Idle Hands are the devil’s workshop. Ttangan yang menganggur sia-sia adalah tempat berkaryanya syaithan. Kurang lebih begitulah maknanya.
Sebuah peribahasa yang diambil dari Bibel, menandakan bahwa semua agama pun memahami bahaya laghaw. Sebuah kesia-siaan yang diperingatkan Tuhan melalui Q.S. Al-Mu’minun. Surah itu memperingatkan bahwa seorang manusia, terutama seorang yang menyatakan beriman, percaya kepada agama Islam, Allah swt dan Rasulullah s.a.w.
Sebagai nabi, dianggap beruntung ketika memalingkan wajahnya dari kesia-siaan. Qad aflahal mu’minun, beruntunglah ia yang beriman, lalu diikuti dengan beberapa kalimat Allah yang menunjukkan kriteria orang beriman yakni khusyuk dalam mendirikan shalat, yang selanjutnya dikatakan Walladziinahum ‘anillagwi muridun yaitu orang-orang yang terhindar dari hal-hal yang sia-sia.
Banyak hal yang sebenarnya bisa menjadi celah bersyukur atas waktu sekaligus tugas yang menyertainya. Salah satunya adalah amanah sebagai seorang ibu, sekaligus pengkhidmat agama. You don’t know what you’ve got till it’s gone. Biasanya kita baru menyadari anugerah yang dimiliki ketika kita sudah tidak memilikinya.
Melihat jauh ke belakang dan membandingkan keadaan di mana kesibukan tengah melanda, seharusnya kita sadari bahwa Tuhan telah memberikan hadiah terbaik berupa aktivitas positif. Namun sayang, tak sedikit orang yang melewatkan kesempatan begitu saja.
Satu kalimat yang harus selalu ditanyakan pada diri sendiri adalah, “Apa manfaat dari semua kegiatan ini?”. Ketika merasa lelah dalam pengkhidmatan, segera tanyakan “Apa manfaat dari pengkhidmatan ini? Adakah yang lebih penting sehingga harus berhenti?”. Maka tepatlah jika khalifah bersabda, “Mengkhidmati agama adalah sebuah karunia.” Karena sejatinya, bukan kita yang membantu agama, namun agama lah yang memelihara kita.
Hiburan di Kala Penat
Berlari kepada hiburan bukanlah hal yang salah. Sepanjang dilakukan dengan penuh kesadaran diri akan level kebutuhan hiburan seseorang, juga kesadaran diri akan nilai-nilai Islam yang dianut dan diyakini sebagai muslim.
Sebagai contoh, jika seseorang merasakan suatu kebutuhan akan hiburan maka ia perlu mengetahui dengan jelas hiburan seperti apa dan seberapa besar dosis hiburan yang ia butuhkan, bukan yang ia inginkan. Sehingga, selayaknya sudah tidak ada lagi seseorang yang meninggalkan hal-hal kebutuhan pokok demi sebuah hiburan, yang jika berlebihan justru akan menjadi sebuah kemudharatan dari kesia-siaan.
Misalnya, ada orang yang tidak tidur hanya untuk menonton drama favoritnya. Selayaknya juga konten-konten negatif atau konten yang mengarah kepada nilai-nilai di luar Islam bukanlah sebagai suatu sajian menyenangkan bagi seorang muslim sejati. Kecerdasan artifisial melalui algoritma dunia maya tidak akan bisa mengecohnya.
Seorang muslim sejati akan langsung merasakan ada yang salah dari sebuah konten yang bertentangan dengan nilai keislaman yang ia anut, meski thumbnail video viral terus saja menawarinya di beranda aplikasi favoritnya. Ini adalah tameng baja yang perlu dimiliki oleh setiap muslim, yakni nilai-nilai kuat keagamaan yang akan menyelamatkan dia dari dunia yang penuh kelaghawan.
Namun, tantangan akan berbeda di zaman ini. Kemajuan teknologi membuat kita perlu menanamkan nilai-nilai keagamaan yang dapat menjadi tameng tersendiri bagi anak-anak. Menanamkan nilai-nilai keagamaan lebih sulit daripada menghindari laghaw itu sendiri.
Jika bukan karena keyakinan kepada Tuhan yang Maha memiliki jiwa setiap anak-anak, jika bukan karena kesadaran akan begitu lemahnya diri yang tidak akan mampu melangkah tanpa kasih sayang Tuhan, maka mungkin seseorang akan terus melalui dunia ini dengan penuh tangis.
Semoga generasi Islam akan selalu memahami nilai keislaman yang betul-betul dicontohkan oleh nabi saw, dan meletakkannya secara istimewa di dalam hatinya. Dengan begitu, akan tercermin nilai Islam dalam setiap perilakunya.
Penulis: Mayang Asri R.T.