Oleh: Bapak Ruskandi Aggawiria
Agenda raksasa menjadi hutang terbesar umat manusia di akhir zaman ini. Perang ideologi antara Pancasila melawan paham radikalisme, yang meskipun mereka terbukti gagal mempertahankan eksistensinya di Timur Tengah, ternyata sedang dipaksakan oleh para pendukungnya di tanah air.
Adakah cara paling efektif mengatasi situasi tidak menguntungkan ini? Solusi mana harus menjamin setiap individu di dalam bingkai negara kesatuan Indonesia, menyadari betapa mahalnya modal perdamaian, toleransi, saling menghargai antara satu kelompok dengan kelompok lain atau antar suku bangsa, agama dan asal-usul.
Karena mahalnya bukan hanya diukur dari konsekwensi degradasi nilai kemanusiaan, bahkan moral dan akhlak selalu menjadi pertaruhan ketika terjadi konflik. Barangkali bisa kita pahami jika wilayah konflik itu berada di bawah kekuasaan pemerintah yang zalim, namun adakah pemerintah kita memenuhi kualifikasi zalim, sebagaimana banyak wilayah dunia yang mengalami konflik?
Jika demikian kesimpulan yang diambil, sungguh aniaya cara pandang seperti itu. Alasannya karena sangat jelas pemerintah kita sangat menjunjung harkat dan martabat manusia yang menghuni negara ini. Bahkan ketika di masa lalu, rakyat hanya menjadi komoditas politik, yang tidak diberdayakan secara optimal, kini situasinya sangat berbeda. Lalu alasan apa lagi yang bisa dijadikan pembenaran, untuk melawan kebijakan pemerintah?
Cara yang efektif untuk meredam paham radikalis, yang selalu dijadikan senjata untuk melawan pemerintah, diantaranya masing-masing individu kembali kepada ajaran agama secara mendasar, yang mengutamakan perdamaian dan saling menghargai sesama tadi. Sangat disesalkan jika mereka yang telah memulai mempraktekkan cara demikian, justru dipersekusi sedemikian rupa, oleh siapa lagi kalau bukan kaum penyuka radikalisme.
Ternyata para radikalis itu memang tidak senang, ketika muncul paham yang menebarkan cinta dan kasih sayang. Faktanya, hanya melalui menebarkan cinta itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mengubah peradaban tanah Arab, dari kaum jahiliyah menjadi paling unggul di seluruh penjuru bumi.
Dalam salah satu khutbah Jumat Khalifah Ahmadiyah tanggal pada 27 Mei 2016: Dalam peresmian masjid di Malmo, lebih dari 140 tamu Swedia hadir termasuk anggota parlemen, walikota Malmo, kepala polisi, perwakilan gereja Swedia, para profesor dan dari berbagai kalangan. Seorang tamu Yahudi mengatakan, “Di dunia ini pandangan negatif atas Islam tersebar luas secara merata. Saya terkejut mendengar pesan cinta kasih dan hanya cinta kasih dari seorang pemimpin umat Islam. Khalifah membuatku merasa umat Islam pun saudara kita. Perasaan kasih terhadap orang-orang Palestina meningkat di dalam lubuk hati saya, dan saya pikir bisa jadi tidak semua orang Palestina itu buruk.”
Maka seharusnya kita tidak membedakan paham mana yang menebarkan cinta dan kasih sayang kepada sesama, lihatlah sisi positif mereka dibandingkan kelompok yang meskipun sangat akrab dengan setiap individu, namun justru mengedepankan saling benci antar sesama manusia.
Mungkin sifat manusia di negeri ini sangat berbeda dengan di belahan dunia lain, jika di Eropa dan Amerika mereka sangat terbuka dengan semua paham yang menebarkan toleransi dan saling memahami, namun para pemuka di negeri ini, yang dipikirkannya adalah mempertahankan paham yang diwariskan, tak peduli paham itu telah mengalami pembiasan seiring berjalannya waktu.
Kenalilah filosofi sebuah permainan, ketika seseorang membisikkan pesan kepada orang kedua, niscaya terjadi sedikit kesalahan yang semakin membesar, ketika pesan itu disampaikan secara berantai. Lalu generasi terakhir dari paham yang pada awalnya diartikan secara benar, akan menerima pengertian yang jauh dari yang seharusnya, jika tidak dilakukan reaktualisasi.
Maka seharusnya kita jangan sok apriori kepada siapa pun yang menyampaikan paham yang baik, penuh damai, sepanjang tidak bertentangan dengan adab dan kebudayaan luhur yang kita miliki. Jangan tunggu sampai situasinya tidak terkendali, ketika kaum radikalis meremuk redamkan negeri ini, karena mereka sangat berkepentingan untuk menanamkan pertentangan antar satu kelompok agama dengan kelompok agama lain, atau antar etnis dengan etnis lain.
Jika paham yang menawarkan perdamaian itu terasa asing di benak kita, maka yang harus ditata terlebih dahulu adalah cara pandang masing-masing. Sepanjang kita tidak mengubah orientasi teologi, tidak mengubah arah kiblat atau ajaran fundamental apapun, seharusnya kita mengubah sikap kita lebih toleran.
Jangan asal hantam kepada setiap paham yang berbeda, sementara kita tidak bisa menjamin, bahwa paham yang kita anut adalah yang terbaik dan paling sesuai. Kata kuncinya tentu saja adalah kesadaran, bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Maka menerima secara terbuka paham yang mengusung harkat mulia setiap individu, harus diletakkan secara proporsional.
Memberi label buruk kepada kaum lain, harus ditata ulang karena menimbulkan rasa permusuhan. Bahwa kaum ini sebagai sesat, kaum itu sebagai bid’ah, sementara cara mereka ibadah, atau ritual yang dijalankannya tidak memiliki perbedaan mencolok dengan kaum lain, maka kita perlu mempertanyakan kenapa seseorang menamakan kaum lain demikian kejam?
Boleh jadi cara perlakuan yang keliru itulah yang menjadi cikal bakal para radikalis tumbuh dan berkembang. Artinya semua kelompok masyarakat memiliki andil terhadap perkembangan radikalisme, karena mereka sangat suka memberi label tendensius kepada kelompok yang tidak sama dengannya.
Pahami bahwa selalu ada misi politik yang melatarbelakangi perlakuan buruk seseorang atau kelompok tertentu kepada kaum yang tidak sama. Jika masing-masing telah membentengi diri dengan pemahaman seperti itu, rasanya tidak mudah mereka memprovokasi massa untuk menjalankan agenda politik mereka, lebih-lebih jika yang menjadi target adalah pemerintah.