Legenda adalah cerita rakyat yang berhubungan dengan peristiwa sejarah. Jenis prosa naratif ini dianggap pernah terjadi oleh pencerita dan pendengarnya. Biasanya legenda merupakan kisah yang menceritakan tentang suatu tempat atau seseorang yang ada pada masa lampau yang mengandung pesan moral dan nilai kehidupan.
Istilah legenda berasal dari bahasa Inggris, “Legend”. Menurut Cambridge Dictionary, kata legend mengandung arti adalah cerita yang sangat tua atau kumpulan cerita dari zaman kuno, atau cerita yang tidak selalu benar, yang diceritakan orang tentang peristiwa atau orang terkenal. Legenda adalah narasi yang sering kali diturunkan dari masa lalu.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Legenda adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa, menyampaikan pelajaran, atau sekedar menghibur penonton.
Menurut Hasanuddin W.S., Legenda adalah cerita rakyat yang berisikan tentang tokoh, peristiwa atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dengan mitos. Sedangkan menurut Emeis, Legenda adalah bagian dari cerita rakyat yang dianggap pernah terjadi, yang mana ceritanya terbilang kuno dan setengahnya berdasarkan sejarah dan setengahnya lagi bersifat angan-angan.
Oleh sebab itu, Legenda sering kali dianggap sebagai sejarah kolektif (folklore). Tidak sedikit legenda yang berkembang dari mulut ke mulut atau tidak tertulis. Karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda itu harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari sifat folklore-nya.
Narasi Fungsi Prof. Vladimir Yakovlevich Propp
Prof. Vladimir Yakovlevich Propp (17 April 1895 – 22 Agustus 1970) adalah seorang ahli folklore dan cendekiawan Rusia yang menganalisis komponen plot dasar (narasi fungsi) dari cerita rakyat Rusia untuk menngetahui elemen naratif paling sederhana yang tidak dapat berubah.
Beberapa sumber lain menyebutkan nama aslinya adalah Hermann Waldemar Propp, dilahirkan di Saint Petersburg, Rusia, 29 April 1895. Meski ada perbedaan tanggal, tetapi yang lebih umum dipakai adalah tanggal yang pertama, 17 April 1895. Sedangkan tahun dan tempat meninggalnya semua sama, yaitu 22 Agustus 1970 di Leningrad, Uni Soviet (Rusia) dalam usia 75 tahun.
Beberapa karya Vladimir Propp dalam bidang sastra Rusia adalah: Morphology of the Tale (1928), Historical Roots of the Wonder Tale (1946), Russian Epic Song (1955-1958), dan Folklore and Reality (1976). Kesemua karya itu diterbitkan pada masa hidup Vladimir Propp, tetapi ada juga yang sesudah kewafatan, Problem of Comedy and Laughter (1983) dan Theory and History of Folklore (1997). Beberapa karya Vladimir itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, terutama bahasa Inggris.
Meskipun ada puluhan narasi fungsi (totalnya 31 buah), tetapi utamanya ada empat atau lima saja yang oleh Vladimir Propp dikatakan sebagai narasi fungsi yang tetap dalam cerita rakyat (legenda). Kelima narasi fungsi itu adalah: perpindahan (move), pertarungan (struggle), penandaan (marking) dan kemenangan (victory) dan kepulangan (return). Keempat narasi fungsi ini sifatnya selalu ada dalam kisah atau folklore yang terdapat di masyarakat.
Perpindahan (spatialtranslocation/guidance), pahlawan dipindahkan, dikirim atau entah bagaimana dibawa ke suatu lokasi. Pertarungan (struggle), pahlawan dan penjahat bertemu dan terlibat langsung dalam konflik atau pertarungan. Penandaan (branding), pahlawan ditandai dengan cara tertentu, mungkin bekas luka yang khas atau diberikan barang tertentu yang menjadi penanda. Kemenangan (victory), penjahat dikalahkan oleh lawan, misalnya terbunuh dalam pertempuran, menang dalam perlombaan, dipukul ketika lengah, dibuang dan sebagainya. Kepulangan (return), pahlawan melakukan perjalanan untuk kembali ke rumah.
Legenda Bung Karno Sebagai Perspektif Narasi Fungsi
Bung Karno, menurut suatu legenda di Papua Barat, pernah diasingkan di sekitar Danau Framu, Ayamaru atau pernah melintasi Gunung Nabi, di Babo. Legenda ini menjadi tuturan turun-temurun yang berasal dari Klawok Kaleb Bless dan Cosmas Werfete. Keturunan mereka, Soni Bless dan Keliopes Werfete, yang kemudian menjadikan tuturan ini terkenal. Kedua tuturan ini kemudian menjadi semacam legenda.
