Oleh : Mln. Ahmad Hayat
“Dan pembalasan terhadap suatu penderitaan adalah pencederaan yang setimpal dengannya, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang aniaya.” (Q.S. Asy-Syura, 42:41)
Pada ayat di atas terdapat perintah yang di dalam nya ada dimungkinkan untuk pemberian hukuman terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan, baik itu pelanggaran besar maupun kecil, baik itu berdampak merugikan orang lain dengan cara yang sepele ataupun yang berlebihan, baik itu dari kalangan yang memusuhi/lawan maupun bukan, namun juga di dalam ayat itu terdapat dorongan untuk ishlah (perbaikan) bagi si pelaku pelanggaran.
Melakukan Ishlah (perbaikan) adalah tujuan utama, maka sebelum melakukan/memutuskan hukuman, hendaknya perlu dipertimbangkan apakah hal demikian akan menghasilkan perbaikan di dalam dirinya (pelaku yang membuat kesalahan) atau tidak. Apabila dipertimbangkan pemberian maaf akan mengakibatkan timbulnya perbaikan, maka hal itu akan menjadi pilihan yang tepat daripada memberikan hukuman kepadanya.
Pemberian maaf secara tepat akan membuat yang memaafkan menjadi menerima ganjaran dan ridho dari Allah Taála. Dan jika hukuman/pembalasan yang dilakukan secara berlebihan maka hal tersebut akan menjadikan dia (orang yang memberikan hukuman) sebagai orang Zhalim (Aniaya, tidak adil dan kejam).
Ketentuan di dalam ayat ini mencakup segala urusan kita di dalam kehidupan sehari-hari dalam hal individu (perorangan), bahkan menjadi dasar dalam penegakkan dan perbaikan masyarakat, baik tingkat kelompok terkecil maupun internasional.
Di kalangan kita masih ada sebagian orang yang melakukan tindakan hukum sendiri tanpa pertimbangan yang matang bahkan Zhalim (aniaya), hanya karena si pelaku melakukan kesalahan seperti mencuri seekor ayam, dll, mereka melakukan tindakan hukum sendiri yang sangat Zhalim (aniaya).
Ingat dalam ayat di atas, pada bagian akhrinya Allah Taála menjelaskan “”InnaHuu laa yuhibbuzh zhaalimiin” ‘Sesungguhnya Allah Taála tidak menyukai orang-orang yang Zhalim (Berbuat aniaya). Artinya, jika di antara kita masih ada yang melakukan/menjatuhkan hukuman secara berlebihan kepada si pembuat kejahatan/kesalahan maka kita termasuk orang Zhalim (Aniaya).
Tujuan utama dalam memberikan hukuman kepada si pelanggar adalah Ishlah dan perbaikan akhlak. Islam senantiasa memperhatikan bahwa yang ditekankan tidak hanya terhadap pemberian hukuman sesuai pelanggarannya, namun juga tekankanlah pada timbulnya perbaikan.
Kita dapati teladan paling sempurna dalam mengamalkan ajaran islam ini ada dalam kehidupan penuh berkat Baginda Nabi Muhammad saw. Di dalam berbagai perkara beliau saw senantiasa memberikan maaf bahkan kepada musuh yang paling kejam dan kejam sekalipun. Ketika mereka yang melakukan kesalahan tersebut menunjukkan penyesalan mendalam dan berusaha untuk melakukan perbaikan diri dan akhlak yang lebih baik lagi, Hadhrat Rasulullah saw memberikan maaf kepada mereka yang telah melakukan kekejaman yang memilukan terhadap diri, keluarga dan para sahabat beliau saw.
Lihatlah sebuah contoh seorang penentang Nabi saw bernama Habar Bin Al-Aswad yang telah menyerang putri beliau saw, Hadhrat Zainab ra dengan tombak saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Saat itu Hadhrat Zainab ra tengah hamil. Akibat serangan Habar ini kandungan Hadhrat Zainab ra mengalami keguguran. Akhirnya luka inilah yang mengakibatkan beliau wafat. Atas kesalahannya itu Rasulullah saw memutuskan untuk menghukumnya/membunuhnya.
Pada saat penaklukan kota Mekkah oleh kaum Muslimin, Habar bin Al-Aswad lari lalu bersembunyi entah dimana, tetapi tatkala Rasulullah saw kembali ke Madinah, Habar hadir di hadapan Rasulullah saw dan sambil memohon belas kasih berkata, “Sebelumnya saya telah lari karena takut. Dosa saya sudah besar, tetapi pikiran akan sifat pemaaf Tuanlah yang membuat saya kembali datang ke sini. Meski saya sudah layak untuk dihukum. Wahai nabi Allah, kami tadinya berada dalam kejahilan dan kemusyrikan, kemudian dengan perantaraan Tuan, Allah telah memberikan petunjuk kepada kami dan menghindarkan kami dari kehancuran. Saya mengakui pelanggaran saya, maka Maafkanlah kejahilan saya”.
