Fenomena global telah membawa dunia pada perubahan cara berkomunikasi dan menggali informasi. Era digital telah membuat mayoritas penduduk dunia sangat lekat dengan media sosial. Demikian pentingnya membuat konstruksi konten media sosial, karena hal ini bisa menjadi penentu sikap seseorang terhadap suatu agama dan keyakinan.
Tren Dakwah Media Sosial
Sikap keberagamaan masyarakat Indonesia telah memasuki era disrupsi. Saat ini kita lihat masyarakat Indonesia – khususnya generasi muda – menunjukan tren baru dalam mencari informasi tentang akidah atau organisasi keagamaan. Namun alih-alih menyambangi tempat ibadah, mereka mencari rujukan secara virtual.
Fenomena ini terjadi, tentu saja, dengan semakin berkembangnya teknologi. Bukan hanya bagi pencari informasi, kemudahan dan percepatan teknologi juga membuat para ulama berlomba-lomba membuat dan menyebarkan konten dakwah melalui media sosial. Kita lihat, hampir setiap ulama dari berbagai latar belakang mazhab memiliki akun media sosial yang mengunggah konten dakwah setiap harinya.
Di satu sisi, kita melihat kemudahan. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa di saat yang sama terdapat narasi intoleran yang mengancam keberagaman, khususnya dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kemudahan dalam mengakses informasi menjadikan setiap orang cenderung enggan untuk melakukan konfirmasi kepada sumber yang semestinya.
Arus informasi yang membanjiri internet tersebut disebabkan setidaknya oleh 3 faktor. Pertama, proses produksi pesan di mana tidak ditemukan adanya pemisahan antara produsen dan konsumen. Dalam penggunaan media digital, semua orang bisa berperan sebagai prosumen, yaitu produsen sekaligus konsumen dalam sebuah pesan.
Faktor kedua adalah kemudahan dalam membagikan konten. Tombol share yang terdapat dalam setiap posting yang ada di media sosial memudahkan pesan terdistribusi secara berantai dan sangat cepat hingga menjangkau ribuan sampai jutaan pengguna. Faktor ketiga adalah ketergantungan masyarakat pada gadget, sehingga nyaris menjadikan barang tersebut sebagai sumber informasi pertama bahkan utama.
Di dunia internet, kita mengenal istilah viral. Pada kondisi ini, semakin sering sebuah informasi diakses maka akan semakin tinggi pula popularitas informasi tersebut. Alhasil, akan semakin mudah pula terjangkau oleh audiens baik pembaca ataupun penonton. Lebih jauh lagi, semakin banyak audiens yang terjangkau oleh informasi, maka kemudian semakin luas akses dan respon terhadap informasi tersebut.
Berdasarkan tiga faktor dan tren penggunaan internet generasi muda di atas, akan sangat riskan apabila masyarakat tidak benar-benar menggunakan daya pikir kritisnya untuk memilah informasi-informasi yang ada di internet. Apalagi, jika akun penyebar konten juga tidak diregulasi dengan baik, maka warganet akan sulit untuk membedakan informasi yang benar dan salah.
Propaganda Agama di Media Sosial
Sebaiknya masyarakat perlu segera sadar bahwa tren dakwah di internet tidak selamanya menggiring kepada perilaku positif. Secara global, ditemukan kondisi banjirnya informasi di internet dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyebarluaskan konten dan propaganda. Golongan ini memanfaatkan fitur internet yang minim filter namun memiliki jangkauan yang luas.
Propaganda yang dilakukan memiliki tujuan untuk menyebarkan radikalisme, rekrutmen anggota, perencanaan hingga memperoleh dukungan keuangan. Ada ribuan situs website yang menyebarkan pengaruh ideologi Al-Qaeda di dunia. Di Indonesia, pemanfaatan media sosial sebagai alat propaganda oleh golongan radikal juga pernah terjadi untuk menyebarkan ideologi pengganti Pancasila.
Dalam media sosial, propaganda ekstrimisme yang dilakukan jelas mengarah pada perpecahan di tengah masyarakat. Labeling terhadap istilah kafir serta penyebutan aliran sesat kepada beberapa kelompok minoritas agama atau penganut agama lokal Indonesia menjadi contoh propaganda yang dilakukan untuk tujuan tersebut. Sebaran hoaks dan ujaran kebencian juga kerap mewarnai jagad dunia maya Indonesia.
