia tak punya banyak waktu untuk membaca, menulis dan melakukan aktivitas upgrade skill lainnya. Baginya, yang penting seluruh dunia tahu bahwa ada aktivitas yang sedang ia jalani, dengan postingan-postingan “bergaya sibuk”.
Lain halnya dengan kawan yang lain, yang juga seorang content creator dengan berbagai unggahan video keren di youtube. Ia selalu berdalih apa yang diunggahnya adalah sebuah usaha agar orang mau memahami dirinya, ideologinya, kegiatannya dan segala hal yang selama ini banyak dipertanyakan.
Bahkan, kawan kedua ini tak segan mengatakan niatnya untuk mengajak orang lain memiliki pemahaman yang sama setelah menonton video-video unggahannya. Pertanyaan simpel dari saya, “berhasil?”, dijawabnya dengan diam.
Manusia terlahir dengan daya pikir dan daya nalar, yang membuatnya bisa mengambil keputusan. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu, berucap atau menahan komentar, melangkah atau berhenti. Proses berpikir di dalam kepala seharusnya bukan saja tidak membohongi aktivitas fisik dan perasaan hati, tetapi juga membuahkan hasil konkret yang berwujud.
Selfie sebagai Bukti Eksistensi
Di awal, saya sampaikan sebuah delusi dari konsep cogito ergo sum, yang sebenarnya sudah menjelma menjadi selfito ergo sum. Saya selfie maka saya ada. Kalimat ini memang karangan saya sendiri, tapi faktanya itu semua adalah masyarakat kebanyakan saat ini.
Mari sejenak cermati linimasa media sosial, yang pasti semua punya, dengan kepala dingin. Ambil saja yang terdekat yaitu whatsapp. Di antara story yang berseliweran, apa saja klasifikasi yang bisa kita simpulkan?
Sebagian besar, baik dalam bentuk foto atau tulisan, pasti mempertontonkan aktivitas yang sedang dijalani, entah di kantor, sekolah, arisan, nonton, hasil kerja, bahkan healing-sebuah terminologi baru untuk “ingin kabur dari kenyataan”- yang kerap dilakukan oleh generasi muda. Sisanya, screen shoot kata-kata bijak yang seolah “gue banget” atau “nih buat kamu!”
Tidak ada yang salah dengan unggahan story semacam demikian. Hanya sayang, di balik kesibukan yang ditangkap kamera, ada beragam gaya hidup santai yang membohongi khalayak luas. Dengan menunjukkan pada dunia bahwa “kita sibuk”, sudah sah sebagai alasan pembenar bahwa kita pantas menjadi orang yang harus didengar, dihormati bahkan dipuji.
Tak sedikit orang yang bermodal foto kegiatan, namun nol di pekerjaan. Selfie sudah mengalahkan prestasi, seperti halnya unggahan social media yang lebih penting daripada karya nyata. Hal yang lebih memprihatinkan adalah, kebiasaan mempertontonkan kebahagiaan dan kesibukan di dunia maya padahal faktanya pekerjaan itu biasa-biasa saja. Tidak ada hasilnya dan cenderung buang biaya.
Sekarang ini sangat mudah mencari orang flexing dengan kenyataan hidup terbelit utang. Banyak juga generasi healing yang sebenarnya tidak terlalu terlihat bekerja keras di kantornya. Berkarya seadanya, organisasi numpang nama, hingga mencari pekerjaan yang terdekat dengan keluarga namun sebaran foto di media sosialnya meraja lela.
Padahal faktanya, frasa overwork menjadi pembenaran seolah tak pernah melihat orang-orang yang benar-benar ingin membantu meskipun tanpa dibayar. Pengkhidmatan dan pengabdian, mulai disama artikan dengan bekerja yang sangat harus dinilai dengan gaji yang sesuai.
Selfito ergo sum adalah rapor, di mana flexing dan pamer kesibukan di dunia maya demi menunjukkan eksistensi diri lebih penting daripada kualitas dan karya nyata. Mengunggah banyak foto dan video di media sosial, menjadi sebuah kebanggaan meskipun tanpa hasil yang signifikan bagi kemajuan diri, kelompok atau organisasi.
Konsep Usaha-Hasil
Diskusi tentang selfie, flexing dan pamer sana-sini hampir saja ditutup, sebelum akhirnya kawan content creator kembali nyeletuk, “yang penting usaha, ekspektasinya jangan terlalu tinggi.”
Kalimat yang semakin membuktikan bahwa kita sedang dikelilingi oleh orang-orang yang sangat gigih untuk ingin eksis meskipun tanpa hasil konkret. Padahal, sebuah usaha dikatakan berhasil jika terlihat perubahan yang signifikan dan sesuai target. Begitu ‘kan?
Saya punya analogi sederhana dari kehidupan seorang petani, karena kebetulan saya tinggal dekat dengan lingkungan para petani. Mereka yang terlihat hanya mencangkul, menanam dan panen, ternyata ada ilmu dahsyat di baliknya. Sebelum menabur benih, sudah sangat diperhitungkan keunggulan bibit yang dipilih.
Selain itu, pilihan pupuk dan cara pengolahan tanah pun dilakukan dengan sangat cermat dan terukur. Hasil yang diharapkan, panen melimpah tepat waktu. Memperhitungkan siklus tanam-panen hanya membuat saya manggut-manggut. Bahkan seorang petani yang minim pendidikan formal ternayta punya keahlian manajerial.
Mereka sedih jika panen hanya sekadar panen tapi tidak melimpah atau tidak tepat waktu. Di balik kesederhanaan petani, terdapat pemikiran bahwa pekerjaan yang baik adalah yang membuahkan hasil sesuai target kuantitas dan waktu. Maka, cara tanam yang tepat harus menjadi modal, bukan sekadar coba-coba jenis bibit atau pupuk.
Jadi, jika kembali lagi pada kegemaran ngeksis meskipun tanpa hasil, tanpa ekspektasi tinggi, tanpa keinginan untuk bisa memberikan persembahan yang terbaik, yah sudahlah. Berkhidmat itu berat. Bekerja juga jangan sekadar gaya. Kalau masih lebih kental budaya selfie ketimbang berprestasi, lebih baik pulang dan bertani.