Maka dari itu Rasulullah saw memaafkan pembunuh anak perempuan beliau saw itu dan beliau saw bersabda, “Wahai Habar, Pergilah! Saya telah memaafkan engkau. Ini merupakan kebaikan Allah bahwa Allah telah menganugerahkan Taufik kepada engkau untuk masuk Islam dan memberikan Taufik untuk bertobat Hakiki.”
(As-Siratul Halabiyyah, jilid 3, hlm. 106, Cetakan Beirut. Tercantum juga dalan Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani, Musnad an-Nisa dzikir Zainab)
Hadhrat Masih Mauúd as, meletakkan Sikap Memaafkan di antara akhlak-akhlak yang berkaitan dengan berbuat kebaikan terdapat dalam urutan yang pertama.
Beliau as menjelasakan bahwa:
Äkhlak pertama dari antaranya ialah Áfwun yakni memaafkan dosa orang lain. Disini, berbuat kebaikan adalah: Seseorang melakukan dosa sehingga dia mengakibatkan kemudaratan, dan dia sendiri layak untuk dibalas dengan kemudaratan dihukum, dipenjara, didenda, atau menghukum dirinya sendiri, jika memaafkannya adalah suatu yang tepat, maka hal itu sudah merupakan sikap berbuat kebaikan.”
Dalam hal ini ajaran Al-Qurán Suci adalah:
“Yakni, orang-orang yang baik adalah mereka yang menahan amarah pada saat kemarahan itu harus ditahan, dan memaafkan dosa pada saat harus dimaafkan”. (Q.S. Ali-imron, 3:135)
“Balasan bagi kejahatan adalah setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Akan tetapi, seseorang yang memaafkan suatu dosa dan pemberian maaf itu dilakukan pada kesempatan yang dapat mendatangkan perbaikan dan tidak menimbulkan keburukan; yakni tepat pada kondisi áwf (pemeberian maaf) serta bukan tidak pada tempatnya, maka ia akan memperoleh pahalanya”. (QS. Asy-syuro 42:41)
Dari ayat ini jelas bahwa bukanlah ajaran Al-Qurán untuk tanpa sebab dan dalam setiap kasus, tidak memerangi kejahatan serta tidak menghukum para penjahat dan orang-orang aniaya. Melainkan ajarannya adalah, hendaknya dilihat, apakah kondisi dan kesempatan itu merupakan tempat pemberian maaf atau tempat pemberian hukuman. Jadi, yang benar-benar baik bagi si pelaku kejahatan dan juga bagi khalayak umum, itulah yang hendak diterapkan. Kadangkala dengan diberi maaf, seorang pelaku kajahatan akan bertoba, dan adakalanya dengan diberi maaf, seorang pelaku kejahatan akan bertambah berani.
Ringkasnya, Allah Taála berfirman, janganlah membiasakan diri memberi maaf secara membuta, melainkan mempertimbangkanlah dengan seksama, dimana terletak kebaikan yang sejati: apakah dalam sikap memaafkan, atau dalam sikap memberi hukuman. Jadi, ambillah tindakan yang tepat menurut keadaan dan tempatnya.
Memberikan maaf pada waktu yang tepat kepada orang yang membuat kesalahan dan mendoakan kebaikan kepadanya adalah merupakan suatu bagian jihad yang besar menurut ajaran islam dan dia adalah orang yang kuat. Karena orang yang memberi maaf kepada orang yang membuat kesalahan harus melalui proses melawan amarah dan hawa nafsu nya untuk membalas dendam, akan tetapi karena dia bisa mengendalikan diri dan emosi nya maka ia memberikan maaf kepada si pembuat kesalahan dengan tujuan kebaikan di masa yang akan datang.
Sebagaimana sabda Nabi Muhamamd saw:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ. مُتَفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Yang dinamakan orang kuat adalah bukan orang yang kuat bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya pada waktu marah.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Ref:
(Khotbah Jum’at Sayyidina Amirul Mu’minin, Hz. Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis ATBA, 26 Januari 2016 di Baitul Futuh, London.)
(Filsafat Ajaran Islam, Hz. Mirza Ghulam Ahmad as, Cet. 1996, Hal.49-50)
(Terjemah Lengkap Riyadhus Shalihin, Perjalanan Menuju Taman Surga, Imam Nawawi, Bab Memberi Maaf dan Berpaling dari Orang-orang Bodoh, hal.244, Hadits ke-5)