Hubungan persahabatan yang terjalin antara dua atau lebih individu mampu memberikan stimulus-stimulus yang menyenangkan satu sama lain. Memberikan informasi yang menarik, menggembirakan dan menghibur, sehingga individu lebih merasa bahagia. Seperti saling menghibur satu sama lain, dan melakukan aktivitas yang menyenangkan. Walaupun didalam persahabatan itu pasti ada persamaan dan perbedaan persepsi, tetapi tetap saling menghormati. Apalagi, soal keyakinan.
Awal perkenalan penulis dengan Kesusteraan Hati Kudus Yesus pimpinan Suster Geraldine, yang akrab disapa Sus Gera, terjadi pada acara “Open House” Natal tahun 2015. Bertempat di Jalan Ambon, sebuah kesusteran berdiri di sana. Dalam suasana riuh obrolan tamu-tamu yang datang, tiba-tiba ada satu pertanyaan menarik dari Sus Gera yang ditujukan kepada hadirin, termasuk penulis.
“Mengapa Islam tidak mengakui atau tidak mempercayai kalau yang disalib itu Yesus?”
Secara spontan penulis langsung menyambar pertanyaan itu dengan jawaban, “Kami Muslim Ahmadiyah menyakini bahwa yang disalib menurut Al-Quran itu Yesus as putra Maryam.”.
Sus Gera tertegun. Beliau seperti tak percaya mendengar jawaban ini karena mendapatkan sebuah persamaan keyakinan bahwa yang disalib itu Yesus as.
Begitulah awal perkenalan dengan suster-suster jalan Ambon Bandung, yang kemudian saling berbalas kunjungan. Sus Gera dan saudara rohaninya hadir beberaps kali di hari Idul Fitri, mereka pun mengikuti prosesi salat Id dengan khidmat sampai dengan selesai.
Pada “Open House” Natal tahun berikutnya 2016 penulis berkesempatan hadir kembali atas undangan Kesusteraan jalan Ambon. Sus Gera mengajak yang hadir pada saat itu untuk bernyanyi bersama lagu-lagu rohani Katolik diiringi gitar oleh seorang suster. Hadirin dibagikan buku saku lagu-lagu rohani yang sudah diberi tanda untuk dinyanyikan.
Lagu-lagu yang dinyanyikan bersama hadirin yang non Katolik tidak ada satu pun lagu yang ada kata-kata “Tuhan Yesus”. Padahal waktu penulis meneliti kembali lagu-lagu lainnya, banyak yang menggunakan kata “Tuhan Yesus”, tapi tidak dipilihkan untuk dinyanyikan bersama. Begitulah cara suster-suster menghormati kami yang hadir tidak menjebak keyakinan yang paling krusial perbedaannya.
Pada kesemparan lain, beberapa kali Sus Gera mengajak saudara rohaninya dari Amerika Serikat, Kanada, suster-suster China bahkan terakhir dari India dan Uganda yang ingin mengetahui tentang Islam. Suster Gera mengajak mereka datang ke Masjid Mubarak Bandung. Penulis sangat ingin tahu alasan menjadikan Masjid Ahmadiyah sebagai rujukan belajar Islam. Sus Gera mengatakan, “Saya nyaman dengan orang-orang Ahmadiyah.” Jawaban singkat namun sangat mendamaikan.
Persamaan akidah, presepi dan pendapat adalah hal yang paling menyenangkan. Tapi, apakah persamaan itu akan selalu kita dapatkan? Bahkan kita yang lahir dari orang tua yang sama pun mempunyai saudara kandung yang berlainan tabiat, walau dididik dengan cara yang sama.
Perbedaan adalah anugerah. Ketika orang di sekitar kita meributkan nilai dari sebuah kepantasan atas sebuah pilihan, sebenarnya kita patut bersyukur karena tidak semua orang mampu menerima sebuah perbedaan. Pernah dengar ‘beda itu indah?’ Ya, begitulah sebenarnya esensi dari sebuah perbedaan, yaitu adanya keindahan. Keindahan toleransi, keindahan pemikiran, dan keindahan sudut pandang.
Penulis: Djamilah Nuragustiani