By: Mln. Rafiq Ahmad, Ciamis – Jawa Barat.
Akar setiap kebaikan adalah Taqwa, maka hanya dengan taqwa manusia akan unggul dan berhasil menghilangkan dosa dan segala jenis keburukan jasmani maupun rohani.
Hadhrat Masih Mau’ud as
Dalam lingkungan masyarakat yang heterogen, sejatinya tersimpan suatu kekayaan budaya yang dapat membawa masyarakatnya pada pengembangan pengetahuan, saling menghargai toleransi dan gotong royong. Akan tetapi heterogenitas dalam masyarakat juga pada satu sisi menyimpan potensi konflik yang cukup besar jika padanya tidak ada kepedulian untuk saling menjaga diri pada batas-batas hak dan tanggungjawab, baik pribadi atau masyarakat.
Karenanya, menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan bahwa dengan latar belakang bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran yang welas asih, gotong royong dan toleran, ditambah kecenderungan masyarakatnya yang kuat pada keyakinan dan agama –yang darinya dituntut menjadi pribadi-pribadi yang baik–, mengapa masih banyak terjadi perselisihan, pertengkaran dan tindak kejahatan?
Dalam sebuah jurnal yang bertajuk “Memahami Agama Secara Psikologis Dan Relasinya Dalam Upaya Resolusi Konflik”[1] dijelaskan bahwa agama perlu dipahami secara komprehensif. Keberadaan agama sangat universal, dan berhubungan erat dengan pemahaman, pengalaman, dan pengaktualisasian nilai-nilai agama oleh penganut orang yang beragama. Beragama berdasarkan kebutuhan psikologis memerlukan pendekatan khusus, tidak hanya membahas benar-salah tetapi lebih dari itu harus dilihat secara mendalam terhadap jiwa orang yang beragama. Puncaknya tidak hanya menjalankan ritual dan verbalis dalam beragama, tetapi sudah harus mengarah pada pemaknaan hidup yang muncul dari jiwa yang suci. Akhirnya, agama diharapkan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan jiwa penganut suatu agama. Agama yang toleran, saling menghargai, dan saling menyayangi.
Jadi, seseorang yang menganut suatu keyakinan atau agama sejatinya punya tanggungjawab –baik secara moral ataupun imannya— untuk menampilkan pada dirinya ajaran-ajaran indah yang diajarkan oleh agamanya. Selama ajaran-ajaran itu tidak teraplikasikan dalam laku kehidupan kesehariannya, maka sejatinya tidak ada manfaat yang ia raih dari keberagamaannya.
Selain itu beragama juga menuntut seseorang memenuhi kewajibannya kepada Tuhan yang diyakininya supaya tercipta keterikatan antara manusia dengan Tuhannya, yang darinya tercipta nilai-nilai kebaikan dalam sikap dan tingkah laku sebagai dampak dari menjalankan perintah Tuhan dalam bentuk ibadah.
Di dalam Islam misalnya, ajaran tersebut secara gamblang dijelaskan dalam Kitab Suci Al-Quran. Sebagaimana yang telah Allah Ta’ala firmankan:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. 29: 45).
Ajaran Al-Quran ini erat kaitannya dengan kualitas keagamaan seorang Muslim. Sebab orang yang patuh dalam ibadah dan meraih manfaat dari ibadahnya, adalah ia yang ibadah-ibadahnya menjadikan dirinya selamat, terhindar dari berbuat sesuatu yang buruk atau prilaku-prilaku yang keji.
Di lain tempat Rasulullah saw bersabda tentang kriteria seorang Muslim sejati:
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Bahwa “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang, orang muslim lainnya selamat dari bahaya lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40 )
Atau dalam narasi yang sedikit berbeda beliau saw bersabda:
و المؤمن من أمنة الناس على دمائهم و أموالهم
“Seorang mu’min (yang sempurna) yaitu orang yang manusia merasa aman darah mereka dan harta mereka dari gangguannya.” (HR. Tirmidzi dan An Nasa’i)
Dalam agama-agama yang lain juga pastinya, melalui ibadah mengajarkan pengikutnya untuk senantiasa menciptakan kedamaian dan kebaikan. Karena sejatinya, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan keburukan kepada pengikutnya. Untuk itu penting, setiap orang melihat ke dalam ajaran agamanya masing-masing dan menginstropeksi diri sejauh mana ia telah berjalan sesuai dengan tuntunan agamanya?
Hadhrat Masih Mau’ud, Mirza Ghulam Ahmad as menjelaskan bahwa akar setiap kebaikan adalah Taqwa, maka hanya dengan taqwa manusia akan unggul dan berhasil menghilangkan dosa dan segala jenis keburukan jasmani maupun rohani.[2]
Oleh karena itu, pada bulan Ramadhan yang penuh hikmah dan berkah ini, merupakan waktu yang tepat untuk setiap Muslim melakukan instropeksi diri dan senantiasa berupaya menerapkan dalam dirinya dan kehidupannya, nilai-nilai kebaikan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam.
“Wahai orang-orang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr :19)
[1] https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/syiar/article/view/1493
[2] Ramadhan Pembaharuan Diri dan Ketakwaan. Khutbah Jum’ah Hadhrat Khalifatul Masih Khamis Atba, 10/06/2016.