Minggu malam waktu Indonesia, Piala Jules Rimet resmi berada di tangan Argentina. Ya! Perhelatan sepak bola terbesar di dunia itu telah berakhir. Namun, alih-alih nobar, adakah pelajaran yang bisa kita ambil?
Kemenangan Tim Underdog
Tanggal 23 November menjadi hari bersejarah baru bagi Arab Saudi. Kesebelasan ini termasuk yang tidak mendapat tempat di hati penggemar world cup. Tapi faktanya, Arab berhasil menekuk Argentina, tim papan atas yang sejak awal digadang sebagai juara.
Sederhana, namun sangat menampar ketika kurcaci berhasil melesat mengalahkan raksasa. Di tengah “kerumunan” orang yang mengkerdilkan kemampuan kesebelasan Arab sebagai tim underdog, perjuangan mereka telah membelalakkan mata dunia.
Begitulah sejatinya sebuah usaha yang harus kita lakukan sepanjang masa. Jangan pernah patah semangat, apalagi hanya karena perkataan dari orang lain yang tidak pernah tahu hal apa yang sedang kita perjuangkan.
Dalam urusan kerohanian, Imam Hasan Al Bashri memberi nasihat, “Lakukanlah kebaikan sekecil apapun. Karena kau tak pernah tahu kebaikan apa yang akan membawamu ke surga”. Begitu juga dengan ikhtiar duniawi. Tidak pernah ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi satu-dua menit ke depan, serta usaha ke berapa yang akhirnya membuahkan hasil yang diharapkan.
Phose Bungkam Jerman Untuk LGBT
Sebuah negara maju dan sangat besar menampilkan sebuah gimmick yang seharusnya menjadi bahan pelajaran. Jerman, melayangkan protes kepada tuan rumah Qatar karena larangan mereka terhadap praktik LGBT dan kampanyenya selama pelaksanaan Piala Dunia.
Alhasil di setiap awal laga, tim panser berfoto dengan pose membungkam mulut dengan tangan. sebuah simbol proters terhadap “pembungkaman” kebebasan yang dilakukan tuan rumah.
Di luar masalah pro dan “kontra LGBTQ+”, hal yang dilakukan Jerman barangkali termasuk juga hak asasi-nya mereka. Namun, di saat yang sama, Qatar juga punya hak asasi sebagai tuan rumah. Negara kecil ini memiliki lebih dari 65% penduduk beragama Islam. Artinya, ada sebuah “kelaziman” yang berlaku di sana sesuai syariat Islam.
Sebesar apapun Jerman, sekuat apapun para aktivis HAM menggaungkan kebebasan berpendapat dan memilih jalan hidup, seharusnya semua sadar esensi dari hak asasi yang dimiliki oleh siapapun. Sepakat atau tidak sepakat dengan satu hal adalah hak yang bebas dipilih dan tidak boleh juga dipaksakan.
Pepatah mengatakan, “When in Rome, do as the Romans do”. Orang Indonesia mengenalnya dengan “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Atau, entah apa dalam bahasa Jerman.
Sadar Kebersihan ala Suporter Jepang
Di tengah kampanye lingkungan, krisis iklim, bencana banjir dan gundukan sampah, tak sedikit orang yang hanya selewat membaca namun tetap membuang sampah seenaknya saja. Tapi, Piala Dunia 2022 seharusnya memberi pelajaran nyata.
Sejak laga pertama, tersiar di media tentang sekelompok supporter Jepang yang datang ke stadion dengan maksud berbeda. Ketika semua orang membawa pop-corn, cola, chips, dan mengotori stadion sepak bola, supporter Jepang datang belakangan untuk membersihkannya.
Tidak peduli timnya kalah atau menang, mereka tetap peduli pada kebersihan lingkungan. Sebuah tanggung jawab moral terhadap lingkungan yang memang seharusnya dimiliki oleh manusia, makhluk Tuhan yang memiliki akal.
Merenunglah. Ketika sedang bahagia, kita terkadang lupa pada kewajiban kecil untuk lingkungan atau orang di kanan-kiri kita. Tujuan kebanyakan orang hanya bersenang-senang bersama sepak bola, tanpa pernah menyertainya dengan gerak nyata menjaga kebersihan stadionnya.
Begitulah manusia. Ketika sedang terpuruk, kebanyakan manusia berdoa meminta kekayaan agar bisa membantu sesama. Namun ketika kekayaan itu tiba, hal pertama yang kita lakukan tidak lain adalah foya-foya dan menyenangkan diri sendiri, lalu menomorduakan bahkan melupakan niat membantu sesama yang pernah diucapkan dalam doa.
Keluarga adalah Segalanya
Ada hal berbeda yang menyentuh hati di perhelatan world cup kali ini. Maroko, bukan hanya menggemparkan dunia dengan melangkah ke semi-final, tetapi juga memperlihatkan “A heartwarming moment”.
Bukan hanya satu, tapi hampir semua ibu dari para pemain Maroko menjadi “supporter utama” bagi pemain Maroko. Indahnya lagi, pada setiap kemenangan yang diraih, selalu ada pelukan dan kecupan hangat antara ibu dan anak.
Ini bukan soal menang-kalah, bukan juga mendewakan sosok ibu dan doanya yang tanpa hijab, namun pentingnya kehadiran keluarga sebagai support system. Keluarga adalah orang terdekat, orang pertama yang mengenal diri kita, dan seharusnya menjadi orang pertama yang mengetahui banyak hal tentang kelebihan dan kekurangan anak manusia.
Di tengah teknologi yang mempercepat arus informasi, peran keluarga tetap dihadirkan, dan juga diajarkan, oleh tim Maroko sebagai yang pertama. Ketika negara lain datang dengan kegagahan skill sepak bola, Maroko datang bersama senyum dan pelukan para ibunda.
Siapa yang mampu menahan air mata haru melihat seorang ibu yang memeluk anaknya, mengecup keningnya dan menari bersama di tengah lapangan. Siapa yang tak iri dengan kedekatan keluarga, bounding ibu dan anak yang sangat jelas melesatkan semangat juang para pemain kesebelasan Maroko.
Terima kasih, Maroko, karena telah memberi pelajaran telak. Bahwa di balik setiap kemampuan diri yang dimiliki, ada sosok yang senantiasa hadir sebagai pendukung. Family comes first, seharusnya menjadi pengingat bahwa keluarga lah yang membesarkan kita sampai sejauh ini. Thank you, world cup!
Penulis: Rahma Roshadi