Mukmin hakiki adalah orang yang dengan sepenuhnya dan dengan cermat memenuhi hak Allah dan hak sesama manusia keduanya. Orang yang memperhatikan sepenuhnya kedua sisi ini lalu mengamalkannya, dia itulah yang mengamalkan Al-Quran sepenuhnya. Jika tidak, berarti dia mengimani Al-Quran separuh saja.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as
Pada zaman sekarang di dunia ini kemunafikan telah banyak sekali. Sangat sedikit yang berkata tulus (ikhlas). Keikhlasan dan cinta merupakan cabang iman. Semoga Allah memberikan pahala kepada anda atas kecintaan dan ketulusan anda, dan semoga Dia memberikan kekuatan (taufik) dan akhlak fadhilah kepada anda yang tanpa memperhitungkan imbalan atau ganjaran apapun melakukan kebaikan terhadap umat manusia.
Itu jugalah yang dinamakan peri kemanusiaan, sifat paling dasar pada manusia adalah bukannya melawan keburukan atau membiarkan keburukan, melainkan berbuat baik kepada orang yang melakukan keburukan itu. Ini adalah sifat yang dimiliki para nabi dan kemudian yang dimiliki oleh orang-orang yang berkumpul bersama para nabi. Contoh hal itu yang paling sempurna adalah Rasulullah saw dan para sahabah ridhwanullaahi ‘alaihim ajma’iin. Allah Ta’ala sama sekali tidak akan menyia-nyiakan kalbu yang memiliki solidaritas (kepedulian) terhadap umat manusia.
Sifat-sifat hasanah dan akhlak fadhilah (mulia) terdiri dari dua bagian, dan itulah yang merupakan intisari serta saripati ajaran suci Quran Syarif. Pertama-tama adalah melakukan ibadah dalam memenuhi hak Allah. Menghindarkan diri dari kefasikan (kedurhakaan) dan kejahatan, menjauhkan diri dari larangan-larangan Ilahi, dan berusaha gigih melakukan perintah-perintah [Ilahi]. Kedua, tidak menampakkan kekurangan dalam memenuhi hak-hak umat manusia dan berbuat baik terhadap sesama manusia.
Orang-orang yang tidak memenuhi hak-hak sesama manusia — tidak peduli apakah mereka memenuhi hak-hak Allah sekali pun — mereka berada dalam bahaya besar, sebab Allah Ta’ala itu adalah Sattaar (Maha Penyelubung kelemahan/kekurangan) dan Ghaffaar (Maha Pengampun). Dia itu Rahiim (Maha Pengasih) dan Haliim (Maha Lembut dan Pemurah), serta Pengampun.
Merupakan kebiasaan-Nya bahwa Dia sering memaafkan, namun manusia kadang-kadang kurang memberi maaf. Jadi, jika manusia tidak memaafkan hak-haknya maka orang yang melakukan ketimpangan dalam memenuhi hak-hak manusia itu, atau yang berbuat aniaya itu — tidak peduli apakah dia berusaha gigih menerapkan perintah-perintah Allah Ta’ala, dan disiplin mengerjakan shalat serta puasa dan perintah-perintah syariat lainnya — tetapi karena tidak mempedulikan hak sesama manusia maka amal-amal lainnya pun terancam gagal.
Ringkasnya, mukmin hakiki adalah orang yang dengan sepenuhnya dan dengan cermat memenuhi hak Allah dan hak sesama manusia keduanya. Orang yang memperhatikan sepenuhnya kedua sisi ini lalu mengamalkannya, dia itulah yang mengamalkan Al-Quran sepenuhnya. Jika tidak, berarti dia mengimani Al-Quran separuh saja.
Namun bukanlah kekuatan manusia untuk menerapkan (mengamalkan) kedua macam amal-perbuatan ini, yakni untuk mampu mengerjakannya dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Manusia terbelenggu dalam rantai-rantai nafs ammaarah. Selama karunia dan taufik Allah Ta’ala tidak menyertainya, maka selama itu pula dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Oleh karena itu manusia hendaknya selalu berdoa supaya Allah Ta’ala memberikan kekuatan (taufik) kepadanya untuk melakukan kebaikan, dan supaya Dia menganugerahkan kebebasan pada dirinya dari belenggu-belenggu nafs ammaarah. Ini adalah musuh besar manusia. Jika nafs ammaarah tidak ada maka setan pun tidak ada. Nafs ammaarah merupakan musuh yang berada di dalam diri manusia sendiri, sedangkan setan merupakan musuh yang berada di luar.
Sudah merupakan ketentuan, bahwa tatkala pencuri melakukan pencurian di rumah seseorang, maka pertama-tama yang perlu diperiksa adalah orang yang mengenali seluk-beluk di dalam rumah itu. Pencuri dari luar sedikit pun tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya pihak yang tahu seluk-beluk di dalam. Jadi, itulah sebabnya setan merupakan musuh dari luar, sedangkan nafs ammaarah adalah musuh dari dalam.
Dengan mengetahui seluk-beluk di dalam rumah itulah nafs ammaarah mencuri barang-barang iman, dan menghapuskan cahaya iman. Allah Ta’ala berfirman [tentang Yusuf]: “Wa maa ubarri-u nafsii innan- nafsa la-ammaaratun- bis-suu’i” (Yusuf, 54), yakni, “Dan aku tidak membebaskan diriku serta tidak pula menyatakan bahwa nafs (jiwa) ini telah suci, melainkan nafs ini menyuruh kepada kejahatan.”
Sumber: Malfuzat, jld. X, hlm. 289-291