Oleh : Harpan Aziz Ahmad, Kebayoran – DKI Jakarta
Nama lain dari pengorbanan ini adalah Islam. Itulah yang menjadikan seseorang sebagai Muslim hakiki yaitu yang mengorbankan nafs (jiwa atau ego) masing-masing.
Hari ini seluruh umat Islam tengah merayakan Idul Adha, hari raya qurban. Apakah faedah dari pengorbanan ini? Dan apakah manfaat kegembiraan merayakan Id? Jangan sampai pengorbanan-pengorbanan ini hanya dipandang agar kita dapat memakan daging saja, atau id hanya bermakna perayaan saja, memberitahukan kepada dunia, “Kami sedang berkorban, demikianlah keadaan kami, kami mampu mengorbankan kambing, domba, atau sapi.”
Corak pandang demikian tidak akan menjadikan kita hamba-hamba yang dekat dengan Allah Ta’ala bahkan Allah Ta’ala menolak sangat keras pemikiran demikian. Allah Ta’ala berfirman: “Daging korban-korban dan darahnya sesekali-kali tidak akan sampai pada Allah tetapi ketaqwaan hatimu yang akan sampai pada-Nya.” (Al-Hajj, 22:38)
Dari sini menjadi nyata bahwa Idul Qurban ini mengajarkan tata cara pengorbanan yang berhikmah. Karenanya harus timbul perhatian untuk berjalan sesuai dengan ridha Allah Ta’ala dan merenungi perintah-perintah-Nya yang akan meninggikan derajat ketakwaan. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim beserta keluarganya, contoh keteladanan tentang pengorbanan yang hari ini setiap orang tengah mengenangnya.
Walaupun pun pengorbanan dari wujud-wujud mulia itu telah mendapatkan maqom pengabulan, namun tetap saja mengharapkan jalan-jalan pengorbanan dengan senantiasa memanjatkan da; “Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada Engkau, dan jadikanlah dari antara keturunan kami satu umat yang berserah diri kepada Engkau. Dan perlihatkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.” (Qs Al-Baqarah, 2:129)
Maka dari itu, Id yang sedang dirayakan ini ialah dalam rangka mengenang pengorbanan Nabi Ibrahim as, beserta istri dan putra beliau. Ini bukanlah pengorbanan-pengorbanan lahiriah dan demi pernyataan belaka, bahkan semua itu mengarahkan perhatian kita pada satu maksud dan tujuan yang sangat agung. Pengorbanan yang kita lakukan berupa penyembelihan kambing, domba dan sapi, ini bukanlah hanya merupakan pernyataan kebesaran kita atau untuk memperlihatkan kebaikan tertentu pada orang-orang sehingga mereka mengatakan, “Dia telah mengorbankan domba yang bagus dan sangat mahal.”
Kalau pengorbanan itu kosong dari ketakwaan, kalau pengorbanan ini tanpa doa dan keinginan mendapatkan ridha Allah Ta’ala maka pengorbanan ini di sisi Allah Ta’alamenjadi tidak layak bahkanditolak dan dengan demikian menjadi penyebab kebinasaan. Sama halnya dengan ibadah shalat, akan menjadi penyebab kebinasaan jika dilakukan tidak untuk memperoleh ridha Allah Ta’ala tapi hanya untuk pamer, demikian juga ibadah Haji akan ditolak di sisi Allah Ta’ala jika dikerjakan bukan untuk mendapatkan ridha-Nya.
Ada sebuah riwayat perihal seorang Wali yang melihat dalam kasyaf para malaikat sedang bercakap-cakap bahwa “Sedemikian banyak orang yang beribadah haji namun tidak ada seorang pun yang dikabulkan. Kecuali ada satu orang yang tinggal di suatu tempat, walaupun tidak datang ke sini untuk menunaikan ibadah haji tetapi hajinya dikabulkan.”
Sang wali itu berusaha mencari dan menemuinya, dengan membawa satu pertanyaan besar yakni “Amal perbuatan apa yang telah diperbuat oleh orang itu sehingga memperoleh derajat takwa sedemikian rupa walaupun ia tidak melaksanakan ibadah haji? Singkat cerita, akhirnya sang Wali berjumpa dengan orang itu. Ia berkata kepadanya, “Saya melihat dalam kasyaf bahwa haji anda dikabulkan. Amal perbuatan apakah yang sedemikian rupa disukai Allah sehingga sembari duduk-duduk saja di rumah, ibadah haji anda dikabulkan?”
