Diskusi tentang climate crisis tampaknya masih menjadi topik yang pelik. Alih-alih berujung pada kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan, kondisi justru semakin darurat terutama lautan. Bayangkan, sebuah prediksi keilmuan mengatakan bahwa di tahun 2050 jumlah sampah di laut akan lebih banyak dari ikan dan biota laut lainnya.
Konferensi Laut telah digagas oleh PBB di Portugal Senin lalu (27/6). Pada kesempatan itu, Sekjen PBB Antonio Guteres menyampaikan kekhawatirannya akan kondisi laut yang bukan sekadar rusak, tetapi sudah masuk kondisi krisis. “Situasi ini saya sebut sebagai darurat lautan,” tegas Guteres.
Statement ini tentu harus menjadi bahan perenungan bersama untuk segera bergerak menyelamatkan bumi. PBB bukan sekadar bicara di forum saja, melainkan berada pada tahap peringatan bahwa bumi kita tidak sedang baik-baik saja.
Fakta Laut Sebagai Penopang Kehidupan
Semua kalangan wajib tahu bahwa laut bukan sekadar destinasi healing, spot selfie instagramable atau menikmati sunset. Masih ada yang belum paham bahwa oksigen yang kita hirup setiap hari, sebagian besar bukan dihasilkan dari pepohonan, melainkan, makhuk laut lah yang banyak berperan.
Mikro-organisme kecil di laut bernama fitoplankton adalah penghasil oksigen terbesar, yaitu hingga 80% di Bumi per tahun. Sisanya adalah hasil dari pepohonan. Maka jangan sepelekan masalah darurat pencemaran yang ada di laut meskipun kita tidak bermukim di daerah dekat dengan laut, tidak mencari nafkah dari laut atau tidak suka healing ke laut.
Setiap orang harus benar-benar sadar bahwa saat ini 80% limbah air yang masuk ke laut, tidak didahului pengelolaan yang baik. Hal ini tentu saja akan menjadi racun bagi makhluk-makhluk laut, termasuk fitoplankton yang selama ini sudah membantu kehidupan hewan dan manusia di darat.
Tidak berhenti di sana, jika melihat aktivitas manusia saat ini masih banyak yang belum sadar tentang bahaya sampah plastik yang terbuang ke laut. Gerakan Diet Kantong Plastik hingga Petisi “Pay for Plastic Bag” rupanya tidak cukup membuka mata akan bahaya sampah plastik.
Ada 8 juta ton sampah plastik yang masuk ke laut setiap tahunnya. Dengan jumlah tersebut, maka tak heran jika di awal disampaikan keresahan Sekjen Guteres tentang Ocean Emergency. Bukan tidak mungkin sampah di laut akan lebih banyak dari jumlah ikannya.
Dalam 17 program dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB, pelestarian kehidupan laut ada di nomor 14. Setiap program ini tentu dibiayai besar oleh PBB untuk mewujudkan jargonnya, “Nothing’s Lef Behind in 2030”. Namun demikian, jangan sampai slogan ini hanya berlaku untuk manusia saja, tanpa memperhatikan seperti apa lingkungannya.
Apalagi, setelah kita tahu bahwa kebutuhan oksigen manusia dan hewan ternyata ditopang 80% oleh fitoplankton di lautan.
Bijak Bergerak dan Bersikap
Seklai lagi, program dan dana besar yang digalakkan PBB untuk melestarikan laut tidak akan berhasil tanpa andil dari siapapun yang masih tinggal di bumi. Setiap individu harus sadar dan segera bergerak, untuk menyelamatkan kedaruratan laut demi keberlangsungan hidup bersama.
Pegnelolaan laut yang sustainable barangkali akan sulit jika dilakukan oleh kalangan masyarakat. Namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil peran menyelamatkan bumi. Sebagai orang Indonesia, setidaknya kita harus malu dengan sebuah survey dari YouGov yang mengungkap fakta bahwa 18% orang Indonesia meyakini bahwa perilaku manusia bukan penyebab perubahan iklim.
Survey tersebut secara telak menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara yang membantah terjadinya perubahan iklim. Meskipun hanya 23 negara saja yang menjadi sample survey, namun fakta tersebut seharusnya memberikan tamparan keras bahwa masih banyak orang di Indonesia yang belum teredukasi dengan baik perihal kelestarian lingkungan dan pengelolaannya yang berkesinambungan.
Berdasarkan laporan Brown to Green Report (BGR) 2019, langkah-langkah menghadapai krisis iklim bisa berupa mitigasi dan adaptasi. Mitigasi bertujuan mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Sementara adaptasi bertujuan menyesuaikan diri untuk meringankan dampak buruk perubahan iklim.
Sesederhana mengurangi penggunaan plastik di setiap kegiatan dengan membawa tumbler sebagai pengganti membeli minuman kemasan botol plastik, membawa kantong belanja atau meninggalkan kebiasaan menggunakan sedotan plastik juga sudah sangat membantu dengan konkret mengurangi sampah plastik.
Selain itu, kebiasaan melapisi piring makan dengan plastik di acara-acara akbar dengan alasan meringankan tugas mencuci piring bukanlah langkah yang baik. Di satu sisi tugas menjadi ringan, tapi akibatnya akan ada lebih banyak sampah plastik yang terbuang, tertimbun dan berakhir di lautan.
Membakar sampah plastik juga bukan solusi yang tepat, karena ada banyak bahaya yang tersembunyi di balik asap pembakarannya. Kandungan karbon dan hydrogen dalam plastik yang berkumpul dengan zat klorida dari sisa makanan akan memproduksi dioksin yang berbahaya bagi manusia, meskipun dalam jumlah kecil.
Bukan hanya itu, pembakaran sampah juga sudah jelas menjadi salah satu pemicu penipisan lapisan ozon arena emisi karbondioksida, sehingga meningkatkan efek gas rumah kaca. Maka, tidak ada jalan lain selain meninggalkan kebiasaan menggunakan plastik, mulai dari sekarang!
Rahma A. Roshadi
Sekjen Badan Semi Otonom Sustainable Development Goals IKA-FH Universitas Diponegoro Semarang
Masya Allah… tulisannya sangat mengedukasi. Mubarak Neng Rahma. Tulisannya selalu kereen dan ngangenin.