Sebuah trotoar mendadak viral sejak sekelompok anak muda berjalan dengan beragam mode pakaian yang terkesan asal. Percaya diri kemudian meninggi karena wilayah SCBD seolah bisa mereka miliki. Bukan sekadar ingin unik, tapi sadar atau tidak, Citayam fashion Week adalah ekspresi penuh kritik.
Gerakan akar rumput dari pinggir Jakarta seolah “menjajah” wilayah elit SCBD yang selama ini kental dengan aura mewah. Gedung-gedung megah tempat berlalu-lalang pekerja penuh gaya sedikit bergeser ke trotoar tempat peragaan busana.
Namun, SCBD kali ini tidak menampilkan “fashion week” layaknya Paris, London atau Milan. Para remaja Citayam Bojong dan Depok telah menyulap dalam sekejap Kawasan Dukuh Atas menjadi seperti Harajuku atau Gangnam Street.
Jika mengikuti ceritanya, semua berawal dari konten media sosial yang banyak mewawancarai remaja di kawasan tersebut. Obrolan sederhana tentang outfit lalu viral di konten TikTok dan berhasil menjadi magnit.
Jauh-jauh dari Citayam hanya ingin bertemu dengan sang konten kreator dan ikut viral di media sosial. Alhasil, arus pun menderas menghasilkan “banjir” fashion yang secara bebas ditampilkan di wilayah elit Jakarta Pusat tersebut.
Cibiran “norak” hanyalah angin lalu, karena “ingin terkenal” terdengar lebih berlagu.
Kecerdasan Linguistik ala Citayam Fashion Week
Diskusi tentang Citayam Fashion Week (CFW) dan SCBD semakin banyak berlalu-lalang di berbagai media. Banyak kalangan menyoroti hal ini sebagai fenomena sosial, psikologi hingga menyentuh ranah religius.
Tak sedikit juga yang mengangkat CFW sebagai kritik bagi pemerintah untuk ketersediaan ruang publik. Bukan sekadar menyediakan trotoar bagi pejalan kaki, namun lebih kepada tempat berekspresi tanpa harus dikejar-kejar polisi.
Namun demikian, hal lain yang (menurut penulis) berhasil diterjemahkan secara merdeka oleh remaja citayam adalah klausa “fashion week”. Sebuah gabungan kata yang, mungkin, semua banyak orang terjebak dengan maknanya.
Tapi sebelumnya, ada kata “merdeka” yang secara leksikal berarti bebas dari belenggu, independen dan lepas dari tuntutan. Asal kata ini adalah Mahardhika dari Bahasa Sansekerta yang artinya kuat, kaya dan sejahtera.
Barangkali penulis tidak akan mengambil makna “kaya” atau “sejahtera”, melainkan sebuah pemaknaan untuk hal yang bersifat independent dan bebas dari belenggu. Secara sederhana, merdeka berarti bebas menerjemahkan sebuah kata atau perilaku verbal sesuai dengan akal masing-masing.
Kembali pada klausa “fashion week” yang selama ini telah berhasil membelenggu pola pikir banyak orang. Ketika mendengar klausa tersebut, sontak benak akan lari ke Paris, London, Berlin atau Milan. Terbayang merek-merek pakaian ternama besutan desainer andal, dipakai oleh supermodel dunia.
Padahal, jika diterjemahkan per kata maupun sebagai klausa, “fashion week” adalah Noun Clause yang sama sekali tidak memiliki value apapun melainkan hanya menjelaskan sebuah aktivitas di waktu tertentu.
Kata “fashion” mengarah kepada busana atau pakaian secara umum. Tidak mengikat kepada tuxedo, casual blazer bahkan daster. Sementara “week” adalah penunjuk waktu. Sementara kata penunjuk tempat yang diikutinya: Paris, Milan, London dan Berlin menunjukkan tempat terjadinya aktiivtas tersebut.
Artinya, sama sekali tidak ada kaitan antara “fashion week” dengan merek tertentu, dengan gaya berbusana atau tentang profesionalisme seorang model yang harus mengenakan pakaian dan berjalan di catwalk (atau trotoar).
Remaja Citayam telah berhasil menerjemahkan klausa tersebut secara merdeka. Tidak peduli dengan pemahaman banyak kalangan, karena mereka tampil apa adanya. Fashion week ala Citayam adalah sebuah kebebasan menerjemahkan klausa secara independen, tanpa terbelenggu oleh pemahaman banyak orang tentang merek, model atau level peragaan busana papan atas.
Meski demikian, para pekerja elit SCBD masih harus bersyukur karena remaja Citayam tidak menanggalkan benderanya. Mereka tetap percaya diri sebagai “anak Citayam”. Bayangkan jika mereka tidak merdeka dalam memahami “fashion week”, maka peragaan busana Dukuh Atas tersebut akan bergelar “SCBD Fashion Week”. Sebuah tamparan yang lebih keras untuk gaya metropolis Jakarta.
Sebuah Kritik pada Akal
Belum berhenti berdecak dengan perilaku remaja yang sedang “menguasai” ibukota. Hal lain tentang kemerdekaan berpikir seharusnya menjadi penting untuk direnungkan. Para remaja kreatif ini barangkali hanya segelintir kelompok yang mencoba mendobrak akal yang terlalu “berkerumun”.
Kita kadang dibuat lelah dengan pemikiran satu-dua orang, atau satu kelompok mayoritas yang menyeragamkan hal yang tidak harus seragam. Para pelajar dan kaum terpelajar, disadari atau tidak, belum sepenuhnya merdeka dari belenggu pemikiran mayoritas.
Memang, merdeka bukan berarti bertindak semaunya. Namun keberadaan manusia sebagai bentuk yang pada awalnya nihil di dunia ini, juga merupakan sebuah pemikiran yang memunculkan beragam hipotesis. Artinya, siapapun dari berbagai bidang dan sudut pandang, bebas menerjemahkan dan memahami hal apapun, sesuai dengan akal yang menjadi berkat untuk masing-masing manusia.
Citayam Fashion Week dan viralnya SCBD adalah sebuah tamparan dari remaja pinggir Jakarta. Bahwasanya, mereka juga manusia dengan akalnya, dan mereka juga Indonesia yang berhak memiliki “kota”.
Penulis: Rahma Roshadi
Kereeeen
Terima kasih atas komentar positifnya. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.