KA Jusmansyah
Kejujuran adalah ruh dari kerasulan. Tidak ada seorang Rasul yang telah dipilih oleh Allah taala sebelum ia memang telah terbukti sebagai seorang yang benar. Sebelum kebenaran dan kejujuran betul-betul terwujud dalam dirinya sungguh ia tidak laik untuk menjadi Rasul. Sifat-sifat ini bersifat mutlak, sebab jika tidak ada kejujuran dan amanah maka ia akan hancur dengan sendirinya.
Maka dari kedua sifat inilah Rasulullah saw sudah sangat masyhur di mayarakat. Beliau selalu dikatakan sebagai seorang “Shiddiq’ dan ‘Amiin’. Seluruh tanah arab menjadi saksi bahwa tidak pernah lahir seorang anak yang melebihi beliau dalam hal kejujuran dan kebenaran, dan tidak pernah lahir seorang anak yang melebihi beliau dalam hal kejujuran dan menjaga amanah. Itulah sebabnya dari sejak kecil sampai dewasa, jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul, Beliau telah dikenal di tanah Arab sebagai seorang yang benar dan jujur.
Kejujuran adalah elemen penting di dalam kehidupan, dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan bernegara. Apa jadinya politik yang dipenuhi dengan kedustaan, perdagangan yang penuh dengan dusta, keluarga yang penuh kebohongan dan masyarakat yang penuh dengan dusta? Akan hancur.
Mirza Tahir Ahmad menjelaskan bahwa bangunan keagamaan tidak dapat tegak tanpa terlebih dahulu mengadakan perbaikan akhlak. Pandangan yang beranggapan bahwa asalkan manusia itu telah beriman kepada Tuhan, sekalipun ia berakhlak buruk maka hal itu tidak apa, adalah pandangan yang sangat keliru. Oleh karena itu dalam membangun suatu jemaat keagaamaan yang sangat penting adalah memperbaiki akhlak. Salah satu perbaikan akhlak tersebut adalah menegakkan kejujuran. Di dunia saat ini penyebab utama terjadinya keburukan yang telah menyebar adalah disebabkan kedustaan. Bangsa-bangsa dan kaum yang mengklaim memiliki peradaban maju tetapi falsafah mereka berdasarkan dusta, landasan kehidupan mereka adalah kedustaan, ekonomi mereka dilandasi kedustaan.
Mengenai derajat kejujuran Allah taala berfirman:
Dan, barangsiapa taat kepada Allah swt. dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang kepada mereka Allah swt. memberikan nikmat, yakni : nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang saleh. Dan, mereka itulah sahabat yang sejati. (Annisa: 70)
Betapa tingginya derajat kejujuran. Semua berawal dari kejujuran, tidak ada orang yang bisa menjadi orang shaleh sebelum berkata benar. Jika kejujuran dapat diraih maka akan sangat mudah meraih tahapan-tahapan berikutnya. Sebaliknya jika kejujuran ternoda dengan kedustaan maka tahapan berikutnya maka akan hilanglah integritas seseorang.
“Siapa yang tidak memperhatikan kejujuran dalam hal-hal kecil ia tidak dapat dipercaya untuk hal-hal yang penting.” (Albert Einstein)
Kejujuran Rasulullah
Para nabi merupakan orang-orang yang menyajikan bukti pengakuan secara keseluruhan kaumnya terhadap kesempurnaan kejujuran dirinya, lalu kepada musuh-musuhnya pun mereka melakukan tantangan, sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran berkaitan dengan kejujuran Nabi Muhammad saw:
Katakanlah: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepada kalian dan Allah tidak pula memberitahukannya kepada kalian. Sesungguhnya aku telah tinggal bersama kalian beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kalian tidak memikirkannya?” (Yunus 17).
Yakni, “Saya bukanlah orang yang berdusta dan mengada-ada. Lihatlah, saya selama 40 tahun telah tinggal di antara kalian. Apakah kalian telah membuktikan kedustaan saya atau saya sebagai orang yang mengada-ada? Kemudian apakah sedikitpun kalian tidak dapat mengerti, yakni timbul pemahaman bahwa seorang yang sampai hari ini tidak pernah berdusta dalam corak apapun, maka hari ini kenapa dia tiba-tiba mulai berdusta atas nama Tuhan?” (Barahin Ahmadiyah; Ruhani Khazain jilid I hlm. 107-108 Edisi Baru.)
Hal inilah yang menjadi landasan berimannya Abu Bakar r.a. terhadap kenabian Rasulullah saw. Abu Bakar r.a. adalah sahabat yang tumbuh besar bersama Nabi Muhammad saw, tahu betul bagaimana akhlak sahabatnya tersebut yang selalu berkata benar. Sehingga sama sekali tidak terbersit di hati beliau bahwa Nabi Muhammad saw akan berbohong.
