Oleh : Aisyah Begum, Kota Bangun – Riau.
“Semangat!”, sebuah kata yang hanya dengan mendengar atau menyebutkannya saja sudah mampu membuat seseorang merasa bangkit. “Sayang”, juga hanya sebuah kata sederhana namun dengan mendengar atau mengucapkannya bisa memunculkan efek ketenangan dan rasa bahagia dalam diri kita.
Mengapa demikian? Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial, tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, manusia merangkai kata demi kata sehingga menjadi sebuah kalimat yang dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Namun, apakah kita pernah menyadari bahwa kata-kata yang kita rangkai menjadi sebuah kalimat itu memiliki kekuatan yang lebih dari sekadar susunan kata? Kata-kata yang telah tersusun menjadi kalimat tersebut bisa menjadi penyemangat atau sebaliknya menjadi penghancur semangat hidup seseorang, atau mungkin menjadi penyebab munculnya sebuah perdebatan yang berujung pada hal-hal tidak diinginkan. Semisal fitnah, kebencian bahkan pertengkaran.
Di era digital ini misalnya, tak sedikit berita miris yang kita temukan tentang bullying yang akhirnya berujung pada penyesalan. Apa penyebabnya? Hanya karena kata-kata yang kurang pantas yang diterima oleh seseorang dalam kondisi yang tidak pas.
Mungkin rangkaian katanya terdengar sepele; “Baper amat sih?”, “Gak gaul banget, kampungan tau!”, “Gitu aja gak kelar-kelar, kapan bisanya?”.
Jika kita mungkin pernah mendengar atau bahkan pernah mengucapkan atau mengetikkan kalimat-kalimat yang menurut kita “sederhana” seperti itu. Maka mulai dari sekarang kita harus hentikan dan segera memperbaikinya. Kata-kata yang mungkin menurut kita sepele atau mungkin sebagai bahan bercanda, bisa jadi hal yang menyakitkan dan menjadi beban pikiran bagi orang lain.
Sebagian orang mungkin saja memikirkan kata-kata “sederhana” yang kita anggap sepele tadi jauh lebih dalam dari yang bisa kita bayangkan, terlebih jika orang yang kita ajak berkomunikasi itu adalah orang yang sedang berada dalam kondisi “Mental Illness” atau dikenal dengan istilah gangguan mental, dalam hal ini bukan berarti tidak waras ya.., namun lebih kepada gangguan mood, tidak mampu mengotrol emosi, pemikiran dan prilaku, karena tertekan oleh keadaan atau berbagai faktor lainnya. Terlebih pada masa pandemi seperti sekarang ini, orang-orang yang berada dalam keadaan “Mental Illness” ini sering kali kita temui.
Untuk menghadapi permasalahan seperti ini, ajaran Islam yang diamanahkan Allah ta’ala kepada Rasulullaah Saw telah memberikan solusi yang luar biasa. Sebagian dari kita mungkin belum manyadari betapa dalamnya, makna yang terkandung dalam salah satu hadits Rasulullah saw yang berkaitan erat dengan hal ini yaitu;
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Sesuai dengan hadist tersebut, dalam menjalin komunikasi yang baik, perlu mempertimbangkan setiap kata-kata yang akan kita ucapkan, apakah nantinya akan menyakiti orang lain atau tidak? Jika sekiranya akan menyakiti, lebih baik ditahan aja!
Karena sebagai orang awam, terkadang banyak dari antara kita yang tidak bisa membedakan mana orang yang sedang berada dalam kedaan berjuang melawan “Mental Illness” dan mana orang yang kondisi kejiwaanya normal. Apalagi, tidak jarang pula para penderita “Mental Illness” ini mampu menyembunyikan segala sesuatu yang mereka rasakan, bisa dengan senyum atau bersikap seolah tidak ada masalah padahal beban hidup yang ditanggungnya begitu berat.
Oleh karena itu, sejalan dengan hadist tadi, mulailah belajar menyebar kebaikan dan cinta dari hal yang sederhana saja, misalnya menjadi pendengar yang baik. Saat seseorang ingin berbagi cerita tentang kesulitan hidup yang mereka hadapi kepada kita. Beri respon seperlunya yang tidak menyakiti, menenangkan, bahkan sebaiknya memberi semangat dan sugesti positif.
Selain itu, merupakan suatu langkah yang baik jika kita juga bisa mengarahkan orang-orang yang kurang beruntung seperti itu, untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, agar mereka mampu menjernihkan pikiran mereka. Sehingga mereka dapat merenungi dan akhirnya merasakan kembali kasih sayang Allah yang tak terhingga bagi hamba-Nya.
Jadi tak perlu melakukan hal-hal yang berat untuk menebarkan kebaikan dan cinta, cukup diawali dengan cara yang sederhana. Jadilah pendengar yang baik, berbicaralah yang baik. Tumbuhkan rasa kasih sayang pada semua orang melalui etika berkomunikasi yang dipenuhi rasa cinta, bukan celaan, hujatan dan kebencian.
Masyaallah Tulisan yang penuh makna bu aisyah, mubarak…
jazakillah
MasyaAllah .tulisan ini sangat nikmat untuk menumbuhkan rasa cinta dan peduli dg sesama dg hal kecil
jazakillah
Good article
jazakallah