Penggunaan media sosial sebagai cara berinteraksi, belakangan menjadi hal yang sangat sulit dhindari. Media ini, dengan segala jenis penggiringan algoritmanya, telah berhasil menghanyutkan orang ke dalam aktivitas dunia maya. Tak terkecuali, generasi Z yang terbaca mulai enggan beranjak dari koneksi internet.
Sebuah podcast yang menghadirkan Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, memberikan analisa yang menarik tentang pilihan pekerjaan generasi muda Indonesia saat ini. Beliau menceritakan struggle for life dari para pemuda dan pekerja generasi baby boomers hingga millennials yang masih mau melangkah jauh dari rumah. Rela meninggalkan sub-urban dan berpindah domisili untuk menantang kemampuan diri. Berkeliling dunia dan membangun jejaring, physically and literally, bukan sekadar korespondensi.
Namun hal ini tidak terjadi dengan generasi sekarang. Mereka nyaman bekerja di garasi rumah sendiri, dengan laptop atau PC yang terkoneksi internet, membuat konten dan menyebutnya sebagai sebuah profesi. Pekerjaan impian generasi masa kini adalah pekerjaan yang santai, sesuai passion, tidak terikat jam kerja dan aturan perusahaan namun dengan berharap mendapat penghasilan tak terhingga.
Media Sosial dan Kesehatan Mental
Memang tidak ada yang salah dengan pilihan hidup atau pekerjaan. Sepanjang semua yang dilakukan berdampak positif bagi lebih banyak orang, tentu siapapun tidak bisa melarang. Namun, kiranya kita perlu sejenak duduk bersama bahwa kebiasaan ini tidak selamanya akan cocok dengan semua orang.
Tak sedikit dari generasi Z yang menggunakan media sosial sebagai hiburan untuk meredakan stres atau melampiaskan sesuatu. Mulai dari membagikan cerita dan aktivitas sehari-hari, hingga ikut menuangkan kritik dari sebuah berita. Media sosial juga menjadikan para penggunanya hanyut pada kampanye “ini”, komunitas “itu”, gerakan A-B-C, petisi X-Y-Z yang seolah tak pernah ada habisnya.
Diskusi lewat kolom komentar hingga melalui pranala daring lainnya, membuat semakin bertumpuknya aktivitas. Bahkan jika dicermati, kegiatan dengan media online menjadi lebih membabi-buta ketimbang kegiatan tatap muka.
Lama-kelamaan, aktivitas di media sosial tak jarang justru memicu gulungan stres yang tak ada habisnya. Bahkan, penggunaan media sosial disebut dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan mental. Aktivitas yang awalnya diharapkan menjadi sebuah profesi, jutru menjadi salah satu penyebab depresi.
Salah satu peneliti studi, Jordyn Young dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa seseorang yang lebih jarang menggunakan media sosial umumnya cenderung tidak depresi dan tidak kesepian. Ia juga menambahkan, mengurangi penggunaan media sosial dapat menyebabkan terjadinya perbaikan, utamanya dalam hal kualitas kesejahteraan hidup seseorang.
Penelitian tersebut dilakukan secara experimental kepada 143 mahasiswa dari Universitas Pennsylvania yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok kontrol yang diperbolehkan menggunakan media sosial seperti yang biasa mereka lakukan dan kelompok eksperimen yang diberikan batasan signifikan terhadap penggunaan media sosialnya. Pada akhir penelitian, didapatkan hasil bahwa pada kelompok eksperimen tampak terdapat penurunan gejala depresi serta kesepian.
Hipotesis yang muncul adalah, konten “bahagia” yang selama ini dibagikan di media sosial dan dianggap sebagai positif vibes, tak jarang diartikan secara keliru oleh para pengguna media sosial. Para pemilik konten misalnya, sangat sering menampilkan hal-hal menyenangkan seperti makanan enak, liburan, romantisme dengan pasangan, pesta dengan teman, atau konten lain yang ingin memperlihatkan keriaan atau energi positif lainnya.
Padahal, para pemilik akun sebenarnya hanya ingin mempertontonkan hal yang ingin orang lain lihat. Bukan berarti setiap detik kehidupannya adalah kebahagiaan seperti yang ditunjukkan di media sosial miliknya.
Sementara itu, tak sedikit orang-orang yang melihat konten tersebut dan seketika membandingkan hidupnya dengan konten yang ia lihat. Unggahan media sosial terkesan jauh lebih menarik. menjalani pekerjaan seperti yang diperlihatkan oleh para youtuber tampak semakin indah di dunia maya, tanpa orang pernah tahu bagaimana proses yang harus dilalui di dunia nyata sebelum konten tersebut lahir. Adanya perbandingan inilah yang diduga menjadikan seseorang terganggu kesehatannya secara mental.
Jangan Sering-sering Scrolling
Penelitian sudah mengemukakan bahwa beraktivitas di media sosial justru dapat memicu rasa kesepian dan depresi. Terkait dengan pekerjaan atau aktivitas yang memfokuskan diri di media sosial, sebaiknya semua kalangan semakin bijak dalam hal penggunaannya.
Kebersamaan di dunia nyata tetap jauh lebih membahagiakan ketimbang sibuk melihat berbagai konten unggahan di media sosial. Aktivitas di kehidupan yang sebenarnya tetap menjadi sebuah prioritas yang harus dihadapi, ketimbang terlau lama hanyut pada kebahagiaan di dunia maya.
Pekerjaan seperti content creator, youtuber, atau copywriter tentu sah-sah saja untuk menjadi cita-cita di masa depan. Namun demikian, pastikan semuanya seimbang dan sesuai dengan keadaan. Apalagi, jika kita hanya menjadi penikmat media sosial yang seringnya malah menjadi pencuri waktu terbesar dari efisiensi dan efektivitas kerja yang sebenarnya.
Berdalih mencari inspirasi, orang justru hanyut menggulir Instagram Reels berkali-kali. Alasannya ide mentok, ternyata scrolling tik-tok. Tanpa sadar, algoritma sedang membaca aktivitas kita dalam bermedia sosial hingga akhirnya linimasa kita dipenuhi dengan konten-konten serupa yang pernah kita like, follow dan share.
Kebahagiaan semu di media sosial tampak menyenangkan di satu sisi. Namun di saat yang bersamaan, hal itu menjadi ancaman bagi generasi saat ini. Unggahan media sosial seolah menjadi “pola asuh” baru karena didapuk memberikan ilmu, inspirasi dan pola pikir baru yang mempengaruhi cara pengambilan keputusan.
Kita tidak pernah tahu siapa tim di balik sebuah konten. Tentu saja, karena tidak semua creator membuka identitas mereka. Malahan ada yang hanya melansir dari berbagai sumber, lalu mengemas ulang menjadi konten di akun mereka. Sedemikian kreatifnya creator masa kini hingga benar-benar digandrungi oleh sebuah generasi. Jangan-jangan, di masa depan akan ada gelar Sarjana Content Creator.
One thought on “Generasi Polos Asuhan Medsos”