By: Mln. Basyiruddin Suhartono, Luwu Utara.
Karena iradah Allah Ta’ala yang mewujud dalam perintah-perintahNya itu ditampilkan melalui perantaraan para utusan, maka menolak utusan Allah sama saja mengingkari perintah-perintahNya dan melawan iradah-Nya.
Ada sebuah kisah tentang seekor burung dan beberapa anaknya di sebuah sarang di atas pohon di puncak gunung. Induknya pergi untuk suatu alasan dan tidak kembali. Suatu ketika anak burung itu kehausan dan membuka mulutnya.
Maka Allah Ta’ala memerintahkan kepada Malaikat, “Ayo, pergilah kamu untuk menurunkan hujan!” Turunlah hujan lebat sampai air hujan itu mencapai pohon yang ada di puncak gunung itu. Sang Malaikat menjawab, “Tuhan, jika saya menurunkan hujan sampai ke puncak gunung itu maka semua akan tenggelam karena air itu.” Allah Ta’ala berfirman, “Aku tidak peduli. Bagi-Ku seisi dunia tidak ada nilainya lagi dibanding anak burung itu.”[1]
Kisah tersebut konon menjadi latar belakang dari topan dan banjir besar yang dialami kaum di zaman nabi Nuh as. Karena kerusakan zaman yang terjadi saat itu dan penolakannya terhadap nabi Nuh as, membuat kaum Nuh itu demikian rendah kedudukannya di pandangan Allah bahkan tak lebih berharga dari seekor anak burung yang tengah kehausan.
Kisah tersebut merupakan satu dari banyaknya cerita akhir yang buruk dialami oleh mereka yang tak peduli pada hukum Tuhan dan mereka yang tak menghiraukan pesan yang dibawa oleh utusan-Nya. Keberadaan mereka menjadi demikian tak dipandang, bahkan amalan mereka pun tak dipedulikannya.
ذٰلِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهْدِيْ بِهٖ مَنْ يَّشَآءُ مِنْ عِبَا دِهٖ ۗ
وَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَا نُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberi petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka menyekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 88)[2].
Jadi demikianlah sejarah penentangan terhadap para utusan Tuhan bahwa mereka selalunya berakhir dengan menanggung suatu kerugian bahkan sampai pada taraf yang menghawatirkan, dimana dunia pun pada akhrinya tak mengenal karya-karyanya.
Mengapa pengingkaran terhadap seorang utusan Tuhan memiliki dampak kerugian yang amat besar? Karena iradah Allah Ta’ala yang mewujud dalam perintah-perintahNya itu ditampilkan melalui perantaraan para utusan, maka menolak utusan Allah sama saja mengingkari perintah-perintahNya dan melawan iradah-Nya.
Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang mendakwakan dirinya sebagai sosok yang datang dari Tuhan maka sikap yang baik adalah tabayyun. Meneliti, apa yang didakwakannya? Baik atau buruk pesan yang disampaikannya? karena yang demikian itu adalah cermin ketakwaan, bukan malah mencela, menghina, atau bahkan menganiaya. Selanjutnya yang sangat perlu seseorang lakukan adalah menjadikan dirinya semakin dekat dengan Tuhan melalui doa, supaya Dia berkenan menunjukan hidayah. Siapa sebenarnya orang yang mengaku sebagai utusan Tuhan itu? apakah ia benar dalam dakwahnya? Wallaahu! Yahdii man yasyaa-u ilaa shiraatin mustaqiim.
Pada masa ini sesuai dengan iradah-Nya juga, Allah swt telah menegakan suatu jama’ah guna merepresentasikan wajah Islam kepada dunia. Silsilah Jama’ah ini dimulai dengan pengutusan sosok Al-Masih yang dijanjikan yang menjelma dalam wujud Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, pendiri Jemaat Ahmadiyah dari Qadian. Sebagaimana nubuwatannya beliau tampil di waktu yang tepat, dengan segala tanda yang identik menunjukan kebenarannya. Wabah tha’un, gerhana bulan dan matahari, semuanya itu menjadi saksi bagi kedatangan sang Mahdi ini.
