Praktik diskriminasi, intoleransi dan kekerasan berbasis agama masih kerap terjadi di Jawa Barat. Selain aktor negara, aktor non negara juga berkontribusi terhadap ketidakterpenuhan hak-hak konstitusi.
Terjadi lagi penyegelan tempat ibadah dan lembaga pendidikan milik Ahmadiyah di Sukabumi. Kasus terkait IMB j Gereja Kristen Pasundan (GKP) Bandung, serta larangan beribadah saat natal di Cilebut Bogor. Belum lagi stigma terkait identitas agama yang mendiskriminasi hak untuk mendapatkan pendidikan dan lapangan pekerjaan.
Terkait hal ini, Setara Institute menilai bahwa pemegang regulasi tertinggi dan jajarannya di Jabar dinilai gagal menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Padahal KBB dijamin oleh negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 Deklarasi Universal HAM dan selaras juga dengan UUD 1945 Pasal 28A sampai 28J.
Ketidaksiapan Menerima Perbedaan
Eksklusi sosial terjadi karena sebagian masyarakat masih jauh kesiapannya untuk menerima perbedaan. Padahal perbedaan adalah fitrah. Diciptakan Tuhan.
Di dalam keyakinan agama Islam, setiap manusia lahir ke bumi pasti berbeda. Allah swt menjadikan manusia berbeda secara suku, bahasa, dan bangsa.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” (Q.S. Al-Hujurat ayat 13)
Perbedaaan adalah sebuah keniscayaan dan tidak dapat dihindari. Dengan perbedaan manusia saling mengenal. Penting bagi kita untuk menyampingkan perbedaan-perbedaan dan fokus untuk memenuhi hak-hak satu sama lain dan melayani manusia.
Mengutip dari perkataan Halili Hasan, “Setiap manusia harus memperhatikan yang berbeda dan menempatkan yang berbeda sebagai kesempurnaan kita.”
Pada kenyataannya masyarakat menutup keterlibatan individu atau komunitas yang dianggap berbeda, tidak menghargai dan menghormati keragaman individu atau komunitas serta mencegah partisipasi individu atau komunitas yang dianggap berbeda.
- Inklusivitas di Tengah Pembatasn Aktivitas
- Gen Z dan Media Sosial untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
- Sekolah Negeri, Sekolah Tanpa Sekat
Mengubah Eksklusi Menjadi Inklusi Sosial
Penting untuk mengetahui pandangan mengenai inklusi sosial dari para ahli, sebagaimana yang disampaikan pada pelatihan inklusi sosial multistokeholder forum di Jawa Barat pada 27-29 Maret 2023 di Bandung. Menurut M. Subhi dari Yayasan Inklusif, “Inklusi sosial secara individu merasa dihargai dan bermakna. Inklusi sosial harus mudah diakses, memiliki kebermanfaatan, terdapat partisipasi serta adanya kontrol dari semua pihak (multistokeholder).”
Sementara menurut Halili Hasan, Direktur Eksekutif Setra Institute, “Tata kelola pemerintahan dan masyarakat inklusif, harus memberi ruang untuk kesetaraan dan semua orang diperlakukan sama.”
Meninjau pemahaman tersebut, maka tentu menjadi pekerjaan yang tidak mudah untuk mewujudkan inklusi sosial. Diperlukan proses yang panjang di tengah masyarakat yang beragam, serta pemahaman tentang Pancasila dan kebhinekaan yang juga beragam bahkan bisa dikatakan minim literasi.
1. Keluarga Pondasi Utama
Dalam hal ini Saya berpendapat bahwa hal pertama yang harus diubah adalah cara pandang masyarakat agar siap menerima perbedan. Mulailah dari masyarakat yang terkecil yaitu keluarga. Kita tahu, Keluarga merupakan komunitas terkecil dari masyarakat yang berperan sangat penting untuk membangun karakter generasi bangsa.
Keluarga merupakan tempat belajar dan memainkan posisi penting untuk menanamkan dasar akhlak yang baik yaitu cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Penanaman akhlak dan nilai-nilai Pancasila tidak hanya melalui hafalan saja. Namun tentunya diikuti dengan praktik secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Mulailah dengan memberikan pemahaman kepada anak tentang perbedaan fungsi dan tanggung jawab anggota keluarga. Berikan juga pemahaman bahwa perbedaan tersebut tetap harus saling mendukung sebagai satu keluarga.
Ajarkan anak saling menghormati hak anggota keluarga lainnya, menghargai pilihan dan tidak mengambil dengan paksa yang bukan miliknya hanya karena usia yang lebih tua.
2. Kuatkan Literasi dan Ruang Dialog
Setelah keluarga, baru kita beranjak ke masyarakat yang lebih luas. Penting untuk memperbanyak literasi pemahaman toleransi dan KBB melalui media, membuka ruang-ruang dialog multistokeholder, serta memahami pengelolaan keragaman berbagai agama dan inklusi sosial.
Kelompok minoritas perlu memperluas akses, untuk menggunakan haknya sebagai warga negara, menuntut dihormati dan diberi rasa nyaman dan aman atas keyakinan yang dipilihnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menjalin relasi dengan berbagai pihak, menyertakan masyarakat di kegiatan-kegiatan sosial dan bekerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya.
Kita bisa melihat, mencontoh bahkan mengadopsi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah yang berdampak positif pada inklusi sosial. Pelbagai tindakan diskriminasi dan intoleransi yang dialami JAI, tidak membuat menutup pintu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Inklusivitas Ahmadiyah secara eksplisit tergambar pada motto yang sering mereka kemukakan, “Love For All Hatred For None” yang harus diimplementasikan oleh semua anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam interaksi sosial sehari-hari masyarakat, JAI berbaur dengan masyarakat lainnya yang terlibat dalam kegiatan gotong royong di daerahnya dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial melalui layanan kesehatan, donor darah, hingga rumah belajar, yang ditujukan kepada masyarakat umum tanpa memandang latar belakang agama dan identitas apapun.
JAI membuktikan inklusivitas dengan menyertakan masyarakat dalam berbagai kegiatan, karena latar belakang kebangsaan. Setara sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang bhineka. Upaya kita dengan memahami dan mempromosikan inklusi sosial, adalah langkah untuk mewujudkan Indonesia yang aman, nyaman dan damai.
Penulis: Liana S. Syam (Lajnah Imaillah Bandung – Jawa Barat)