Orang itu berkata, “Saya seorang yang miskin. Sembari mengumpulkan uang-uang receh untuk menyempurnakan keinginan ibadah haji, saya juga menabungkan sisa-sisa uang belanja saya. Ketika saya tengah bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji, dari rumah tetangga tercium harumnya masakan daging. Istri saya yang sedang hamil ingin makan dagingnya itu. Karena sudah lama tidak memakan daging dan keadaan kami tidak memiliki uang untuk memasaknya. Ketika saya pergi ke rumah itu untuk meminta sedikit masakan kuah berdaging. Saya mengetuk pintu sambil memanggil pemiliknya, istri pemilik rumah itu datang menuju pintu. Setelah saya sampaikan amanat istri saya kepadanya, perempuan itu berkata, ‘Daging ini baik bagi kami tetapi tidak baik bagi anda dan keluarga. Oleh karena itu saya tidak dapat memberikannya.’ Saya bertanya pada perempuan itu, ‘Apa masalahnya daging ini baik bagi anda tapi tidak baik bagi kami?’
Perempuan itu berkata, ‘Sudah beberapa hari ini kami kelaparan. Anak-anak kami merintih-rintih lapar. Suami saya sedang pergi. Lalu, saya melihat seekor keledai yang sudah mati. Saya memotong dagingnya dan membawanya pulang ke rumah. Daging itu yang saat ini sedang saya masak. Inilah keadaan kami yang terpaksa. Bukan seperti keadaan anda. Anda dapat membeli daging seperti harapan anda. Daging ini tidak untuk anda.’
Mendengar keadaannya saya pun langsung pulang. Saya ambil uang tabungan saya untuk naik haji. Saya serahkan itu kepadanya lalu berkata, ‘Daging itu pun haram bagi anda, buang dan makanlah yang halal.’[1]
Walhasil, Allah Ta’alatelah menerima haji seseorang yang berpikir atas dasar ketakwaan dan menunaikan hak kewajiban terhadap tetangga walaupun ia tidak melakukan ibadah haji. Karenanya, setiap ibadah dan pengorbanan menghendaki adanya ruh ketakwaan dan demi untuk ridha Allah Ta’ala. Yang tanpa itu, semua ibadah dan pengorbanan hanya mengalir di mulut saja.
Hadhrat Masih Mau’ud as di beberapa tempat menjelaskan kepada kita mengenai apakah hakikat dari pengorbanan yang sesungguhnya dan bagaimanakah taraf (standar) pengorbanan itu? “Nama lain dari pengorbanan ini adalah Islam. Itulah yang menjadikan seseorang sebagai Muslim hakiki yaitu yang mengorbankan nafs (jiwa atau ego) masing-masing. Arti Islam adalah meletakkan leher sendiri untuk disembelih. Artinya, dengan kerelaan sempurna meletakan ruhnya di depan istana Tuhan.”
Kemudian beliau bersabda, “Inilah nama yang indah.” (yaitu Islam) “yang merupakan ruh seluruh syariat dan jiwa seluruh perintah. Dengan kegembiraan hati dan keikhlasan meletakan lehernya sendiri untuk disembelih lalu menginginkan kaamil mahabbat (kecintaan yang sempurna), kaamil isyq (keasyikan nan sempurna) juga kaamil ma’rifat (wawasan rohaniah yang sempurna). Maka dari itu, perkataan Islam tertuju akan hal ini, yaitu untuk melakukan pengorbanan hakiki memerlukan kecintaan dan ma’rifat yang sempurna. Tidak memerlukan hal-hal lainnya. Kearah itulah Allah Ta’ala berfirman dalam Qur’an Syarif; Lay yanaallaha luhuumuhaa wa laa dimaa’uhaa walaakiy yanaaluhut taqwaa minkum –Sekali-kali tidak akan sampai kepada-Ku daging kurban kalian dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Ku adalah kalian takut pada-Ku dan mengusahakan ketakwaan kepada-Ku.” (al Hajj, 22:38)[2]
Karenanya menjadi jelas bahwa takwa yang menjadi tuntutan dali setiap ibadah dan pengorbanan adalah nama dari Islam. Takwa itu ditandai dengan adanya kecintaan dan pemahaman yang sempurna untuk berusaha mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Dan tujuan itu dapat tercapai dengan tegaknya dua pondasi ibadah; Pertama, yaitu melaksanakan haq-haq atau kewajiban terhadap Allah. Dan kedua adalah menunaikan hak-hak makhluk. Inilah haq-haq yang untuk menegakannya Allah Ta’ala memberikan contoh pengurbanan luhur yakni Dia menerima pengorbanan Hadhrat Ibrahim as dan Hadhrat Ismail as.
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan pada kita pemahaman pengorbanan dalam corak warna yang sejati.
—
Sumber : Khutbah Khalifatul Masih Al-Khamis Atba 6 Oktober 2014.
[1] Tadzkiratul Auliya (Kisah-Kisah Kenangan dan pelajaran dari Para Wali), karya Syaikh Fariduddin Athar, h. 165, penerbit Mumtaz Akademi, Lahore. Kisah diatas sedang membahas Hadhrat Abdullah ibn Mubarak rahmatullah ‘alaihi.
[2] Lecture Lahore (Ceramah di Lahore), Ruhani Khazain jilid 20, h. 151-152.