Oleh : Arsalanullah Muhammad Ahmad Arsy’, Jakarta.
Kebahagiaan merupakan teka-teki semua orang sejak beribu tahun lamanya, tak terhitung jumlah buku atau diskusi yang membongkar makna dari kata tersebut. Kebahagiaan sepertinya terdengar begitu abstrak, karena banyak yang mendefinisikan kata ini dengan caranya sendiri. Ada yang meraih kebahagiaan saat melahirkan anak meskipun harus melalui rasa sakit dan ada pula yang merasa bahagia hanya ketika dapat bersantai di rumah, dan sebagainya.
Apakah sebenarnya kebahagiaan itu?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kebahagiaan berasal dari kata bahagia yang secara etimologi berasal dari bahasa sansekerta yaitu “bahagiya” yang artinya adalah jatah yang menyenangkan; adapun secara terminologi berarti kesenangan dan ketentraman hidup atau kemujuran yang bersifat lahir batin.
Seiring perkembangan zaman, orang mulai memaknai kebahagiaan sebagai hal yang bersifat materiil seperti rumah, mobil, dan sejenisnya. Hal ini sebenarnya tidak salah sepenuhnya, namun akan sangat beresiko bila kebahagiaan kita bersandar pada suatu benda yang tidak abadi keberadaannya karena kebahagiaan seperti itu akan hilang bersama dengan materi yang kita miliki. Sehingga hal tersebut hanya menghasilkan kebahagiaan semu bukanlah kebahagiaan sejati.
Lantas bagaimana cara memperoleh kebahagiaan yang sejati?
Erich Fromm, seorang filsuf, merumuskan konsep manusia dan kebahagiaan yang terdiri atas “To Have” (Memiliki) dan “To Be” (menjadi). “To Have” adalah gagasan bahwa manusia ditentukan oleh seberapa besar dia memiliki (have). Keberadaan manusia ditentukan dari seberapa besar dia memiliki sesuatu; harta, jabatan. Manusia tidak berarti apa-apa jika tidak memiliki apa-apa, dalam arti materi.
Sementara “To Be”, adalah sebuah gagasan bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh “menjadi” apa manusia tersebut. Manusia ditentukan oleh sifat, karakter, perbuatan serta cara dia memperlakukan hidup. Manusia ditentukan dari bagaimana dia menjadi manusia yang sepenuhnya terbebas dari beban-beban dunia, manusia yang baik dan membawa kebaikan. Kebahagiaan jenis inilah yang disebut sebagai kebahagiaan sejati. (Fromm, E. (1976). To have to be. New York: Continuum London)
Dalam Islam, kebahagiaan sejati dapat diraih dengan cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mendapatkan penggambaran tentang kekuasaan dan kegagahan-Nya, merefleksikan diri pada hal tersebut serta patuh pada segala perintahnya; “Ketahuilah hanya dengan mengingat Allah hati akan memperoleh ketentraman”. (Qs. 13:29)
Semakin dekat hubungan seseorang dengan Tuhannya, semakin menjauhkan dia dari segala kecemasan dan kekhawatiran yang tak perlu. Hilangnya kekhawatiran dan kecemasan itu, melahirkan ketentraman yang membawa kebahagaiaan lahir dan juga bathin.
Pemimpin Jemaat Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Atba dalam satu kesempatan pun pernah menyampaikan: “Kedamaian batin yang hakiki menuntut seseorang untuk mengenal Tuhan dan menjalin kedekatan kepada-Nya, karena menurut islam, salah satu sifat Allah adalah ‘As-Salam , Sumber kedamaian” (Jalsah Salanah Belanda, Sabtu 28 September 2019).
Dari penjelasan tersebut kiranya menjadi terang bahwa dalam meraih kebahagiaan sejati, manusia perlu senantiasa mengingat Allah Ta’ala. Karena sebagai makhluk (ciptaan), manusia akan begitu tentram dan kuat dalam menghadapi cobaan ketika mengingat pencipta-Nya, wujud yang akan selalu ada bagi setiap hamba yang memohon dan meminta kepada-Nya.