By : Harpan Aziz Ahmad
Allah yang Rahman akan mengasihi orang yang mengasihi (yang lain). Kasihilah penduduk bumi maka Allah akan mengasihi kalian di langit.
Hadits
Seseorang yang mengikuti Islam secara benar akan menemukan bahwa dirinya dilingkupi oleh ajaran luhur yang bertujuan untuk mendirikan perdamaian antara manusia dengan Allah sebagai Pencipta segala makhluk dan kemudian antara sesama manusia, bahkan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya. Norma-norma tersebut melekat demikian kuat bahkan dari namanya sendiri yaitu keselamatan dan kedamaian.
Dengan makna tersebut, maka Islam senantiasa menekankan setiap muslim pada pencapaian akhlak yang tinggi dan berperilaku adab yang baik, dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia yang bisa mengubah mereka menjadi orang-orang yang mencintai umat manusia dengan tulus.
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan mereka yang menghubungkan apa yang Allah telah memerintahkan hal itu supaya dihubungkan dan takut kepada Tuhan mereka dan takut kepada perhitungan yang buruk.” (Qs. 13:22)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa setelah melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dengan setia, setiap mukmin memiliki tanggungjawab untuk menyempurnakan kewajibannya terhadap makhluk-Nya. Karena melaksanakan kedua kewajiban tersebut merupakan landasan, yang diatasnya berdiri seluruh jalinan gerak agama.
Hadhrat Mushlih Mau’ud, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra dalam menjelaskan ayat ini bersabda:
“Orang beriman senantiasa meraih kesempurnaan dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah Ta’ala, dan berdasarkan perintah dan petunjuk-Nya mereka memberikan perhatian kepada makhluk, menjalin kekeluargaan, persatuan, persaudaraan dan kebaikan dengan makhluk. Kemudian, mereka berusaha mencapai kesempurnaan dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah Ta’ala karena mereka takut kepada Rabb mereka dan takut pada perhitungan yang buruk. Mereka menjaga rasa takut (Khasy-yat) kepada Rabb mereka dalam hatinya.”[1]
Beliau menambahkan bahwa rasa takut yang dimaksud dalam hal ini atau sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas adalah khasy-yat yakni rasa takut kehilangan sesuatu yang bersifat luhur, bahwa setelah mengetahui kesempurnaan dan keindahan-Nya, dikatakan ‘jangan sampai ini terlepas dari tanganku.’ Jadi bukan karena kerugian atau kesusahan, tapi karena manusia yakin bahwa itu adalah sesuatu yang sangat luhur dan agung. Jangan sampai karena kelalaiannya dia kehilangan kedekatan dengan-Nya.
Jadi, demikianlah tanda seorang Mu’min sejati bahwa ia akan menjaga apa yang menjadi perintah dari Tuhannya. Ia tidak hanya akan menjalinkan hubungan baik sesamanya bahkan ia kaan menjaganya sekuat dan semampu yang ia bisa. Tapi kita melihat di dunia banyak sekali orang yang membaca Al-Quran, juga memperlihatkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, dia sekali-kali tidak senang jika mendapatkan kemarahan dari Allah Ta’ala, tapi sejalan dengan itu ia pun tidak memberikan hak-hak pada makhluk-Nya sebagaimana mestinya. Hubungan yang Allah Ta’ala perintahkan untuk dijalin, mereka tidak berusaha menjalinnya dengan sungguh-sungguh. Kontradiksi inilah yang umumnya nampak di dunia pada kebanyakan umat Muslim pada umumnya, suka mencaci, memfatwakan buruk, bahkan ada juga yang secara terbuka merampas hak-hak orang lain.
Tanda Mu’min adalah Kasih Sayang
Dari antara sifat-sifat orang muslim, yang mengenainya terdapat petunjuk Allah Ta’ala yang sangat jelas dan menjadi keistimewaan seorang Muslim adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala yakni ‘رحماءُ بينهم’ (ruhamaa-u bainahum) “sangat mengasihi, sopan, dan lembut diantara mereka.” (Qs.48:30)
Kita melihat bahwa dalam praktik kehidupan keseharian kita, sikap pengasih, sopan dan lembut ini terasa semakin sepi dari amal nyata umat ini. Dari berita-berita yang kita saksikan bagaimana kewajiban dan keistimewaan tersebut telah diabaikan atas nama klaim keislaman mereka yang semu. Perang saudara, musuh-memusuhi dan hujat menghujat seakan menjadi trend baru yang mengalahkan usaha untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala.
Ini adalah suatu kemalangan bagi umat ini, karena Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tanda Muslim hakiki adalah karena hubungannya dengan Allah Ta’ala, maka hubungannya dengan makhluk Allah Ta’ala pun menjadi kuat, dan khususnya hubungan seorang Muslim dengan Muslim lainnya. Untuk itu penting menggali kembali ajaran-ajaran cinta dan kasih sayang dari agama yang murni ini, agar kehangatan dari semangat kasih sayang di antara mereka yakni ruhamaa–u bainahum, umat ini juga mendapat bagian kasih sayang Allah Ta’ala.