Sebagaimana tertera dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar r.a ketika mendengar pendakwaan Rasulullah sebagai nabi maka kendati berbagai penjelasan telah diberikan oleh Rasulullah saw., beliau r.a. tidak meminta argumentasi; sebab sepanjang hidup beliau r.a. inilah yang beliau saksikan bahwa beliau saw. senantiasa berkata jujur. Beliau hanya bertanya kepada Rasululah saw. bahwa apakah benar beliau telah mendakwakan diri sebagai nabi? Maka Rasulullah ingin terlebih dulu memberikan penjelasan, tetapi dalam setiap kali ingin memberikan keterangan, inilah yang beliau tanyakan bahwa “Berilah jawaban kepada saya ya atau tidak”. Ketika Rasulullah saw menjawab iya, beliau mengatakan:
“Di hadapan saya terbentang seluruh kehidupan Tuan di masa lalu. Oleh karena itu bagaimana saya bisa dapat mengatakan bahwa seorang hamba Allah yang senantiasa berkata benar tiba-tiba menjadi orang yang berdusta kepada Tuhan?” (Dalaailunnubuwwah lil Baihaqi jilid 2 hlm. 164 darul kutub alilmiyyah Bairut)
Jalan pikiran ini juga yang ada dalam diri seorang Heraclius, ketika ia menanyakan tentang Nabi Muhammad saw kepada Abu Sufyan, “Apakah sebelum pendakwaannya kalian telah menuduh dia berkata dusta?” Abu Sufyan menjawab bahwa mereka tidak pernah menuduhnya berdusta. Maka Heraklius berkata bahwa ketika Abu Sufyan memberikan jawaban bahwa Muhammad (saw) bukan seorang pendusta maka ia dapat memahami bahwa dalam keadaan seperti itu tidak pernah terjadi dimana seseorang yang tidak pernah berdusta kepada siapapun tetapi tetapi kepada Tuhan dia berdusta. (Bukhari kitab babul wahyi nomor 7.)
Tetapi faktor hidayah saja yang membuat Heraclius tidak mengikuti jalan Abu Bakar r.a. yang berimana kepada kenabian Nabi Muhammad saw.
Tetapi lain halnya dengan Abu Jahal, yang mengakui kejujuran Nabi Muhammad saw, tetapi ia tidak mau beriman. Ali r.a meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Nabi saw:
“Kami tidak mengatakan engkau dusta. Namun, kami menganggap dusta ajaran yang engkau bawa”.
Padahal jika Abu Jahal merenungkan dengan mendalam apakah seorang yang benar dapat mengajarkan ajaran yang dusta? Orang yang benar tentu yang pertama dilakukannya adalah berdiri melawan ajaran yang tidak benar.
Pengakuan Kejujuran Rasulullah saw
Beberapa riwayat diatas adalah diantara pengakuan terhadap kejujuran Rasulullah saw, berikuti akan kami sampaikan beberapa pengakuan lagi baik dari orang yang terdekat maupun musuh beliau sendiri.
Kejujuran di Masa Muda
Di masa muda, jauh sebelum pendakwaan beliau sebagai nabi, para pemuka Arab telah mengakui kejujuran Rasulullah saw dan menyebutnya sebagai al-amin. Hal itu dapat kita jumpai dalam peristiwa pemugaran Ka’bah, suku-suku berselisih tentang siapa yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad, sampai akhirnya diambil kesimpulan bahwa siapa yang datang paling pertama kesokan harinya maka apapun keputusannya, itulah yang akan diterima. Keesokan harinya ternyata yang datang pertama kali adalah Nabi Muhammad saw. Maka mereka yang melihat Rasulullah saw yang datang pertama, mereka langsung mengatakan: – haa dzal amiin (ini adalah orang yang jujur), kita senang karena orangnya adalah Muhammad (saw.)”. Tetapi dalam pelaksanaannya Nabi Muhammad saw tidak egois melainkan beliau menyuruh untuk membawa sehelai kain, yang mana setiap pemuka suku masing-masing memegang setiap sudut kain dan mengangkat Hajar Aswad secara bersama-sama. (Assiratunnabawiyyah li ibni Hisyam isyaaratu abi umayyata bitahkiimi awwali daakhilin fakaana Rasulullah saw.)
Kesaksian istri-istri Kemudian perhatikanlah akhlak Nabi muhammad Rasulullah saw di masa muda yang beliau jalani. Setelah Khadijah r.a mendengar perihal kebenaran tutur kata, kejujuran dan keluhuran budi pekerti beliau (saw) maka beliau (r.a.) mempercayakan kepada Nabi Muhammad saw untuk berniaga dengan menyerahkan hartanya kepada beliau saw. Dan karena keluhuran akhlak beliau itulah akhirnya beliau mengirim pinangan kepada Rasulullah saw.
