Sejenak kita palingkan wajah ke sejarah Islam masa lalu. Ketika matahari tepat di atas kepala dan padang pasir Mekah bagai neraka yang membakar hingga ke ubun-ubun. Kaum Quraisy melucuti pakaian orang-orang Islam yang tertindas, memakaikan baju besi, membiarkan mereka terbakar oleh ganasnya matahari.
Belum berhenti, kaum Quraisy masih mencambuki para budak. Umayyah bin Khalaf menyiksa Bilal, salah satu budak hitam yang ikut serta berjihad dengan Rasulullah saw. Namun, Abu Bakar Radhiallahu anhu menebus Bilal dan memerdekakannya.
Kemudian kita tengok guratan kenegaraan masa lalu, tapi terus dikumandangkan setiap upacara bendera hari Senin. Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 pada alinea pertama, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan.
Dari kedua kilas balik di atas, perlu rasanya kita tahu apa arti kemerdekaan itu. Menurut KBBI, merdeka adalah bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.
Seseorang yang merdeka karena telah dimerdekakan tentu sangat bahagia. Demikian halnya yang memerdekakan, akan merasakan berlipat kebahagiaanya. Karena bahagia adalah ketika dapat membuat orang lain bahagia.
Dengan kekuasan dan wewenang yang dimilikinya, manusia bisa mencapai derajat mulia dengan memerdekakan, tapi bisa juga menjadi hina karena menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk sesuka hati memperlakukan bawahannya tanpa rasa kemanusiaan.
Khalifah Umar, Menteri Nadiem Makarim, Proklamator Soekarno Hatta, Para Nakes pejuang Covid di garda depan, dan masih banyak lagi, merupakan sosok-sosok mulia yang telah berjuang dengan penuh pengorbanan untuk memerdekakan umat manusia dari penjajahan.
Tanpa ada seorang pun yang meramalkan sebelumnya, tanpa aba-aba, tiba-tiba selama dua tahun ini kita disandera di dalam rumah karena penjajahan virus C-19. Semua diliputi dengan ketakutan dan tekanan. Terkhusus, ketika Virus Covid 19 tipe Delta menyerang membabi buta. Betapa suasana begitu mencekam. Sirine sejak pagi hingga malam meraung tiada henti. Bolak-balik di depan rumah membuat hati jadi ketir. Rumah sakit sudah tak bisa menampung lagi para korban. Antrian oksigen begitu panjang dan tak kurang yang pulang tanpa hasil. Banyak dokter dan sahabat kita yang berguguran. Pemakaman overload. Penggali kubur sudah kewalahan.
Syukurlah kini grafiknya sudah menurun. Ingin rasanya segera merdeka menghirup udara segar seperti dulu tanpa harus menggunakan masker yang terasa pengap. Tak kurang diantara masyarakat yang karena sudah pusing dengan penjajahan virus ini, mereka ingin berlari dari kenyataan. “Covid itu ada bila dibicarakan,” begitu mereka sepakat.
Perjuangan melawan penjajahan dunia kesehatan belum tuntas. Covid belum pergi 100%. Seperti halnya di dunia pendidikan, disadari atau tidak, selama ini masih ada penjajahan yang dirasakan guru dan anak didik. Guru merasa terjajah dengan tumpukan administrasi guru yang dirasa kurang praktis, juga target kompetensi yang harus dicapai. Dengan semua ini maka anak didik terpaksa jadi dikondisikan sedemikian rupa supaya di akhir semester dapat mencapai target yang telah ditentukan. Akibatnya guru jadi merasa terburu-buru dan kewalahan ketika harus menyesuaikan dengan karakter anak didik di lapangan yang begitu beragam.
Syukurlah, mas menteri peka dan tanggap. Terobosannya menggulirkan kurikulum merdeka patut diacungi jempol. Menuju anak didik merdeka belajar dan para guru merdeka mengajar. Insya Allah, kurikulum merdeka ini akan di-launching-kan tahun 2024 di semua sekolah di Indonesia. Untuk sementara hanya sekolah penggerak yang menggunakannya. Sementara yang bukan penggerak diberi kebebasan memilih apakah akan memakai kurikulum 2013, merdeka berbagi, atau merdeka mandiri.
