By: Mln. Abdul Haq Kartono, Jember – Jatim.
Sekali-kali tidak akan sampai dagingnya dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu….
Qs. Al-Hajj, 22:38
Niat menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memilik tiga arti; Pertama maksud atau tujuan perbuatan, kedua kehendak (keinginan dalam hati) akan melakukan sesuatu, ketiga janji untuk melakukan sesuatu jika cita-cita atau harapan terkabul.
Sedangkan menurut bahasa arab niat berasal dari akar kata نَوَى-يَنْوِى-نَوًى,وَنِيَّةً artinya berniat, bermaksud, merencanakan, menentukan, dan tujuan. Dengan arti tersebut dapat diambil mafhum bahwa niat merupakan penggerak bagi amal perbuatan manusia. Oleh karena itu Islam sangat menekankan pentingnya niat dalam setiap melakukan amal perbuatan karena dengannya akan menentukan nilai dari amalannya di hadapan Allah swt.
Rasulullah saw membagi niat menjadi dua bagian, niat baik dan niat buruk sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
عن ابى هريرة ان رسول الله ﷺ قال يقول الله اذا اراد عبدي ان يعمل سيئة فلا تكتبوها عليه حتى يعملها فان عملها فاكتبوها بمثلها وان تركها من اجلى فاكتبوها له حسنة واذا اراد ان يعمل حسنة فلم يعملها فاكتبوها له حسنة فان عملها فاكتبوها له بعشر امثالها الى سبع مائة ضعف.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Allah berfirman: ‘Jika seorang hamba-Ku ingin melakukan kejahatan maka janganlah kalian catat hingga ia melakukannya, dan jika ia melakukannya maka catatlah semisalnya. Jika ia meninggalkannya karena Aku maka catatlah kebaikan baginya, dan jika ia berniat melakukan kebaikan sedang ia belum melakukannya maka catatlah kebaikan baginya, dan jika ia melakukannya maka catatlah sepuluh kebaikan baginya, bahkan hingga tujuh ratus kali lipat.’ (H.R.Bukhari).
Dalam hadis tersebut, bisa kita lihat bagaimana cara Allah swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu memberikan keadilan dan penghargaan kepada setiap hamba yang berusaha melakukan amal baik dengan pahala hingga tujuh ratus kali lipat. Sementara dalam hal amal buruk yang dilakukannya, Allah swt dengan sifat Maha Pengampunnya hanya membalas dengan balasan yang semisalnya. Satu cara pandang yang jauh berbeda dengan cara pandang kita, manusia ketika menilai amal perbuatan orang lain. Manusia terkadang dalam hal amal kebaikan, seringkali kurang mengapresiasi sebagaimana mestinya. Sedangkan terhadap amal buruk, ia cenderung berlebihan dalam menghakimi.
Kemudian di beberapa tempat dalam Al-Quran, Allah swt pun banyak menjelaskan tentang arti pentingnya niat dalam setiap ibadah yang dikerjakan oleh setiap hamba. Dalam surah Al-Hajj ayat ke 38 misalnya, Allah swt berfirman; “Sekali-kali tidak akan sampai dagingnya dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu…”. Maksud ayat tersebut dengan sangat jelas menerangkan bahwa bukan amal lahiriah yang akan menarik keridhoan Ilahi, melainkan jiwa yang menjadi dasarnya dan niat yang ada di belakangnya.
Apakah falsafah niat? Sehingga Islam menjadikannya “timbangan” bagi setiap amal perbuatan? Nabi Karim Muhammad, Rasulullah saw bersabda;
عن عمربن الخطاب قال سمعت رسول اللهﷺيقول انما الاعمال باالنيات وانما لكل امرئ ما نوى
Diriwayatkan oleh Hadhrat Umar Bin Khatab ra: “Aku mendengar Rasulullah saw, bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan dinilai dengan niat, dan bagi setiap orang ada pahala yang sesuai dengan niatnya.” (H.R.Bukhari)[1]
Hadis yang latif ini memancarkan cahaya yang menyinari pokok dasar falsafah amal perbuatan manusia. Ternyata pekerjaan yang secara lahiriah kelihatan sebagai amal yang baik itu banyak macamnya. Misalnya, beberapa pekerjaan dilakukan karena dorongan adat kebiasaan. Ada pula amal yang dilakukan karena meniru orang lain, beberapa amal lagi dilakukan karena ria dan pamer. Namun semua amal-amal itu ibarat kebun yang tidak menghasilkan buah dan tidak ada timbangannya pada neraca Tuhan. Adapun amal-amal yang benar ialah yang dilakukan dengan niat yang ikhlas dan irodah yang benar. Amal-amal yang demikianlah yang patut meraih pahala dari Allah swt.
Sesungguhnya seseorang dalam melakukan suatu amal, jika hati, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya tidak bekerja secara terpadu dan selaras, maka amalnya yang demikian tidak ada artinya. Apabila hati mengandung niat yang benar dan tulus, kemudian lidah membenarkan niat itu, selanjutnya kaki dan tangan menjadi saksi dengan melakukan amal yang diniatkan itu, barulah amal itu akan dikabulkan oleh Tuhan.
Amal yang benar ialah yang disertai niat yang benar pula. Dengan niat yang suci manusia dapat meningkatkan amalan sehari-hari yang bersifat duniawi menjadi ibadah kerohanian yang tinggi nilainya. Rasulullah saw bersabda bahwa; jika seorang suami memasukan sesuap makanan ke mulut istrinya disebabkan mengikuti kehendak Khalik-nya, agar dia mencukupi isterinya dengan bahan makanan dan memperhatikan kemudahan bagi isterinya, maka amalannya ini di sisi Tuhan akan diperlakukan sebagai amal sholeh.
Sungguh patut disesalkan bahwa jutaan manusia di dunia ini menjalankan shalat karena mereka terbiasa sejak masa kanak-kanak. Demikian pula jutaan manusia yang berpuasa karena mengikuti orang-orang yang ada di sekeliling mereka. Dan jutaan orang yang menjalankan ibadah haji agar mereka dapat dikenal sebagai Al-Haj di tengah-tengah masyarakat, sehingga mereka boleh dianggap orang yang sholeh dan memberi dampak baik usaha-usahanya. Hadits yang mulia Rasulullah saw tadi telah membatalkan semua amalan yang demikian. Bagaimana pun megahnya suatu amalan ditampakkan tanpa didasari lilLaahi Ta’ala, akan menjadi ringan dalam pandangan-Nya.
Jadi, kita bisa menarik kesimpulan bahwa niat memiliki dua fungsi; pertama sebagai pembeda antara ibadah dengan kebiasaan dan kedua menjadi alat ukur bagi ganjaran amalan dan ibadah seseorang. Semoga dengan memahami hakikat niat yang sebenarnya, kita dapat meluruskan setiap niat atas amal ibadah yang kita lakukan, yang darinya menjadi sebab baiknya nilai pahala kita di hadapan Allah swt. Aamiin.
[1] Penjelasan hadis innamal ‘amalu binniyyati dikutip dari penjelasan Hadhrat Mirza Bashir Ahmad M.A r.a dalam buku 40 Mutiara Hadis.