Maraknya ujaran kebencian yang ada di media sosial ini menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap sikap intoleran di masyarakat. Media sosial terbukti berhasil mengkotak-kotakkan masyarakat dalam kubu-kubu tertentu. Misalnya istilah yang ramai digunakan diantaranya adalah ‘kaum sumbu pendek, monas-limin, kaum bumi datar,’ dan masih banyak lagi hujatan lainnya yang tidak seharusnya membanjir mengotori media sosial.
Meskipun fenomena ini kerap dikaitkan dengan tahun politik, namun sayangnya kondisi ini kerap berlanjut hingga tahun politik berakhir. Pemerintah pun akhirnya mengambil peran dengan mengesahkan UU ITE sebagai tameng bagi pengguna internet agar tidak terpapar arus propaganda yang memecah belah situasi kebhinekaan Indonesia. Sayangnya, persebaran informasi internet sangat cepat. Apalagi, konsumsi media sosial sangat tinggi, literasi pengguna yang rendah atau tidak kritis terhadap informasi, serta Post-truth pengguna media sosial semakin menyebabkan arus informasi sulit untuk dibendung.
Peran Media Sosial dalam Kampanye Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Tidak dapat dipungkiri, media sosial cukup memberi pengaruh kepada masyarakat berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Media sosial sangat penting untuk ditempatkan sebagai sarana dalam menyampaikan pembelajaran dan fakta, khususnya terhadap kelompok minoritas agama yang mewarnai keberagaman Indonesia. Beberapa peran yang bisa dioptimalkan dari media sosial adalah:
1. Memperluas Jangkauan Kampanye
Media sosial memungkinkan pesan dan informasi tentang kelompok agama dapat menyebar dengan cepat dan luas ke berbagai penjuru dunia. Melalui platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube, kampanye-kampanye ini dapat menjangkau target audiens yang beragam dari berbagai latar belakang dan kultur. Sehingga, pesan yang disampaikan memiliki potensi untuk mencapai lebih banyak orang dan menciptakan kesadaran tentang pentingnya kebebasan beragama.
2. Memperkuat Solidaritas dan Jaringan
Media sosial memungkinkan individu dan organisasi dengan tujuan serupa untuk terhubung satu sama lain dan membentuk jaringan. Kampanye kebebasan beragama dapat mengumpulkan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama untuk bekerja bersama, berbagi informasi, dan saling mendukung. Dengan demikian, media sosial berperan dalam memperkuat solidaritas dan memperluas dukungan untuk isu kebebasan beragama.
3. Meningkatkan Kesadaran Publik
Informasi tentang kebebasan beragama seringkali terbatas oleh media tradisional yang memiliki batasan waktu dan ruang. Namun, media sosial memberikan kesempatan bagi kampanye untuk menyampaikan pesan secara lebih rinci, mendalam, dan kreatif.
Video, infografis, artikel, dan konten visual lainnya dapat digunakan untuk menyoroti masalah-masalah kebebasan beragama yang perlu mendapatkan perhatian publik. Sehingga, media sosial berperan dalam meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kebebasan beragama, sekaligus memberikan informasi fakta tentang agama dan keyakinan yang tumbuh di Indonesia.
4. Mendorong Partisipasi dan Aksi
Melalui media sosial, kampanye kebebasan beragama dapat mengajak orang-orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam mendukung isu tersebut. Dengan mengajak orang untuk menandatangani petisi, berpartisipasi dalam kampanye online, atau mendukung acara dan kegiatan terkait, media sosial dapat menjadi sarana untuk menggerakkan aksi nyata dalam upaya mencapai kebebasan beragama.
5. Menghadapi Tantangan dan Ancaman
Meskipun media sosial memberikan banyak peluang bagi kampanye kebebasan beragama, ada juga tantangan dan ancaman yang perlu diatasi. Penyebaran informasi palsu atau hoaks tentang agama dan keyakinan tertentu dapat memicu konflik dan kebencian. Oleh karena itu, penting untuk memiliki pendekatan yang bijaksana dalam menggunakan media sosial untuk kampanye, serta mempromosikan dialog dan pemahaman antaragama.
Dengan kemampuannya untuk memperluas jangkauan kampanye, memperkuat solidaritas, meningkatkan kesadaran publik, mendorong partisipasi, dan menghadapi tantangan, media sosial menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan pesan penting tentang kebebasan beragama, mempromosikan toleransi dan dialog antaragama.