Oleh: Harpan Ahmad
Beberapa waktu lalu kita sudah dipertemukan dengan Eid-ul Firti, setelah sebelumnya kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Satu masa yang memang special bagi setiap muslim, Allah Swt berfirman:
Walladziina jaahadu fiinaa lanahdiyannakum subulana.. (Qs. Al-Ankabut:69)
Yakni, Allah Ta’ala menyediakan sarana bagi kita bahwa barangsiapa yang berusaha datang kepada Allah swt, maka Allah Ta’ala akan menganugerahkan taufik berupa jalan yang akan membawa sang hamba dekat kepada-Nya. Dan salah satu dari Jalan-jalan yang Allah sediakan itu adalah Ramadhan.
Jadi melalui bulan Ramadhan ini Allah Ta’ala telah menciptakan sarana bagi hamba-hambaNya yang berusaha menuju kearahNya dan meraih keridhoan-Nya. Dalam hadits kita lihat bagaimana istimewanya mereka yang menjalankan ibada puasa Ramadhan, akan menjadi orang-orang yang bernasib mujur;
“Faidzaa alqoo Robbahu faroha bishaumihi”
Yakni; ketika ia berjumpa dengan Tuhan-nya maka ia akan gembira karena puasanya”.
Melihat pada sisi kemanfaatannya, ibadah puasa di bulan Ramadhan memang dapat atau bahkan sangat tepat difahami sebagai madrasah, tempat untuk belajar, melatih diri, meningkatkan kualitas iman dan ibadah kita yang dengan itu selain akan menjadikan kerohanian kita lebih baik, juga pintu-pintu rahmat, pahala serta qurub Ilahi akan dibukakan kepada kita.
Eid-ul Fitri dan syarat meraihnya
Sampai disini kita melihat, betapa perlu memperhatikan puasa di bulan Ramadhan dan memanfaatkannya sebagai sarana bagi peningkatan kualitas keruhanian. Karena kebahagiaan Eid-ul Fitri yang sejati, tidak diraih semata-mata karena berlalunya Ramadhan saja.
Kebahagiaan Eid-ul Fitri –kembalinya hamba pada kondisi fitrah, kondisi yang suci setelah Allah memberikan reward, pengampunan dan kedekatan, memiliki syarat “jaahadu fiina” yakni setelah sang hamba melakukan perjuangan (Qs 29:69). Jadi puasa Ramadhan yang telah Allah Syari’atkan, dengan kemanfaatannya yang luar biasa, mesti dijalani dengan sebaik-baiknya sehinga memberikan dampak pada kemajuan dalam keruhanian. Karenanya secara terang Rasulullah Saw bersabda:
“Man shoma romadhona iimaanan wah tisaban gufiro lahu maa taqoddama min zanbihi”
Yakni hanya orang-orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan keimanan dan instrospeksi dirilah yang mendapatkan pengampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu.
Ada hadits yang juga perlu kita perhatikan: “Barangsiapa yang dua harinya (hari ini dan kemarin) sama maka ia telah merugi, barangsiapa yang harinya lebih jelek dari hari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat”.
Jadi Ramadhan yang kita jalani atau Eid-ul Fitri yang kita peringati, apabila tidak memberikan manfaat, tidak membawa peningkatan pada keruhanian, pada ibadah, pada keimanan kita, maka sejatinya ia bukanlah kebahagiaan, bahkan merupakan hari kedukaan. Adakah seorang pelajar atau mahasiswa yang tidak naik kelas atau tidak lulus dalam ujian, kemudian ia bahagia? Tentu tidak ada, bahkan ia akan menjadi sedih dan menyesalinya.
Demikian juga halnya dengan Ramadhan, satu kesempatan yang Allah Ta’ala telah Syariatkan agar setiap mukmin mendapapat perlindungan dari keburukan dan meraih takwa yang sejati, namun kemudian disia-siakan, tidak dihiraukan, tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, hingga kemudian kesempatan itu berakhir dan ia tidak meraih manfaat, tidak ada perubahan berarti pada keruhaniannya, pada ibadah-ibadahnya, pada keimanannya, maka layakkah ia bergembira pada hari Eid? Eid itu mesti menjadi hari penyesalan baginya.
