Gary Chapman dalam bukunya “The 5 Love Languages” mengklaim bahwa setiap orang menerima cinta dalam bentuk bahasa tertentu. Terdapat 5 “bahasa khusus” cinta tersebut yaitu Kata-kata penegasan/pujian, Tindakan pelayanan, Waktu berkualitas, hadiah, dan sentuhan fisik. Di dalam Islam, semuanya termaktub dalam Ibadah yang diperintahkan oleh Allah Taala.
Di antara sekian perintah ibadah, salah satunya adalah puasa. Ibadah ini wajib dilakukan di bulan Ramadhan. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan sebagai nawafil (tambahan) di luar Ramadhan.
Bahasa Cinta dalam Puasa
Ramadhan adalah waktu yang sangat berkualitas bagi umat Islam. Tidak ada bulan lain yang menjanjikan keberkahan sebesar Ramadhan. Hebatnya, Allah memberikan “bahasa cinta” ini hanya untuk orang-orang yang beriman.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, katakanlah: ‘Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka menyambut seruan-Ku, dan beriman kepada-Ku, supaya mereka mendapat petunjuk.” (Surah Al-Baqarah, 2:187).
Ayat di atas pun menjadi bahasa penegasan. Sebuah kalam dari Allah Taala yang bagi umat muslim yang merindukan kasih sayang-Nya. Dia pun menjawab dengan tegas, “Aku dekat”.
Bayangkan, betapa romantisnya ketika orang yang kita sayangi selalu memastikan kehadirannya di saat kita membutuhkan. Demikianlah Allah subhanahuwataala memastikan kedekatan dengan hamba-Nya yang berdoa dan menjalankan perintah ibadah-Nya. Masya Allah.
Tidak berhenti di sana, di dalam Ramadhan kasih sayang Tuhan terpancar melalui keinginan untuk berbagi dan melayani sesama. Berbagai kegiatan sosial terlihat lebih marak dari biasanya. Puasa menjadikan manusia mengubah dirinya untuk mau “menyentuh” saudara-saudara lain yang kurang mampu. Tentunya, semua karena adanya pemahaman tentang besarnya keberkahan di bulan ini.
Lebih jauh lagi, ada “hadiah” yang akan diberikan langsung dari sisi Allah swt kepada hamba yang berpuasa dengan iman. Bukan manusia yang akan memberi, melainkan Allah sendiri yang akan mengganjar pahalanya. Betapa lengkapnya relasi bahasa cinta dalam syariat Islam ini.
Relasi Timbal Balik Tuhan dan Manusia
Bila kita mendengar kata “Ramadhan, maka dalam ingatan kita tergambar rangkaian beragam ibadah baik wajib maupun sunah, dari hal kecil sampai besar dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Ibadah atau pengkhidmatan dari hamba terhadap sang Pencipta inilah yang menggambarkan betapa kuatnya cinta saling terlimpah. Bagaikan dua kutub magnet yang tarik-menarik, kerja keras manusia berbalas curahan Ridho-Nya.
Dalam hubungan timbal balik haququlloh-haququl’ibad tersebut, terbentuklah siklus cinta yang saling menguatkan fitrah masing-masing. Dari ayat di atas juga jelas bahwa menjalankan perintah-perintah-Nya merupakan prasyarat utama sehingga keimanan menjadi meningkat. Setelahnya, Allah swt akan menurunkan petunjuk-Nya agar pengabulan doa kita terjawab dan kedekatan pada-Nya semakin besar.
Ayat Al Quran Surah Al Baqarah ayat 187 tersebut menyampaikan tentang metode memperoleh kecintaan Allah Ta’ala sebagai seorang mukmin hakiki. Di ayat inilah kecintaan Allah kepada hamba-Nya telah dinyatakan.
Di dalam sebuah Hadis Qudsi Allah Ta’ala menyatakan, “Barangsiapa yang setapak mendekati-Ku, Aku pun menyambutnya dengan dua tapak; dan barangsiapa yang melangkah satu depa kepada-Ku, Aku datang menyambutnya dengan dua depa; dan bagi mereka yang melangkah mendekati-Ku, Aku pun berlari menyambutnya.’ Begitulah kecintaan Allah Ta’ala kepada mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berbakti dengan ikhlas kepada-Nya.”
Tuhan berkenan untuk menyediakan berbagai kesempatan untuk manusia agar memperoleh derajat ketakwaan. Dalam hal ini, bulan Ramadhan adalah peluang yang terbesar dan paling diberkati di antara berbagai kesempatan lainnya.
Seseorang yang tidak mendekat kepada Allah meskipun barang sejengkal, tentulah tidak dapat dikategorikan kepada ‘ibaadi’. Hal ini menunjukkan, bahwa orang yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang sungguh-sungguh berusaha untuk menjadi ‘abd’ (atau hamba Allah yang hakiki).
Setelah manusia mengenali atau menyadari tujuan utama diciptakannya manusia, mereka pun siang malam berusaha dengan berbagai cara untuk dapat mencapai ridho-Nya.
”Jadi maksud puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu roti (makan) yang merawat tubuh dan meraih roti (makanan) yang lain yang merupakan faktor penghibur bagi ruh dan merupakan faktor yang dapat menimbulkan rasa kenyang pada ruh. Dan orang-orang yang berpuasa hanya semata-mata untuk Tuhan dan tidak berpuasa hanya untuk sekedar tradisi belaka. Maka hendaknya mereka sibuk dalam bertasbih dan mengucapkan tahlil, yakni memuji-Nya serta bertasbih juga pada-Nya dan mengagungkan kebesaran dan menganggap-Nya adalah segala-galannya. Yang sebagai dampaknya dia akan meraih makanan yang lain,yaitu makanan ruhani.” (Malfuzhat jilid V hal 102 Edisi baru)
Referensi:
1. Khutbah Jumat Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (aba) 15 Oktober 2004
2. Khutbah Jumat Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (aba) 25 Desember 2012
3. Review of religions, The Prophet Who Spoke the Five Languages of Love, Qasim Choudhary, Canada
Penulis: Maridah Rahmahesti