Sejenak mengingat gegap gempita perayaan Kemerdekaan di bulan Agustus lalu. Yel-yel merdeka dipekikkan dengan mengepalkan tangan. “Merdeka! Merdeka!” Tak pernah ada teriakan merdeka dengan lambaian tangan yang halus. Kepalan tangannya harus digenggam dengan kuat, mengisyaratkan bahwa manusia berhak bebas dari segala tekanan, baik fisik atau jiwa menuju perdamaian.
Merdeka dari tekanan fisik telah diperjuangkan oleh para pahlawan negeri ini. Mereka berjuang melawan penjajah. Membunuh atau terbunuh. Pekerja rodi tak dibayar. Namun semua terbayar dengan diraihnya kemerdekaan.
Namun demikian, apakah kemerdekaan tersebut langgeng sampai sekarang? Apakah bangsa ini sudah benar-benar merasakan perdamaian di negerinya sendiri?
Mungkin sebagian sudah atau mungkin sebagian lainnya belum. Sebagian contoh, tekanan pekerja-pekerja yang bekerja di kota besar seperti Jakarta, namun tinggal di pinggiran kota. Walaupun mengendarai kendaraan bermotor, mereka harus berangkat dari rumah sebelum terbit matahari untuk menghindari kemacetan. Berebut transportasi umum seperti kereta api dan bus, beradu dengan polusi, berkejaran waktu .
Transportasi umum dinilai sebagai solusi untuk mengurai kemacetan agar sampai tepat waktu pergi maupun pulang. Walaupun bisa dikatakan terlambat dibandingkan dengan ibukota negara Asia Tenggara lainnya, minimal Jakarta sudah memiliki kereta api bawah tanah yang bermanfaat untuk menghemat waktu. Ya! Hemat waktu adalah salah satu cara untuk mengurangi tekanan fisik.
Sama halnya dengan buruknya infrastruktur di desa yang memperlambat waktu tempuh antar desa atau ke kota. Susahnya para petani menjual hasil pertanian, anak-anak sekolah di daerah terpencil kesulitan menuju ke sekolahnya bahkan harus melalui sungai yang dapat membahayakan nyawa.
Sementara itu, mereka yang merdeka secara fisik pun belum tentu damai di dalam jiwa. Tekanan dalam jiwa bisa terasa dari sulitnya beribadah dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas. Mereka harus melawan kaum yang lebih besar, bahkan tak jarang dihadang oleh pemerintah daerahnya sendiri.
Penyegelan atau perusakan tempat ibadah menandakan belum sepenuhnya jiwa merasa damai dan merdeka dari tekanan. Padahal, bila saja setiap individu negeri ini, terutama yang beragama mayoritas Islam memahami ayat suci Al-Qur’an, tentu tidak akan ada tekanan yang mengancam kemerdekaan dan menodai makna damai dalam Islam.
“Dan siapakah yang lebih aniaya dari orang yang menghalangi menyebut nama-Nya di dalam masjid -masjid Allah dan berupaya merusaknya? Mereka itu tidak layak masuk ke dalamnya kecuali dengan rasa takut. Bagi mereka di dunia ada kehinaan dan bagi mereka di akhirat tersedia azab yang besar.” (QS. 2 Al-Baqarah : 115)
Melalui ayat ini jelas bahwa Allah Ta’ala melarang keras menghalangi apalagi merusak tempat-tempat yang disebutkan di dalamnya nama Tuhan termasuk tempat ibadah non Muslim. Orang yang berani merusak tempat-tempat yang menjadi tempat disebutnya nama Tuhan tidak lain karena ia tidak takut kepada Tuhan.
Sejalan dengan hal tersebut, Pidato Khalifah Kelima Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba di sesi pembukaan International Ministerial Conference on Freedom of Religion or Belief 2022 pada 5 Juli 2022 di Queen Elizabeth II Centre di London, juga mengungkapkan hal senada.
Beliau bersabda, “Allah Ta’ala telah mengabadikan kebebasan berkeyakinan dan kebebasan hati nurani sehingga Al-Qur’an menyatakan bahwa izin untuk menggunakan kekuatan hanya diizinkan sebagai tanggapan kepada orang-orang yang berupaya melenyapkan agama di dunia ini. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa seandainya tidak ada upaya tangkisan terhadap orang-orang yang berusaha menghancurkan agama, maka tidak akan ada gereja, sinagog, kuil, masjid, atau tempat ibadah lainnya yang aman, yang di dalamnya nama Tuhan banyak disebut. Oleh karena itu, Al-Qur’an telah menjadikan kewajiban umat Islam untuk melindungi hak orang-orang dari setiap agama dan menjadikan kebebasan berkeyakinan sebagai landasan agama kami.”
Dengan demikian, melewati masa perjuangan menuju merdeka, haruslah terus dilanggengkan dengan perdamaian. Merdeka dalam jiwa setiap individu harus dimiliki siapapun, apapun agamanya, keturunan maupun sukunya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah merdeka 77 tahun dari penjajahan. Sekarang saatnya kita mengisi kemerdekaan ini dengan menyebarluaskan perdamaian. Merdeka dari tekanan fisik maupun jiwa, menuju perdamaian dunia.
Penulis: Djamilah Nuragustiani