Kondisi Fitrah dan Pentingnya Istiqomah
Kebahagiaan yang permanen atau eid-ul fitri yang hakiki, sesungguhnya tersembunyi di dalam kesuksesan meraih ridha Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Dan untuk meraih eid-eid yang demikian itu menuntut seseorang untuk menjadikan eid-nya sebagai eid hakiki, jika tidak maka peringatan dan perayaan eid-eid itu sekali-kali tidak akan memenuhi sasarannya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud, Mirza Basyirudddin Mahmud Ahmad ra., telah membahas mengenai tema ini dengan panjang lebar, dan jelas bahwa Eid itu akan menjadi sebuah eid hakiki dan berdampak pada kembalinya kondisi sang hamba kepada fitrah, kepada kesucian, ketika seorang mukmin mampu menyempurnakan syarat-syaratnya. Beliau bersabda;
“Pendek kata, jika seseorang beranggapan, “Ramadhan telah berakhir. Eid sudah datang. Sekarang saya tidak memiliki kewajiban apa pun untuk menjalankan ibadah-ibadah dan huququl ‘ibād karena itu untuk bulan Ramadhan saja”, atau menganggap; “Saya telah berpuasa di bulan Ramadhan ini dan merayakan eid, setelah hari ini saya tidak perlu untuk berpuasa di bulan Ramadhan manapun, saya tidak perlu lagi menjalankan shalat eid atau shalat Jumat, dan saya tidak perlu menjalankan ibadah-ibadah diantara Jumat dan Jumat berikutnya,” Saya katakan jika ia berpikir demikian tentu ia telah menyia-nyiakan imannya dan mengalami kejatuhan dalam pandangan Allah Ta’ala.
Ringkasnya, eid-eid ini tidak hanya datang supaya kita berbahagia semata dan melepaskan kewajiban-kewajiban setelahnya. Sebenarnya eid-eid itu datang supaya menarik perhatian kita bahwa maqam-maqam ruhani (tingkat kerohanian) itu bersifat relatif. Jika seseorang tidak menjadikan setiap harinya, atau ramadhan-ramadhan yang ia jumpai, atau setiap eid yang ia rayakan sebagai ‘sebab’ untuk meningkatkan maqam kerohaniannya, tentu kesempatan-kesempatan ini akan menjadi ‘sebab’ kehancurannya bukan menjadi ‘sebab’ kebahagiaannya.
Maka, ‘Idul fitri yang telah kita peringati kemarin, harus menjadikan kita memeriksa diri kita dari sisi ini juga, supaya kita melihat bagaimana menjadikan kebahagiaan-kebahagiaan ‘Id itu abadi dan supaya kita mengetahui jalan-jalan yang memungkinkan kita senantiasa meraih karunia-karunia Allah.
Ini adalah satu hal yang penting kita perhatikan, dan menjadi clear bahwa id hakiki yang akan didapat oleh seorang mukmin itu punya syarat. Ketika kita mampu istiqomah dalam ibadah, ketika kita mampu istiqomah dalam berbuat kebaikan, dan ibadah-ibadah yang setiap mukmin laksanakan di bulan Ramadhan yang penuh berkah itu dijadikan standar dalam amal kesehariannya.
Nabi Suci Saw., menyebut keimanan itu merupakan keceriaan kalbu, maksudnya iman yang sempurna itu akan melahirkan buah kebahagiaan kalbu dan keceriaan hati. Oleh karena itu, mereka yang merasakan kebahagiaan dalam beramal shaleh dan tidak menganggapnya sebagai beban, ketika perhatiannya yang dawam pada ibadah menjadi penyebab kebahagiaannya, ketika pengorbanan-pengorbanan menjadi sebab kebahagiaan dan kegembiraannya, serta tidak nampak sulit untuknya, apakah itu pada jalan Allah, atau pada jalan memenuhi hak untuk sesama manusia atau dalam kepatuhannya pada Nizam Jemaat, maka sejatinya mereka itulah yang meraih eid yang permanen.
Hadhrat Masih Mau’ud as sudah datang untuk menciptakan eid hakiki ini dan beliau mengharapkan eid ini terjadi di antara kita. Tetapi, tentunya hal ini akan terwujud ketika kita tidak meninggalkan sedikit pun amal dengan menganggap bahwa itu merupakan suatu beban bagi kita. Dan kita tidak akan lalai dalam mempersembahkan berbagai macam ibadah dan pengorbanan.
Assalamu’alaikum wrwb.
Semoga Allah Ta’ala memberKati, meridhoi kita semuanya sepanjang tahun, bulan, hari, menit Dan detik sehingga sepanjang hidup kita benar benar Bermanfaat Dan Ilahi memberikan kebaikan kepada kita semuanya
Aamiin Allahumma Aamiin?