Bulan Ramadhan telah berlalu dan meninggalkan kita semua. Kita tidak tahu, entah akan berjumpa lagi di Ramadhan berikutnya atau tidak. Hal ini tentu masih menjadi misteri karena soal masa depan tidak ada seorang pun yang tahu, melainkan hanya Allah-lah yang Maha Tahu, sebagaimana firman-Nya:
“…tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).
Sejatinya kekuatan doa-lah yang dapat membantu kita untuk berjumpa kembali dengan Ramadhan selanjutnya. Maka untuk itu perlu memberikan perhatian yang khas dalam berdoa. Biasakanlah mulut kita melafalkan doa-doa kepada Allah Ta’ala.
Kemudian muncul pertanyaan besar untuk kita, apa yang kita peroleh pasca Ramadhan? Jawabannya tentu akan berbeda-beda. Sebagian akan mengatakan bahwa berat badannya turut akibat puasa. Sebagian lagi masih ada yang kebingungan menjawab pertanyaan itu. Namun sebenaranya pencapaian yang diharapkan adalah dari segi spirituali (keruhanian). Dalam hal ini Allah Taala menginginkan setiap muslim menjadi orang-orang yang bertakwa.
Apa bertakwa itu? Sebagaimana dijelasakan dalam surah Al-Baqarah ayat 3: “(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib (Allah Ta’ala) dan mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian apa-apa yang telah kami rezekikan kepada mereka.” serta menurut surat Al-Imran ayat 134: “(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” Maka muncul kesimpulan karakter orang yang bertakwa sebagai berikut:
1. Beriman kepada yang gaib, misalnya beriman pada Allah Taala dan para malaikat-Nya yang termasuk rukun iman,
2. Mendirikan shalat adalah bukti kecintaan kepada Allah Taala. Shalat berjamaah di masjid lebih utama dibandingkan shalat sendirian,
3. Pengorbanan harta adalah bukti kecintaan kepada Tuhan dan sesama manusia. Baik dalam keadaan lapang maupun sempit,
4. Menahan amarah atau mengendalikan emosional, dan
5. Memberikan maaf.
Ciri-ciri spiritualitas demikianlah yang Allah Taala inginkan dari kita setelah melewati bulan suci Ramadhan. Hendaknya kita menjadi pribadi yang mengalami metamorfosis spiritualitas yang sempurna layaknya kupu-kupu. Bermula dari ulat yang nampak jijik dan menggelikan, kemudian berubah menjadi binatang yang indah nan cantik rupawan sehingga membuat semua orang senang melihatnya.
Sebaliknya, janganlah spiritualitas kita menjadi seperti seekor ular. Meskipun berkali-kali berganti kulit, tetapi tetap menjadi ular yang buas dan menyeramkan. Dari alam sekitar kita dapat belajar, perubahan spiritualitas seperti apakah yang harus kita wujudkan? Kupu-kupu atau ular? Apabila spiritualitas kita tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik sesuai keinginan Sang Pencipta, maka tentu akan luput dari golongan orang-orang yang beruntung, apalagi yang menang.
Saat ini muncul fenomena generasi maniak game di kalangan kaula muda muslim yang seringkali menjadikannya lalai dan lupa untuk menyembah Allah Ta’ala. Waktunya lebih banyak digunakan dalam permainan. Bahkan melupakan perannya sebagai generasi muda.
Padahal masa muda seharusnya digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif, Kita hendaknya belajar dari para pemuda terdahulu, seperti WR. Supratman sang Pencipta lagu Indonesia Raya dan pemuda produktif lainnya. Bangsa ini akan runtuh jika spiritualitas kaula mudanya jatuh.
Maka peran pemuda sangat central dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Senada dengan itu Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad bersabda, “Nation cannot be reformed without the reformation of the youth.” (Suatu bangsa tidak bisa direformasi tanpa perubahan dari generasi mudanya). Maka sebaiknya kaum muda juga perlu meningkatkan level spiritualitasnya. Para pemuda juga harus belajar dari kupu-kupu yang mengalami metamorfosis dari ulat hingga menjadi hewan yang menarik.
Penulis: Andhika Ibrar Ahmad