“Sesama Muslim itu bersaudara. Oleh karena itu, jangan menyakiti dan jangan mendiamkannya. Siapa saja yang memperhatikan kepentingan saudaranya, Allah akan memperhatikan kepentingannya. Siapa yang melapangkan satu kesulitan saudaranya, niscaya Allah akan melapangkan beberapa kesulitannya. Siapa saja yang menutupi kejelekan seorang Muslim, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat’.”
HR. Bukhari-Muslim
Ajakan untuk menjadikan semua orang menjadi saudara, sebagaimana tertulis di dalam hadis di atas, adalah salah satu ciri akhlak seorang muslim. Menempatkan orang lain yang lemah untuk diperhatikan dan dibantu semata-mata karena Allah Taala, agar kelak ada syafaat di hari kiamat.
Namun, hadis tersebut terkadang juga dimaknai keliru. Beberapa menempatkan bahwa hanya sesama muslim saja lah yang bersaudara dan harus dibantu. Padahal, tidak lah Islam hadir melainkan sebagai agama damai, memanusiakan manusia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, tanpa kecuali.
Konsep Beragama Dalam Islam
Jika sejenak menilik kondisi dunia, barangkali kita cukup tercengang dengan gelombang umat Islam yang menggulung besar. Membanjirnya mualaf dan komunitas sosial berbasis Islam, seolah menunjukkan kekuatan Islam kepada dunia.
Namun sayang, di saat yang sama hal itu ternoda dengan “pertolongan” yang terbatas kepada saudara seiman saja. Mengutamakan saudara sesama muslim memang tidak salah, namun bukan berarti kita boleh mengesampingkan manusia lain hanya karena identitas keimanan yang berbeda.
Rasis bisa muncul tidak hanya terbatas pada warna kulit, tetapi juga di tengah keberagaman keyakinan. Lambat laun, akan membawa seseorang kepada sikap apatis terhadap apa yang tengah terjadi dengan kelompok lain agama. Bahkan, lebih buruk, kepada mazhab yang berbeda meskipun masih satu agama.
Titik nadir sebagian umat Islam hari ini adalah, tidak adanya lagi rasa menghargai sesama saudara muslim yang berbeda mazhab dengannya. Mereka menghalalkan untuk menghina, mencaci-maki, bahkan membunuh sekalipun. Tidak ada lagi Rahmaan dan Rahiim yang menjadi ciri muslim sejati.
Konsep beragama inilah yang keliru, di mana seseorang menempatkan doktrin keagamaan terpisah dari nilai-nilai kemanusiaan. Sementara kita tahu, Islam juga mengajarkan berbuat baik kepada sesama manusia, maka bagaimana mungkin seseorang dikatakan beragama (muslim) jika masih memisahkan diri dan memperlakukan perbedaan hanya karena berbeda agama atau mazhab.
Jika kembali mencermati makna “Rahmatan lil Alamiin”, maka keberkahan yang dijanjikan oleh Allah Taala melalui baginda Nabi Muhammad saw sangatlah luas, meliputi seluruh alam dan sama sekali tidak disebutkan hanya khusus untuk umat Islam saja. Apalagi, hanya untuk mazhab tertentu. Terkait hal ini, Allah swt berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
Mari kita renungkan, bahwa Allah akan melihat ketakwaan adalah kunci di mana ketinggian iman seseorang adalah mutlak hak Allah Taala yang tahu dan akan menilai. Kemuliaan seseorang karena ketakwaan karena Allah, tentu saja akan tercermin dari cara orang tersebut memperlakukan sesama manusia ketika berada di dunia.
Teladan Rasulullah dalam Hal Kemanusiaan
Jika kembali mencermati kemuliaan seseorang bukan menjadi hak kita untuk menilai, maka tak ada sosok yang patut menjadi teladan selain manusia termulia Nabi Besar Muhammad Musthafa salallaahu alaihi wasallam.