Istri-istri adalah pemegang rahasia baik buruknya perilaku suami, merekalah yang dapat memberikan kesaksian akan kondisi rumah tangga dan urusan-urusan sehari-hari; kesaksian mereka itulah yang bisa dipegang dan memiliki nilai bobot yang dapat dijadikan standar. Dalam satu riwayat, ummul-mu’miniin, Aisyah ra dalam meriwayatkan tentang turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah saw. Menyebutkan bahwa Rasulullah saw. Menumpahkan kerisauan beliau kepada Ummul Mu’minin Khadijah r.a. saat turunnya wahyu pertama. Maka seraya menghibur kepada beliau Khadijah r.a. berkata kepada beliau: “Tidaklah seperti apa yang Tuan Pikirkan. Selamat sejahtera atas Tuan. Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakan Tuan. Tuan menyambung tali ikatan silaturrahmi dan senantiasa berkata benar dan berperilaku dan berbudi pekerti baik. (kitabutta’biir awwalu bab maa bada’a bihi Rasulullaah saw minal wahyi arru’ya shaalihah. )
Kesaksian Musuh
Ketika perintah wa andzir ‘asyiira takalaqrabiin–” Dan berilah kepada kerabat-kerabat engkau yang terdekat, apa yang Allah telah turunkan kepada engkau”. Maka Rasulullah saw. naik ke bukit Safa dan dengan suara lantang beliau memanggil nama-nama semua kabilah Quraisy. Ketika semua orang berkumpul maka beliau bersabda bahwa,
“Hai Quraisy! Jika saya memberitahukan kepada kalian bahwa di belakang gunung itu ada lasykar yang bersembunyi yang tidak lama lagi akan melakukan penyerangan terhadap kalian, apakah kalian akan meyakini kata-kata saya?”
Padahal ketinggian bukit tersebut tidak dapat memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat persembunyian, tetapi oleh sebab mereka mengetahui bahwa Nabi Muhammad (saw) tidak pernah berdusta, semua dengan suara bulat mengatakan ya, kami pasti akan mempercayainya, sebab kami senantiasa mendapatkan engkau sebagai orang yang selalu berkata benar. Maka beliau saw kemudian bersabda lagi,
“Kalau begitu dengarlah, saya memberitahukan kepada kalian bahwa lasykar azab Tuhan telah sampai kepada kalian, berimanlah kepada Tuhan dan hindarilah diri kalian dari azab Ilahi”. (Sirat Khatamunnabiyyin Pengarang Hadhrat Mirza Basyir Ahmad MA hlm. 128. )
Kali ini setelah mendengar kata-kata ini orang-orang Quraisy meninggalkan tempat itu dan mereka mulai mengolok-olok dan mentertawakan ajaran beliau. Tetapi satu hal yang pasti mereka sama sekali tidak mengatakan bahwa beliau pendusta. Jika ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka maka itu adalah bahwa beliau senantiasa berkata benar dan sungguh beliau senantiasa berkata benar. Standar dan mutu kebenaran beliau sedemikian tinggi, jelas dan terang sehinga tidak mungkin timbul masalah bahwa ada yang bisa menuduh beliau berdusta, kendati secara isyarah sekalipun.
Di dalam hadits Timidzi diriwayatkan bahwa orang-orang kafir suka mengatakan bahwa: “Kami tidak pernah mengatakan engkau (Rasulullah saw) berdusta. Kami hanya mengatakan bahwa ajaran yang engkau bawa itulah yang tidak disetujui.” An Nazar bin Alharits adalah salah seorang musuh Rasulullah saw. Dia pun mengatakan: “Kami sekali-kali tidak bisa mengatakan bahwa Muhammad itu pendusta.” Pada suatu ketika orang-orang kafir bermusyawarah: “Bila orang-orang datang dari luar untuk melakukan haji dan bertanya kepada kita tentang Muhammad yang mengaku jadi nabi, bagaimana orangnya, lalu apa jawaban kita?” Dari mereka ada yang mengatakan: “Kita katakan saja dia pendusta”. Mendengar itu An Nazar bin Alharits berdiri dan dengan nada tinggi mengatakan: “Aku bersumpah bahwa dia bukan pendusta dan kami tidak akan terima beliau dikatakan pendusta.”
Begitu tingginya dampak akhlak Rasulullah saw yang diterima oleh masyarakat sekitarnya. Sehingga adalah kewajiban kita untuk merenungkan sudahkan kita berpegang teguh kepada teladan sempurna tersebut, menerapkan kejujuran yang sekecil-kecilnya di dalam semua sisi kehidupan kita.
Jika kita sendiri telah dikatakan sebagi umat terbaik, maka suatu keharusan juga kita menjadi yang terbaik dalam penerapan kejujuran.
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.(H.R Muslim)