Keragaman budaya di Indonesia bukanlah penghalang untuk pembauran nilai-nilai agama. Budaya justru menjadi media diterimanya agama di sebuah daerah, termasuk Semarang, Jawa Tengah yang mempertahankan tradisi Dugderan jelang Ramadhan ditambah kemeriahan pawai Warak Ngendog.
Sehari sebelum menjelang bulan Ramadhan menjelang waktu maghrib, pemerintah akan mengumumkan hasil sidang isybat terkait terlihatnya hilal Ramadhan. Hal tersebut akan menjadi dasar ketetapan awal Puasa Ramadhan setiap tahunnya yang dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia, termasuk yang berada di Kota Semarang.
Alkisah, masyarakat Semarang waktu itu sering berbeda pendapat mengenai awal permulaan puasa Ramadan sehingga Kanjeng Bupati berketetapan untuk meminta fatwa para ulama. (Muhammad, 2011: 87) Ketetapan dari para ulama disebut dengan suhuf halaqoh dibacakan oleh Kanjeng Bupati kepada seluruh warga Semarang.
Kanjeng Bupati memukul bedug besar di Masjid Agung Semarang dan disusul dengan penyulutan meriam, bedug mengeluarkan bunyi “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der” yang terdengar berkali-kali. Pada akhirnya, suara bedug dan meriam inilah yang diambil sebagai tanda dimulainya awal Ramadhan.
Mengenal Dugderan
Dugderan merupakan ritual tradisi turun-temurun terbesar yang dimiliki oleh Semarang. Dugderan yang diselenggarakan di halaman masjid besar Semarang atau masjid kauman ini pada hari terakhir bulan sya’ban, yaitu dimulainya ibadah puasa Ramadhan keesokan harinya.
Dugderan berasal dari bunyi bedug di Masjid Besar Semarang (Kauman) dipukul oleh Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat dengan mengeluarkan bunyi “dug”, dan bunyi meriam “der” berasal dari meriam, irama bedug sebanyak 17 kali dan irama letusan meriam sebanyak 3 kali menjadikan komposisi irama dugder.
Prosesi tradisi Dugderan terdiri dari tiga agenda yakni pasar malam Dugder, kirab budaya Warak Ngendok dan prosesi ritual pengumuman awal bulan Puasa Ramadhan.
Pada perkembangannya, bukan hanya suara “dug” dan “der” saja yang menjadi penanda awal Ramadhan. Akulturasi budaya juga menjelma menjadi karya seni kerajinan masyarakat Semarang berbentuk binatang khayalan dan dijual pada pasar malam dugder.
Binatang khayalan tersebut bernama “Warak Ngendog”. Kehadiran binatang khayalan Warak Ngendok sebagai ikon ritual Dugderan sekaligus menjadi ikon budaya Kota Semarang.
Oleh masyarakat luas, Binatang khayalan ini dimaknai sebagai simbol akulturasi budaya, karena keseluruhan perupaan pada Warak Ngendog merepresentasikan simbol budaya tiga etnis masyarakat yang ada di Kota Semarang, yaitu etnis Jawa, Cina dan Arab.
Bentuk kepala binatang ini menyerupai kepala naga, khas kebudayaan etnis China. Tubuhnya terlihat seperti unta berbulu keriting yang menjadi perwakilan etnis Arab. Sementara kakinya berjumlah empat, yang memberikan simbol kambing dari etnis Jawa.
Makna Pensucian diri dalam Warak Ngendog
Berawal dari dolanan bocah Semarang khas dugder, Warak Ngendog terbuat dari bahan-bahan yang mudah didapatkan pada zamannya. Seperti kayu, kertas minyak warnawarni, bamboo, kertas karton, tali, dan lain sebagainya.
Wujud Warak Ngendog berbentuk khayal. Sorot mata tajam, mulut terbuka dan lebar terlihat gigi, leher panjang, memiliki tanduk, berkaki empat lurus, berbulu keriting diseluruh badan dengan warna-warni kertas minyak, ekor panjang dan tegak, dan terdapat endog atau telur di antara kedua kakinya.
Filosofi dari binatang khas ini tidak lain adalah kehidupan multikultur yang ada di Kota Semarang. Warak berasal dari kata “waro’a” atau “wira’i”. Dalam bahasa Arab artinya “menahan diri”. Warak sebenarnya penyebutan badak dalam bahasa Jawa. Namun karena dikaitkan dengan Ramadhan, istilah pensucian diri terdengar lebih populer.
Sementara “ngendog” adalah bertelur, yang dimaknai sebagai diperolehnya pahala. Maka secara harfiah, warak ngendog merupakan perumpamaan orang yang akan mendapatkan pahala karena telah mensucikan diri dengan berpuasa.
Bentuk badan yang lurus juga memberikan makna mendalam. Konon hal itu berarti penggambaran citra orang Semarang yang terbuka, lurus dan bicara apa adanya. Sayangnya, belum ada yang menemukan pemilik ide awal dari binatang mitologis ini.