Beliau saw, bahkan memberikan penghormatan kepada jenazah seorang Yahudi yang lewat di depan beliau. Hal ini diabadikan dalam sebuah hadis sahih Muslim,
Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad ra. dan Sahal bin Hunaif ra. sedang berada di Qadisiyah bersama Nabi Muhammad saw, Tiba-tiba beberapa orang dari orang-orang Yahudi tengah membawa jenazah salah seorang dari saudara mereka yang baru saja meninggal dunia. Melihat hal itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabat untuk berdiri demi menghormati jenazah orang Yahudi tersebut. Salah seorang sahabat lantas bertanya: Ya, Rasulullah. Kenapa engkau menyuruh kami berdiri saat mereka membawa jenazahnya orang Yahudi. Lalu dengan tegas beliau saw menjawab, “bukankah dia manusia?” Jika kalian melihat manusia yang diarak seperti itu maka berdirilah!”.
Mari renungkan, seorang nabi mulia kekasih Allah pun tidak membedakan identitas seorang Yahudi atau Islam. Manusia adalah manusia, yang tetap harus mendapat penghormatan layaknya makhluk mulia. Sebagai panglima umat Islam, beliau saw tidak meletakkan identitas sebagai harga diri seorang muslim, melainkan akhlak menghormati, menghargai dan melimpahkan kasih sayang kepada sesama manusia.
Banyak lagi kisah yang menunjukkan dengan gamblang, bahwa meskipun Islam memiliki sejarah perang, namun agama ini tidak diajarkan menggunakan pedang. Kasih sayang lah, sebagai cerminan sifat Tuhan, yang akan menciptakan perdamaianbagi seluruh alam.
Nasihat Pemimpin Ahmadiyah untuk Kemanusiaan
Al-Qur’an menyatakan tanda muslim sejati adalah ia yang peduli kepada semua orang, memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan, baik mereka meminta atau tidak meminta. Jemaat Ahmadiyah memberikan banyak nasihat dari pimpinannya, yang diterapkan salah satunya melalui lembaga non-struktural Humanity First.
Para Muslim Ahmadiyah diseluruh dunia mendukung semua kegiatan Humanity First sehingga dapat mengembangkan ruang lingkup proyek-proyek kemanusiaannya dan memperluas jangkauannya. Kebahagiaan melayani sesama bukan saja dirasakan oleh para anggota Humanity First, akan tetapi juga semua Muslim Ahmadi di seluruh dunia.
Humanity First hanyalah sebilah contoh adanya lembaga formal. Namun di luar itu, setiap muslim Ahmadi sangat ditekankan untuk menaruh perhatian terhadap kemanusiaan, baik di antara sesama muslim Ahmadi, golongan lain maupun bagi mereka yang berbeda agama.
Allah berfirman dalam Alquran surat Al Isra’ ayat 7, “Jika kamu berbuat baik, sesungguhnya kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri…..”. (QS. Al Isra’: 7).
Rasulullah juga bersabda bahwasanya “barangsiapa (yang bersedia) membantu keperluan saudaranya, maka Allah (akan senantiasa) membantu keperluannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejalan dengan hal tersebut, Pendiri Jemaat Ahmadiyah menyampaikan:
“Berdiam diri disaat saudaranya membutuhkan pertolongan atau kesulitan adalah hal yang sangat tidak berakhlak dan keliru.”
“Setiap hari, orang-orang harus menganalisa dirinya sendiri, sejauh mana ia peduli terhadap orang lain dan sejauh mana ia menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada saudara-saudaranya. Belas kasih terhadap orang lain merupakan tanggung jawab dan tugas yang besar yang dibebankan kepada manusia.”
Khalifah Ahmadiyah ke-V juga menasihatkan:
“Nabi Muhammad saw adalah sosok yang memperjuangkan hak setiap manusia. Beliau adalah sumber kasih sayang dan rahmat bagi seluruh alam. Dari setiap diri beliau terpancar mata air kecintaan dan kasih sayang pada manusia. Banyak kisah keteladanan akhlak Nabi Muhammad saw. dalam menunjukkan pengabdian kepada kemanusiaan.”
Disadur dari Pidato “Teladan Pengabdian Rasulullah saw kepada Kemanusiaan” yang disampaikan pada Jalsah Salanah Nasional Indonesia 2023 oleh Mln. Hafizurrahman Danang.