Pada kesempatan Hujjatul Wida Rasulullah saw mewasiyatkan ajaran indah yang dapat menciptakan harmoni dan merupakan tujuan dari agama Islam itu sendiri:
“Hari ini darah kalian, harta, dan kehormatan kalian adalah suci dan harus dihormati. Seperti hari kalian ini, kota kalian ini, dan bulan kalian ini harus dihormati. Hai manusia, kalian akan segera bertemu dengan Rabb kalian, Dia akan bertanya pada kalian, bagaimana kalian beramal. Lihat! Janganlah kembali kafir setelahku atau kalian akan mulai memotong leher satu sama lain. Dan ingatlah, kalian yang berada di sini sampaikan pesan ini kepada orang-orang yang tidak hadir. Karena bisa jadi orang yang diberitahu lebih memahami daripada orang yang mendengarkan.”
Lalu beliau saw bersabda: “Bukankah aku telah menyampaikan pesan Allah dengan benar?” Beliau saw mengulangi perkataan ini tiga kali. Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Bakar bahwa kami menjawab, “Benar ya Rasulullah. Anda telah menyampaikan pesan Allah Ta’ala dengan benar.” Atas hal itu beliau saw bersabda; “Ya Allah saksikanlah”. [2]
Jadi, dari wasiyat Nabi saw tersebut jelas bahwa pesan Islam menghendaki agar manusia tidak hanya menjalin hubungan yang baik dengan Tuhannya saja, tapi juga penting untuk menciptakan harmoni dan kedamaian sesama manusia. Rasulullah saw pernah bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Allah yang Rahman akan mengasihi orang yang mengasihi (yang lain). Kasihilah penduduk bumi maka Allah akan mengasihi kalian di langit.”[3]
Dalam riwayat lain bahkan disebutkan bahwa karena sikap baik seorang hamba kepada sesamanya akan menjadi penghalang dirinya dari api neraka.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ، أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
Hadhrat Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Maukah aku beritahu kalian atas siapa api (neraka) diharamkan? Ia haram atas setiap orang yang qarib (dekat dengan orang-orang atau mudah didekati), hayyin (lemah-lembut), dan sahl (mudah).”[4]
Setiap muslim patut mendalami ajaran yang indah ini bahwa hubungan yang baik dengan sesama makhluk-Nya, –yakni tidak membenci orang-orang, berlaku lembut, memberikan kemudahan untuk mereka dan suka kemudahan— bisa menjadi jalan untuk meraih keridhaan Allah dan keselamatan. Dan bahkan perilaku baik itulah yang sejatinya menjadi standar bagi keislaman seseorang sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
المسلم مَنْ سلم المسلمون مِن لسانه ويده
“Muslim adalah orang yang Muslim lainnya terjaga dari lidah dan tangannya”.[5]
Karenanya, maka seorang muslim sejati tidak mungkin akan membiarkan dirinya terlempar jauh dari Islam karena kata-katanya yang kotor dan menyakiti, apalagi sampai melukai fisik, atau menimbulkan kerugian sesama muslim hanya untuk keuntungan-keuntungan dunia yang sementara, semisal pamor dalam politik atau yang lainnya.
Banyak sebetulnya ajaran yang sederhana bisa kita temui guna membuat topik ini menjadi lebih terang. Namun, dengan memahami hadits-hadits tadi pun seharusnya cukup untuk membuat kita faham bahwa ghairat kebaikan dan ghairat kasih sayang, tidak membenci dan berlaku lembut, semua itu menjadi ciri identik keislaman yang apabila keluar dari jalan itu dan mengutamakan jalan-jalan perpecahan, radikal, menghasut atau pembenci maka sejatinya ia telah melemparkan dirinya jauh keluar dari Islam itu sendiri.
Wallaahu a’lam bish-shawabi…
[1] Tafsir Kabir, jilid 3, hal. 409
[2] Shahih Bukhari kitab Maghazi bab Haji Wida no. 4406, Sunan Ibnu Majah kitab Manasik bab khutbah pada Hari Kurban no. 3055
لقد قال النبي يوم حجّة الوداع بصراحة تامّة إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا. وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ، فَلَا تَرْجِعُنَّ بَعْدِي كُفَّارًا أَوْ ضُلَّالًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ. أَلَا لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلِّغُهُ يَكُونُ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ. ثُمَّ قَالَ: أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟ وأعاد هذه الكلمات ثلاثًا. وفي رواية أبي بكر: قلنا: نعمْ يا رسول الله، لقد بلّغتَ. فقال: اللهم، فاشهد
[3] Sunan Abi Daud, Kitab al-Adab, bab fir rahmah
[4] Sunan At-Tirmidzi, Abwab shifat al-Qiyamah
[5] Bukhari kitab iman bab muslim