Oleh : Rahma A. Roshadi, Wanasigra – Tasikmalaya.
Salah satu nasihat Amirul Mukminin Huzur a.b.a yang senantiasa perlu diingatkan, adalah bahwa setiap ahmadi harus senantiasa melibatkan diri dalam pengorbanan-pengorbanan. Kita semua tahu dan bisa membaca, ada banyak macam perjanjian pengorbanan yang bisa kita lakukan secara rutin maupun terprogram. Namun demikian, apa esensi dari pengorbanan ini? Apakah hanya semata-mata “pilihan pembayaran” dan formalitas di atas kertas?
Pada pengorbanan harta, para ahmadi dipersilakan untuk membuat perjanjian pengorbanan sesuai dengan penghasilannya. Pengorbanan harta, sebagaimana dulu juga dilakukan oleh Rasulullah salallaahu alaihi wasallam dan para sahabat, adalah sebuah konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan kemajuan Islam.
Jemaat Ahmadiyah, mengembangkan pola pengorbanan harta pada zaman Rasullullah ini, menjadi lebih konstruktif sesuai dengan realitas hidup, namun tetap tidak terlepas dari teks yaitu perintah Alquran dan hadits, serta dengan pamahaman-pemahaman akal yang dijabarkan oleh pendiri jemaat ini, Al masih Al mau’ud Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, dalam hal penentuan kadar dan waktu pengorbanannya.
Candah tahrikh jadid misalnya, sejatinya bukan hanya terbatas pada pengorbanan harta semata, yang seketika selesai jika anggota (ahmadi) telah melunasinya. Ada makna lain yang ingin disampaikan dalam konsep pengorbanan ini, yaitu kesederhanaan, yang tercermin pada perilaku mereka yang menyisihkan hartanya.
Seperti halnya manusia biasa, tentu masih ada semburat nafsu dan ego yang terkadang menggerogoti pola pikir, sehingga mempengaruhi jalan pengambilan keputusan hidup. Salah satunya dalam aspek ekonomi dan keuangan, di mana hawa nafsu menjadi salah satu pendorong seseorang kepada arah penghambur-hamburan harta, ketamakan, atau keinginan untuk menikmati kesenangan tanpa mengeluarkan harta pribadi.
Sifat-sifat rakus seperti ini, sangatlah tidak dianjurkan dilakukan oleh seorang muslim, khususnya seorang ahmadi yang sangat jelas dengan nasihat-nasihat mulia khalifah kita. Ketamakan pada harta, salah satunya akan bermuara pada buruknya tabiat utang, yang hanya akan menimbulkan kehinaan pada siang hari, dan kesengsaraan pada malamnya.
Seorang muslim sejati, seharusnya bisa mengendalikan nafsunya, sehingga sebanyak apapun keinginan duniawi di dalam dadanya, harus hancur dengan keinginannya untuk menemui ridho Allah semata. Seseorang yang beriman dan berislam, harus tergerak hatinya melihat saudaranya, tetangganya, atau lingkungan sekitarnya penuh dengan penderitaan, sehingga terulur tangannya untuk memberikan pertolongan walaupun sedikit, alih-alih bersikukuh untuk memenuhi kebutuhan perutnya saja. Bahkan, bukanlah tabiat seorang muslim yang membiasakan diri terus-menerus terlibat dalam urusan utang.
Pengorbanan harta sejatinya mengajarkan kepada setiap ahmadi untuk mampu menahan diri dalam hal seperti tersebut. Seberapa besar penghasilan yang diterima, ada ‘paksaan’ untuk menyisihkan sebagian, demi kesejahteraan umat, keberlangsungan syiar Islam, dan untuk hal lain yang lebih mendatangkan manfaat, daripada sekadar disimpan dan ditimbun di dalam tabungan pribadi, atau dibelanjakan secara konsumtif. Maka, ketika seseorang melakukan perjanjian pengorbanan di jemaat, bukan kemudian berarti kita harus mengganti uang yang ‘hilang’ dengan pinjaman utang.
Pengorbanan harta memberikan pelajaran tidak hanya di atas formulir perjanjian, melainkan juga di dalam kehidupan sehari-hari untuk lebih banyak ‘menahan lapar’ karena pengeluaran yang tidak bisa sebanyak biasanya. Selain itu, pengorbanan harta juga mengajarkan kita untuk membuka mata, bahwa tidak selamanya kita bisa menikmati materi seperti saat ini, melainkan ada kalanya kita mengalami ‘paceklik’, namun harus tetap bersabar karena keyakinan akan pertolongan Allah yang melebihi pertolongan manusia manapun, dan kenikmatan bertawakal kepada Allah yang melebihi kenikmatan memiliki timbunan harta.
Dunia terkadang menyelimuti mata dan hati kita, sehingga ketika seseorang menerima uang, seketika itu juga sudah terbayang kebutuhan-kebutuhan yang akan dibelanjakan, tanpa secuilpun memikirkan kondisi orang lain, apakah mereka seberuntung kita dengan penghasilan ini? Celakanya, pada sebagian manusia, nafsu yang demikian tidak hanya terlintas kepada penghasilannya sendiri, tetapi juga terhadap materi milik orang lain yang belum bahkan bukan hak mereka.
Dalam implementasinya, pengorbanan harta adalah sebuah ilmu kesederhanaan dan pengendalian nafsu, terutama ketika seseorang melihat harta dunia. Di dalam perkara harta, akan ada hisab pada cara perolehannya, serta pada jalan penggunaannya. Semoga kita semua terhindar dari ketamakan harta benda duniawi, dan semoga kita diberikan nikmat untuk mampu dan mau berkorban harta, untuk meringankan beban saudara dan tetangga kita, serta untuk meraih ridho Allah taala.