Keliopes Werfete, menyebutkan kisah Bung Karno menerima keris dari Cosmas Werfete di Gunung Nabi. Berkat keris itu, kata Keliopes, Bung Karno akhirnya selamat dari kejaran Jepang. Sedangkan Soni Bless, yang mengaku mendengar dari ayahnya, Klawok Kaleb Bless, Bung Karno pernah dililit ular Naga, namun selamat. Bahkan, Bung Karno dikatakan melanjutkan perjalanan ke Teminabuan (kini ibukota Kab. Sorong Selatan) dengan berjalan kaki selama 12 jam hingga tiba disana.
Bila dibuat perspektif, maka akan diperoleh gambaran perbandingan sebagai berikut:
Untuk menataulang sejarah, maka kita harus melepaskan legenda itu dari mitos. Beberapa mitos yang terdapat dalam legenda itu di antaranya adalah: dililit ular naga, batu terbelah, diberi keris, melakukan perjalanan selama 12 jam untuk menempuh jarak sekitar 500 km dari Ayamaru ke Teminabuan. Sedangkan yang kaitannya dengan kronologi atau penandaan waktu, dapat diketahui dari konteks peristiwanya.
Bila berdasarkan legenda yang ada di Papua Barat, maka keberadaan Bung Karno terjadi dalam dua masa kolonialis. Pertama, pada masa Belanda, yaitu dikatakan pada 1931. Kedua, pada masa Jepang, sekitar tahun 1942. Ini menarik, sebab dapat dibandingkan dengan keberadaan Bung Karno sendiri dalam sejarah di tahun-tahun tersebut. Apakah benar beliau sedang dalam pengasingan di Papua (Barat), ataukah masih aktif dalam kegiatan organisasi/partai di Jawa.
Bila memang benar bahwa Bung Karno pernah diasingkan di sekitar Danau Framu, Ayamaru, maka artinya selama sekitar 11 tahun beliau berada dalam pengasingan tersebut. Sebab, dalam legenda itu juga diceritakan bahwa Bung Karno kemudian pindah ke Teminabuan, lalu ke Babo, Bintuni (1942). Sedangkan dalam catatan sejarah perjuangan Kemerdekaan RI, tahun-tahun itu Bung Karno masih berkiprah dalam kancah politik di Jawa (Surabaya, Bandung dan Batavia) sebelum akhirnya dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca juga sejarah lain terkait Bung Karno
Mitos dalam Perspektif Administrasi Belanda
Mitos “dililit/melawan ular Naga” adalah hal yang menarik untuk ditelaah. Sebab, hampir di setiap tempat di Papua, kisah mengenai ular Naga ini selalu muncul. Ular Naga (korben) merupakan pralambang alias simbol kekuasaan besar dari penjajah kolonial. Ini misalnya, terkait dengan legenda Sekpum (Sekfamberi), seorang mambri putra Insundi yang membunuh ular Naga yang menyerang Kampung Korem di Biak Utara.
“Keris” juga pralambang kekuatan pribumi dalam melawan penjajah kolonial. Apalagi di Tanah Papua, senjata aslinya bukanlah keris melainkan panah, tombak dan parang. Keris hanya identik dengan daerah-daerah di luar Papua: Jawa, Sunda, Bali, Sulawesi, Sumatra. Umumnya, daerah yang sebelumnya pernah menjadi mandala dari Kerajaan Majapahit ataupun Singosari.
“Batu terbelah” juga merupakan pralambang, bahwasanya kekuatan besar akan hancur berantakan. Ini merupakan suatu vision (kasyaf), bahwa ke depannya, kekuasaan penjajah kolonial akan mengalami kehancuran sedangkan mereka yang diasingkan atau menjadi tahanan akan memperoleh pembebasan atau kemerdekaan. Ini sama dengan vision (kasyaf) ketika melihat orang-orang yang sudah meninggal bangkit hidup kembali. Artinya, akan ada orang yang dibebaskan dari penjara atau tempat pengasingan. Namun, apakah benar Bung Karno pernah diasingkan di sekitar Danau Framu, Ayamaru?
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah perspektif Administrasi Belanda. Pada masa Belanda, Tanah Papua dibagi menjadi beberapa Afdeeling dan Onder-Afdeeling. Bila dikatakan bahwa pengasingan Bung Karno terjadi pada tahun 1931 (Ayamaru) atau 1942 (Babo, Bintuni), maka ini dapat ditelusuri dengan mudah. Apakah Belanda telah menempatkan pos pemerintahan/perkebunannya di sekitar tempat itu?
