Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke satu museum yang mengabadikan cerita para Pembela Tanah Air menjaga perdamaian Indonesia dari Belanda. Terdorong dari cerita-cerita almarhum Kakek yang juga pernah menjadi relawan PETA, saya tertarik mengetahui bagaimana pemuda Indonesia merebut kembali tanahnya, merdeka dari para penjajah.
Berjalan beberapa waktu, saya juga mengunjungi museum mengenai sejarah sumberdaya alam Indonesia. Memang benar, dari beberapa ratus tahun yang lalu, kekayaan alam Indonesia sudah diperebutkan oleh bangsa-bangsa besar—atau lebih tepatnya, bangsa-bangsa yang menjadi besar karena memperebutkan kekayaan Indonesia. Dari mulai cengkeh, lada, dan berbagai tanaman obat, kini telah menjadi bahan-bahan sehari-hari yang bisa dinikmati rakyat Indonesia.
Esoknya pun saya bertemu teman yang seumuran, yang sekarang sudah memiliki anak seusia taman kanak-kanak dan sedang sibuk menyiapkan kepindahan rumah pertamanya. Sebagai keluarga muda di kota, segala pengeluaran rumah dan sekolah anak kini sangat tidak realistis bagi yang berpenghasilan UMP. Kini, bahkan belum tentu semua orang bisa berpengasilan tetap sesuai UMP.
Jalan-jalan saya pada pekan itu, ternyata lebih reflektif dari yang saya kira. Jika kita mempercepat waktu hingga saat ini, apakah tanah ini benar-benar milik kita? Apakah sumberdaya alam itu juga benar-benar milik kita? Akankah pemuda Indonesia bisa memiliki sepetak tanah di negeri ini yang ia katakan “rumah”?
Perebutan Kekayaan Masa Kini
Pada sebuah kesempatan belakangan ini Menteri Keuangan RI, Ibu Sri Mulyani, mengatakan akan sulit bagi generasi milenial memiliki hunian[1]. Hal ini dikarenakan kenaikan gaji tahunan generasi milenial tak sebanding dengan kenaikan harga rumah. Fenomena ini, di antara kompleksitas sistemik lainnya, juga beriringan dengan semakin kuatnya aktor-aktor finansial yang kemudian mempengaruhi bagaimana hunian diproduksi.
Paradoksnya, ternyata finansialisasi perumahan yang juga memiliki tujuan untuk memberikan orang-orang kesempatan memiliki hunian pada lahan yang terbatas, justru membuat hunian hanya bisa dinikmati oleh kalangan yang mampu saja[2]. Contohnya, riset Kompas mengatakan bahwa milenial yang bekerja di tengah kota Jakarta dengan gaji di bawah Rp 4,5 juta hanya mampu menjangkau perumahan di sekitar Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, atau Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang yang jaraknya 30-50km dari pusat kota.
Perampasan tanah dan hak atas kota maupun hunian ini juga kita temukan dalam konteks-konteks lainnya di Indonesia. Masih banyak kita temukan praktik diskriminatif terhadap kelompok-kelompok termarginalkan terkait akses mereka akan hunian yang layak. Seperti yang ditemukan di Jogja, diskrimasi warga non-pribumi berpuluh tahun lamanya mendorong mal-administrasi pertanahan terhadap WNI berketurunan Tionghoa hingga saat ini[3].
Bagi yang sudah memiliki hunian pun, bisa jadi gejolak di masyarakat pun menyebabkan dirinya tak aman dan terpaksa hidup dengan hunian seadanya. Gelombang persekusi yang membawa bendera agama juga memarginalkan kelompok Jemaat Ahmadiyah Lombok di pengungsian Transito selama belasan tahun. Tanpa keberpihakan pemerintah setempat, ada generasi Ahmadiyah yang terpaksa harus tumbuh di pengungsian tersebut. Belum lagi beban berlapis yang dialami oleh para perempuan yang mengungsi[4].
Tanah dan ruang menjadi kekayaan Indonesia yang kini diperebutkan oleh bangsa kita sendiri.
Perebutan Kembali Ruang
Apakah ada perlawanan? Tentu saja ada upaya masyarakat untuk merebutkan kembali tanah dimana ia berpijak melalui perebutan ruang informal dan ruang publik.
Fenomena Citayam Fashion Week yang viral pada beberapa pekan yang lalu menunjukkan bagaimana masyarakat kelas menengah ke bawah mampu mengokupansi ruang publik sebagai perlawanan yang didukung oleh akses sarana transportasi umum terhadap ruang publik yang kian terkomersialisasi dan hanya dapat dinikmati segelintir orang kota[5].
Adapun kampung-kampung kota yang dicirikan oleh perumahan padat penduduk dan hunian yang kurang layak juga merupakan bentuk ketidakmampuan kota untuk melayani penduduknya yang paling miskin. Alih-alih dibantu, justru fenomena tersebut dipertahankan untuk kepentingan ekonomi kota.
Perebutan kembali suatu ruang yang telah memanifestasikan diskriminasi kelompok penguasa terhadap kelompok termarginalkan membutuhkan aksi yang sistemik. Dalam merebut kembali ruang tersebut, unsur SARA tidak seharusnya tercermin pada akses seseorang atau kelompok tertentu akan sesuatu yang sudah menjadi haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
Tanah Air… untuk Kita Semua. Merdeka!
Pembangunan berkelanjutan sering dinaungkan sebagai solusi atas segala keterbatasan sumberdaya alam dan jalan menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. Memang, pembangunan tidak selalu merusak. Tapi pada akhirnya manusia lah yang memiliki kendali, bagaimana pembangunan bisa bermanfaat dan direstorasi untuk kepentingan bersama.
Sebagai generasi pekerja saat ini dan generasi penerus masa yang akan datang, pemuda Indonesia kini hidup dalam hempitan akses terhadap tanah dan air di negaranya sendiri. Saya sebagai seorang pemuda Indonesia juga belum merdeka, tumbuh dengan penuh kewaspadaan bahwa ada kemungkinan keturunan saya tidak akan memiliki kesempatan menikmati ruang sebagaimana saya tumbuh dulu.
Namun kita juga tumbuh dengan mengetahui bahwa ada permasalahan sistemik yang perlu direbut kembali, yakni hak untuk bisa memanfaatkan tanah di mana kita berpijak, tanpa memandang bulu kawan yang sedang berjuang bersama.
Semoga ke depannya saya, kamu, dan kita semua dapat senantiasa merdeka di atas tanah kita sendiri.
Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77.
Penulis: Seruni Fauzia Lestari
[1] See: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220713182830-92-821146/sri-mulyani-sebut-milenial-sulit-beli-rumah-apa-peran-pemerintah
[2] Rahmawati dan Rukmana, 2022. The financialization of housing in Indonesia: Actors and their roles in the transformation of housing production. See: The financialization of housing in Indonesia: Actors and their roles in the transformation of housing production – ScienceDirect
[3] See: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50498260
[4] Meliputi kekerasan berbasis gender yang meliputi kekerasan fisik, mental, dan seksual. Beban perempuan dan laki-laki di pengungsian juga berbeda. See: https://projectmultatuli.org/cerita-jemaat-ahmadiyah-di-lombok-yang-diusir-dan-masih-mengungsi-selama-15-tahun-di-asrama-transito-kota-mataram/.
[5] See: https://www.dw.com/id/citayam-fashion-week-kurangnya-ruang-publik-yang-inklusif/a-62486268