Pisau yang tajam lambat laun akan tumpul dan berkarat termakan waktu, kecuali jika selalu diasah dan digunakan. Mungkin itu analogi yang tepat untuk otak kita. Jika saat ini kita mendiamkan diri kita, maka otak kita hanya memiliki arsip-arsip masa lalu. Sebaliknya jika kita menggerakkan diri kita, maka kita akan memiliki masa depan sekaligus menambah arsip arsip baru sehingga segala sesuatu yang pernah dilalui dapat dibagikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Hal ini akan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang minimal bagi keluarga yang merupakan sekup terkecil.
Pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa setelah lulus dari bangku sekolah atau kuliah menandakan akhir dari pembelajaran kita? Apabila ada yang mengiyakan, berarti secara tidak sadar dia menjatuhkan dirinya ke dalam lubang ketertinggalan.
Kenapa dikatakan demikian? Karena jika kita hidup tapi berhenti belajar, maka kita akan menjadi orang konservatif . Dalam arti lain tidak mau menghadapi perubahan dan perbedaan.
Berhenti belajar seolah-olah menganggap dirinya paling benar, padahal sesungguhnya itu ketidakbenaran. Menutup tabir belajar menandakan kesombongan dan merasa berkecukupan. Selain itu berhenti belajar juga sama saja membuat dinding pembatas diri dengan yang lain yang akan menimbulkan sifat sentimen dan individualisme dalam diri seseorang. Itulah mengapa lifelong learning itu penting.
Apa itu lifelong learning? Secara letterlijk lifelong learning adalah pendidikan atau belajar sepanjang hayat. Menurut Arba’iyah Yusuf (2012) lifelong learng berarti sebuah konsep yang menyatakan bahwa proses pendidikan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi usia. Hal tersebut dikuatkan oleh Nur Ani Aziz (2013) yang menjelaskan tujuan dari lifelong learning adalah untuk mengembangkan potensi manusia secara optimal dan menyelaraskan pendidikan wajib belajar dengan pengembangan kepribadian manusia.
Belajar seumur hidup penting selama hayat masih dikandung badan. Entah itu belajar memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Belajar merupakan suatu keniscayaan. Hal ini senada dengan pernyataan, “Tuntutlah ilmu semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat”.1
Pesan yang dinisbahkan oleh Rasulullah SAW kepada kita sangatlah relevan di setiap zaman. Bahkan merupakan pesan keabadian. Ditambah lagi, itu memang penjabaran dari firman Allah Ta’ala “Iqra” (bacalah)2 yang memerintahkan kepada baginda nabi khususnya dan umumnya untuk kita semua agar selalu membaca.
Membaca adalah sebuah proses untuk mendapatkan ilmu. Ilmu sendiri memberikan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan. Sedangkan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan tidak mungkin ditemukan dalam kumpulan kontradiksi.3 Maka marilah kita menjadi orang-orang yang termasuk lifelong learner. Karena menjadi lifelong learner akan menjadi pribadi yang berkarakter.
Karakteristik lifelong learner menurut Eikenberry adalah:
1. Memiliki pola pikir yang tertata,
2. Fleksibel dan dapat beradaptasi dengan baik,
3. Selalu mempelajari sesuatu,
4. Rasa tahu yang besar,
5. Cara belajar yang banyak. Tidak hanya dari membaca atau mendengarkan saja, tapi perpaduan dari keduanya.4
Kaitannya dengan tantangan global tepatnya individualisme. Sifat lifelong learning akan mengikiskan sifat individualisme menjadi makhluk sosial. Dengan prinsip lifelong learning akan menyadarkan kita bahwa hidup itu penuh warna. Warna-warni kehidupan dapat kita temukan dalam keberagaman manusia, keyakinan, lingkungan dan alam yang merupakan anugerah dari Tuhan.
Kontributor: A. Ibrar Ahmad
Referensi:
1. Kitab Kasyf adz-Dzunun karya Musthofa bin Abdullah (1/52) tanpa penyebutan sanad periwayatannya.
2. QS. Al-Alaq ayat 1 (wahyu perdana yang diturunkan kepada Nabi SAW).
3. Filsafat Ajaran Islam, hal. 193.
4. Buku “Kenapa Menulis?” karya Yhe.