Seratus dua belas tahun semenjak kehadirannya, jema’ahnya kian tumbuh laksana pohon rindang dengan akar-akar kokoh yang menjalar ke seluruh penjuru dunia. 213 negara telah melihat penzahirannya, puluhan juta orang telah mengikutinya.
Hadhrat Maulwi Ali Syer Sahib adalah satu dari antara pengikut awal dari Jamaah ini. Satu waktu beliau mengisahkan bagaimana dirinya bisa beriman dan bergabung dengan Jamaah ini. Ia mengatakan; Suatu hari Maulwi Muhammad Ali Sahib mulai menyampaikan tabligh tentang kebenaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as kepadanya. Setelah menyimaknya, ia mulai istikharah dan terus membaca wirid ‘yaa Khabiir akhbirnii’ selama 40 hari.
Setelah 40 hari, di malam pertama ia diberi kabar bahwa ’penda’wa itu benar’. Ia pun berkata, “Ada banyak penda’wa, saya tidak tahu (kata-kata) ini untuk siapa?”. Maka pada malam kedua ia diberitahu lagi bahwa “orang yang menda’wakan diri itu benar”. Sampai pada malam ketiga kabar itu dia terima semakin jelas, hingga pada akhirnya dikatakan; ‘Orang yang menda’wakan diri dari Qadian, dia benar’. Dengan keterangan yang terakhir itu maka ia pun baiat masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah[3].
Kisah menarik lainnya didapati dari Maulwi Rahimullah Khan Sahib, seorang Muwahid yang sangat tinggi derajatnya dan dikenal sebagai orang ‘alim yang rajin dan tekun melakukan ibadah. Maulvi Rahimullah sangat sederhana dan tampak dari penampilan beliau yang sangat lemah lembut. Setiap waktu beliau sangat mencintai Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw, beliau orang beragama dan teguh keyakinannya kepada Tuhan.
Tentang kebenaran dakwah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, beliau menerima ilham, ru’ya dan kasyaf yang sangat jelas sekali dari Allah Swt. Beliau berkata: Saya istikharah tentang dakwah Hadhrat Sahib (Masih Mau’ud as.), maka di dalam jawabannya saya melihat sebuah gerobak (carriage) turun dari langit dan tiba-tiba turunlah iham di dalam kalbu saya bahwa Al-Masih yang dijanjikan sedang turun dari langit.
Ketika saya singkapkan kain penutup gerobak itu, saya lihat Hadhrat Masih Mau’ud as duduk di dalamnya. Setelah menyaksikan kasyaf dan menerima ilham itu, maka saya pun langsung bai’at kepada beliau[4].
Kisah-kisah tadi adalah contoh dari banyaknya kisah serupa yang mencermintan prilaku takwa. Alih-alih melakukan penentangan atau hujatan, mereka memilih jalan kesalehan dengan mengadukannya di hadapan Tuhan, Rabb Yang Maha Mengetahui segalanya. Mereka sadar bahwa Tuhan tidak akan menukar kebenaran dengan kebatilan. Seseorang yang mendakwakan dirinya berasal dari Tuhan padahal sebuah kedustaan, maka Tuhan sendiri yang akan menghukumnya. Akan tetapi jika pendakwaannya itu benar, maka mereka yang menentang dan menjadi batu sandung dalam dakwahnya, akan mempertanggungjawabkan pengingkaranya di hadapan Tuhan.
Semoga dalam ummat Muhammad saw ini, senantiasa lahir orang-orang bijak yang senantiasa mengutamakan jalan-jalan kesalehan dan ketakwaan dalam menimbang keimanan. Aamiin Allahumma Aamiin.
[1] Khutbah, 02 Februari 2016
[2] Al-Qur’an Indonesia http://quran-id.com
[3] Khutbah Jumat, 02 September 2012.
[4] idem