Nyaris hanya dalam kurun waktu kurang dari satu minggu, sorot mata dunia seperti tertuju ke Benua Asia. Mulai dari perhelatan pemimpin dunia G20 di Indonesia, hingga pembukaan Piala Dunia Qatar 2022.
Indonesia dan Qatar sama-sama diuji dengan datangnya tamu, yang mungkin saja saat ini mereka sedang berseteru. Namun siapa sangka, itu semua merupakan salah satu keindahan kalam Tuhan tentang persaudaraan.
***
Perhelatan G20 di Bali pertengahan November lalu, bukanlah sembarang acara. Para pemimpin negara berkumpul di satu tempat yang sama. Bahkan, negara-negara yang saat ini sedang saling berbalas rudal dan pasukan perang.
Lihat saja, ada Presiden Amerika dan PM Rusia yang menjadi sorotan karena keduanya adalah raksasa pasukan bersenjata. Ada juga PM Kanada yang beradu debat dengan Presiden China karena bocornya obrolan seolah keduanya sudah tak mau sepakat untuk berteman.
Keakraban Rishi Sunak dan Trudeau ketika menikmati ayam sambal matah dan lawar juga terabadikan dengan ramah. Semakin hangat dengan ke-random-an Emmanuel Macron yang menggendong seorang bayi di jalanan Bali.
Serupa dengan G20 di Indonesia, ada juga Qatar dengan perhelatan Piala Dunia. Opening ceremony dan pertandingan pembuka sudah dilakukan. Jika dicermati, Indonesia dan Qatar sedang menjalankan tugas yang sama, yaitu menjamu tamu.
Bukan hanya keakraban, tetapi ada juga “dendam” kekalahan yang pasti ingin tertuntaskan. Messi dan Ronaldo harus berjuang keras di world cup terakhir mereka. Perancis, Jerman dan Argentina tetap diandalkan jadi juara, meskipun tak boleh juga meremehkan Kamerun atau Kroasia.
Namun demikian, baik G20 maupun Piala Dunia, punya satu kata yang sama untuk menggambarkan keduanya. Persaudaraan.
Dari mana pun asal para pemimpin atau pesepak bola tersebut, semua berkumpul di tempat yang sama. Negara yang berperang sama-sama mengirimkan pemimpinnya untuk hadir, duduk dan diskusi dengan kepala dingin.
Demikian halnya dengan yang terjadi di Qatar. Seberapa geramnya Portugal dan Argentina yang sudah lama tak memboyong pulang “Jules Rimet, mereka tetap hadir sebagai pemain yang menjunjung tinggi sportivitas.
Dalam G20 dan World Cup, Tuan Rumah adalah Penengah
Ketika mendalami makna saudara-persaudaraan-bersaudara, maka menjadi tuan rumah bukanlah perkara mudah. Mencermati kondisi dunia sekarang, maka tugas tuan rumah adalah penengah. Bukan sekadar menyediakan tempat, namun juga harus memastikan para tamu tidak datang untuk berdebat.
Lebih dari itu, sebisa mungkin para tamu yang tadinya sedang berseteru, bisa menemukan jalan tengah untuk berdamai sepulang dari kunjungan. Tugas yang berat, apalagi setiap negara atau klub sepak bola punya “cita-cita” kedaulatannya masing-masing.
Mengingat, salah satu isi kesepakatan G20 adalah mengakhiri perang Rusia-Ukraina. Maka sah-sah saja kalau saya mengatakan Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai tuan rumah dengan baik. Terlepas dari cara yang akan ditempuh untuk menyudahi pertikaian tersebut nantinya.
Tak ubahnya Indonesia, Qatar pun berusaha dengan maksimal dalam menjalankan adabnya sebagai tuan rumah. Pesan persatuan menggaung di panggung pembukaan piala dunia, ketika Morgan Freeman menjadi narator di Stadion Al-Bayt.
Morgan Freeman, jika direnungkan, telah melempar pertanyaan yang sangat emosional dan sarat pesan persaudaraan. Kepada Ghanim Al Muftah, Youtuber asal Qatar, ia bertanya, “Bagaimana bisa banyak negara, bahasa, dan budaya datang bersama, jika hanya ada satu cara untuk diterima?”
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
Demikianlah, terjemahan dari Surat Al-Hujurat yang dilantunkan oleh Ghanim untuk menjawab pertanyaan aktor 85 tahun itu.
“Apa yang mempersatukan kita di sini pada saat ini jauh lebih besar dibanding yang memisahkan kita,” timpal Morgan yang disusul dengan pertanyaan lain dengan suara khasnya seperti saat membawakan serial TV The Story of God, “Bagaimana persatuan hari ini bisa dipertahankan lebih lama?”
“Dengan toleransi dan rasa hormat kita bisa hidup bersama di bawah rumah besar,” jawab Ghanim.