Tapi apakah kelahiran kurikulum terbaru ini disambut baik oleh semua pihak khususnya para pendidik?
Ternyata, seperti hal lainya yang tercium sebagai hal yang baru, pro kontra kurikulum baru ini tak pelak menyertai fenomena dunia pendidikan. Tak serta merta tenaga pendidik bergembira dengan kelahiran kurikulum merdeka yang sesungguhnya merupakan pengembangan dari Kurilukum 2013. Serangan pandemi telah menciptakan generasi loss learning ,hingga akhirnya muncul bentuk kurikulum prototipe ini.
Manusia memang memiliki sifat alamiah diantaranya enggan keluar dari zona nyaman. Jangankan untuk menerima begitu saja kurikulum baru, menyamankan diri dengan Kurikulum 2013 pun masih terasa lelah perjuangan adapaptasinya. Mulai dari penatarannya, membuat RPP-nya, menerapkan model pembelajaran di kelas, assesmentnya, hingga laporan hasil belajarnya yang aduhai kompleksnya.
Sering antar pendidik berseloroh intermezo, “Guru tewas karena kurtilas.” Ada lagi yang di awal puyeng dengan tantangan 2013 hingga terucap ingin pensiun dini saja. Kurikulum memang sudah terbiasa berubah sesuai ketentuan supaya selalu update dan mampu menjawab kebutuhan zaman dan sesuai dengan tingkat kecerdasan peserta didik di setiap masanya. Namun tak kurang antar mitra kerja yang sedang terjebak rasa lelah suka terlontar slogan sinis, “Apapun makanannya, minumannya tetap X”.
Slogan ini bukan hal aneh terdengar. Meski rasa ingin tahu akan hal yang baru muncul tapi mindset lama masih ada. Belum juga kurikulum yang dulu dikuasai merata oleh seluruh pendidik di seluruh wilayah negara, kini sudah datang kurikulum baru. Jadi yang tak kebagian pemerataan pelatihan berucap, “Apapun kurikulumnya nanti pada prakteknya nanti pada akhirnya akan kembali lagi dan jadi tetap begitu-begitu saja.”
Sejumlah kritik mewarnai kurikulum baru, mereka menilai ketika dikaji sekilas kok rasanya seolah lagu lama yang diputar ulang tapi dengan baju yang baru. Pada intinya, semua berbasis kembali pada student center learning, model dan metode pembelajaran siswa yang aktif, classroom manajemen dan setting kelas kolaboratif, Profil pemuda Pancasila vs Pendidikan karakter, dll. Bagi yang belum paham, semua ini seolah hanya mendaur ulang yang lama jadi seolah baru seperti halnya siklus dan tren mode.
Bolak balik dari yang teras kompleks kemudian dipraktiskan. Nanti diprediksi, yang praktis merasa harus dikomplekskan lagi sesuai kebutuhan zaman. Jurusan yang sudah ada jadi dihilangkan dan tidak mustahil nanti akan dimunculkan lagi di masa yang akan datang. Hal terasa baru dan agak beda mungkin tentang diterapkannya fase. Tapi apakah ini akan efektif di lapangan?
Apapun sikap serta pandangan masyarakat dunia pendidikan dan masyarakat umum yang multi pemikiran rasanya sah-sah saja bila ada pro dan kontra. Semua tentu diberikan hak kebebasan berpikir. Jadi pro kontra bukan masalah besar karena negara kita adalah negara demokratis dan menganut sistem kebebasan bertanggungjawab.
Bebas sepanjang dalam batas menuju tercapainya cita-cita bersama menuju Indonesia merdeka, makmur, sejahtera, dan relijius. Tak sebatas hanya meraih merdeka tapi menuju derajat yang lebih tinggi yaitu memerdekakan.