By : Mln. Rafiq Ahmad, Ciamis – Jawa Barat.
Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam.
(Q.S al-An’ām: 163)
Suatu pertanyaan yang timbul dalam perenungan bahwa banyaknya ajaran dan penjelasan berkenaan dengan iman yang disampaikan oleh para penceramah baik di desa maupun di kota, masih saja terasa kurang. Aplikasi dari apa-apa yang sudah disampaikan seakan-akan tidak seiring-sejalan dengan kondisi yang diharapkan. Pasalnya masih saja banyak kita lihat prilaku-prilaku di luaran sana yang tak mencerminkan adanya iman atau bahkan jauh dari nilai-nilai keimanan sebagaimana yang telah agama ajarkan.
Definisi Iman itu sendiri sesuai sabda Rasulullah saw demikian jelas bahwa:
الايمان معرفة بالقلب و قول باللسا ن و عمل بالاركان (رواه الطبران)
Yang artinya; “Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.” (HR Thabrani)
Sabda Rasululah saw di atas memberikan penjelasan bahwa iman itu bukan suatu hal yang patut disembunyikan, bahkan sebaliknya senantiasa ditampilkan lewat prilaku-prilaku yang tanpa itu selantang bagaimanapun iman diikrarkan tidak akan bermakna apa-apa. Demikian juga sebaliknya amalan tanpa iman akan tampak seperti jasad yang tanpa ruh.
Iman sangat erat hubungannya dengan tauhid Ilahi, dalam artian ia menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sembahan dan tujuan yang benar. Karenanya ke-imanan menuntut seseorang untuk melaksanakan suatu amal dengan dasar semata-mata hanya untuk keridhan Allah Ta’ala. Sebagimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam” (Q.S al-An’ām: 163)
Memahami lebih lanjut hakikat dari tauhid, Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata: ”Sesungguhnya hakikat tauhid adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Maka kita tidaklah berdoa kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada-Nya, tidak taat (bertakwa) kecuali kepada-Nya, dan tidak bertawakkal kecuali kepada-Nya. Tidaklah ketaatan (ibadah) ini kita tujukan kecuali kepada-Nya, tidak kepada yang lainnya dari para makhluk-Nya”. (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah, 3: 237)
Standar inilah yang harusnya difahami dan direnungi serta dijadikan sarana untuk menilai seberapa teguh kita dalam keimanan terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala? Ibadah-ibadah yang kita lakukan apakah sudah bersih dari harap-harap puji-sanjung atau popularitas, dan semata-mata didedikasin hanya untuk Dia? Harapan yang kita sandarkan kepada Allah apakah sudah lebih besar daripada kebanggaan pada upaya-upaya dan kemuampuan diri? Jangan sampai keimanan itu beralih pandang, yang malah menjerumuskan kita kepada penyekutuan terhadp-Nya. Naudzubillahi ‘ala dzalik.
Hadhrat Masih Mau’ud, Mirza Ghulam Ahmad as menjelaskan; “Tauhid bukan hanya mulut mengatakan (laa ilaaha illallah) sedangkan di dalam hati terkumpul ribuan berhala. Yaitu seseorang yang menganggap pekerjaannya, makarnya, penipuannya dan tadbirnya sangat penting dan agung yang seharusnya ia menganggap sangat agung hanya terhadap Tuhan. Atau ia bertumpu sepenuhnya kepada seseorang manusia yang seharusnya ia harus bertumpu hanya kepada Tuhan, atau menganggap dirinya begitu agung yang harusnya ia menganggap demikian kepada Tuhan. Dalam semua posisinya seperti itu, di sisi Tuhan ia adalah penyembah berhala atau patung. Patung bukan hanya yang terbuat dari mas, dari perak atau dari batu kemudian bertumpu kepada benda-benda itu melainkan setiap benda atau perkataan atau amal perbuatan, percakapan, atau barang sesuatu yang dianggap sangat penting atau dianggap sangat besar selain dari pada Allah Ta’ala, maka hal itu semua di pandangan Allah Ta’ala adalah berhala”. (Majmu’ah Isytihaaraat jilid awwal halaman 159 isytihaar/selebaran pengumuman ‘Takmil Tabligh’, selebaran nomor 51, terbitan Rabwah)
Kiranya menjadi jelas bagi kita bahwa keimanan sejati bukanlah suatu kondisi dimana kita sudah tidak lagi menyembah berhala seperti patung, gunung, pohon atau batu. Bahkan lebih dari itu, keimanan juga menuntut agar segala batu sandung yang menghalangi hati kita, perhatian kita dan pikiran kita untuk tunduk – patuh, beribadah dan mengagungkan Allah kita singkirkan, sehingga yang nampak dan menjadi tujuan kita adalah hanya dan hanya Allah swt.
Terkait dengan bahaya dari menjadikan sesuatu sebagai sekutu Allah Ta’ala, banyak kita dapati dalam firman-Nya. Sebagaimana terdapat dalam Surah An-Nisa ayat ke-49 yakni:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”
Nabi Akram Muhammad al-Mustafa, Rasulullah saw juga mewanti-wanti kita dari bahaya ini dengan sabdanya bahwa:
“Maukah kalian aku beritahukan dengan dosa yang paling terbesar?” kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Menyekutukan Allah” (HR. Bukhari)
Semoga kita bisa memahami dan menjauhkan diri dari sikap syirik baik besar maupun kecil, lalu berusaha untuk memurnikan setiap amal soleh dan ibadah-ibadah kita semata-mata hanya untuk Allah Ta’ala dan meraih keridhoan-Nya. Aamiin Allahumma Aamiin
Semoga Allah SWT, menjaga dan melindungi kita dari perbuatan syirik, riya’, ujub dan mencari ketenaran didalam beribadah, Aamiin