Framu Ayamaru, Saksi Bisu Sejarah Bung Karno
Hingga tahun 1952, Ayamaru belum berdiri sendiri ataupun menjadi Onder-Afdeeling apalagi Afdeeling. Pada tahun 1931 hingga 1952 itu, posisi Ayamaru masih di bawah Afdeeling Sorong. Bahkan nama Ayamaru kalah oleh Inanwatan, yang sejak tahun 1936 telah menjadi Onder-Afdeeling dari Afdeeling West & South Nieuw Guinea, bersama Onder-Afdeeling lainnya: Fak Fak, Mimika, Boven Digoel dan South Nieuw Guinea.
Nama Ayamaru baru muncul sebagai pusat pemerintahan Onder-Afdeeling dari Afdeeling West Nieuw Guinea yang berpusat di Sorong pada 10 Mei 1952. Ada sembilan Onder-Afdeeling yang dibentuk bersamaan dengan Ayamaru, yaitu: Sorong, Makbon, Raja Ampat, Manokwari, Ransiki, Wandamen, Bintuni dan Fak Fak. Begitu juga saat terjadi perubahan wilayah administratif di bawah Gubernur J. van Baal pada 31 Oktober 1953, Ayamaru tetap masuk dan menjadi bagian dari Afdeeling West Nieuw Guinea.
Hanya pada 1954, terjadi perubahan ibukota Afdeeling West Nieuw Guinea, dari yang semula di Sorong dipindahkan ke Manokwari. Begitu juga Bintuni digabung ke Ayamaru, sebagai pusat pemerintahan Onder-Afdeeling. Tujuh tahun kemudian, Onder-Afdeeling Ayamaru dihilangkan serta ada penggantian Onder-Afdeeling dari Inanwatan menjadi Teminabuan. Sedangkan Onder-Afdeeling Ayamaru, digabung ke dalam Onder-Afdeeling Bintuni.
Baca juga Artikel Framu Ayamaru
Menilik dari perubahan status wilayah administrasi pada masa kolonial Belanda tersebut, maka kecil kemungkinannya Bung Karno diasingkan ke sekitar Danau Framu di Ayamaru. Sebab, pada tahun 1931 hingga 1952, kawasan Danau Framu atau Ayamaru belum menjadi pusat pemerintahan Onder-Afdeeling. Begitu juga Ayamaru belum menjadi pusat perkebunan Belanda atau Nederland Nieuw Guinea (NNG) atau Dutch Nieuw Guinea (DNG) sehingga kontroleur perkebunan Belanda belum membuka pos disana. Begitu juga missi pekabaran Injil, baru masuk ke Ayamaru sekitar tahun 1948 dan sesudahnya, setelah mereka melakukan pekabaran Injil di Tambrauw.
Karena pada tahun 1931 dan setelahnya sarana komunikasi hanyalah surat kabar, maka tentu saja orang-orang yang berada di pedalaman Ayamaru tidak akan mengetahui sosok Bung Karno. Sebab, surat kabar yang ada pada masa itu, terbatas pada daerah perkotaan (Sorong, Manokwari). Informasi yang diperoleh pun biasanya baru diketahui setelah satu bulan kemudian. Itupun bila dimuat di surat kabar yang beredar di Tanah Papua.
Apakah kemungkinan teman/sahabat Bung Karno yang diasingkan ke Ayamaru? Pertanyaan ini juga menarik untuk ditelaah. Sebab, dalam perjuangan kemerdekaan, biasanya sombar (wibawa/ kharisma) Bung Karno juga menjadi wibawa teman-teman seperjuangannya. Bila kita menelusuri jejak perjuangan di Boven Digoel atau di Banda (Maluku), maka dikatakan bahwa Bung Karno juga pernah diasingkan kesana. Padahal, Bung Karno sama sekali tidak pernah diasingkan disana, kecuali sahabat dekat beliau.
Terakhir, menarik untuk mempelajari rumah tinggalan yang dikatakan sebagai tempat tinggal Bung Karno selama diasingkan di Ayamaru. Hal ini bisa dilakukan dengan penelitian arkeologi terkait struktur bangunan, usia material dan bentuk fisik bangunan rumah tersebut.
Sebab, akses untuk membawa material tersebut pada masa itu masih tertutup. Jangankan ke Ayamaru, ke Tambrauw saja masih belum tembus, kecuali dengan jalur udara menggunakan bandara tinggalan Perang Dunia II. Tetapi, pesawat bifer yang dapat mendarat di air, baru dipakai saat pekabaran Injil masuk kesana sekitar tahun 1948 dan sesudahnya.
Penulis: Mln. Rakeeman R.A.M. Jumaan