By: Rauhun Toyibah, Parung – Markaz.
Beberapa waktu lalu jagad nasional demikian ramai oleh sebuah perdebatan terkait kontroversi pengucapan kata *njay yang dianggap memiliki unsur pidana. Di sisi lain, banyak orang yang menilai baik buruknya ucapan itu tergantung penempatan kata tersebut di mana dan dalam kondisi seperti apa. Terlepas dari perdebatan tersebut, bagaimana sudut pandang Islam terkait menjaga lisan? Dan apa etika yang Islam ajarkan?
Lisan adalah salah satu organ vital yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita. Bagaimana kita memanfaatkan penggunaan lisan tersebut? jika kita gunakan untuk hal positif pastinya akan mendatangkan manfaat, namun bila digunakan kearah negatif akan menimbulkan pengaruh yang negatif pula.
Seperti pepatah mengatakan “lidah tak bertulang”, karena begitu lenturnya lidah maka bila tak dapat kita kendalikan dan dipikirkan terlebih dahulu apa yang akan kita ucapkan dapat menimbulkan pengaruh yang bisa saja berakibat rusaknya tatanan nilai kehidupan di sekitar kita. Dalam tatanan masyarakat yang kecil saja -seperti keluarga- dimana lisan tidak dijaga, dapat menimbulkan pertengkaran, keretakan hubungan dan hilangnya harmoni dalam satu keluarga. Maka bayangkan jika lisan yang tak terjaga menjadi budaya suatu bangsa? Karenanya penting untuk menjaga lisan!
Segala potensi yang telah Allah SWT anugerahkan termasuk lisan haruslah difungsikan dengan baik, karena kelak tentu akan kita pertanggung-jawabkan. Kita mengetahui bahwa segala apa yang kita perbuat dan ucapkan ada Malaikat pencatatnya, sebagaimana Al-qur’an telah firmankan:
مَا یَلۡفِظُ مِنۡ قَوۡلٍ اِلَّا لَدَیۡہِ رَقِیۡبٌ عَتِیۡدٌ
“Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, melainkan di sisinya ada malaikat pengawas yang siap mencatatnya.” (Qs. Qaf: 19)
Menurut beberapa ahli tafsir, malaikat yang duduk di sebelah kanan manusia mencatat amal baiknya dan yang ada di sebelah kirinya mencatat amal buruknya, perkataan “di sebelah kanan” merujuk kepada amal baik dan “di sebelah kiri” menunjukan amal buruknya. Tiap perbuatan dan perkataan yang diucapkan meninggalkan bekasnya di udara dan dengan demikian tetap tersimpan.
Rasulullah SAW telah memperingatkan bahwa begitu hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh lisan. Lisan yang berucap penuh hikmah bisa jadi membawa perubahan bagi seseorang, begitu pula lisan yang berucap buruk akan ada akibat yang ditimbulkan.
“Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kemaluannya) maka aku menjamin surga untuknya,” (HR. Al-Bukhari)
Dalam tempat lain beliau SAW pun bersabda:
“Orang Muslim adalah orang yang (membuat) kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya,” (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk itu, seyogyanya manusia hanya berkata-kata sesuai kebutuhan dan dengan cara yang baik. Karena untuk menggapai hakikat keimanan dituntut adanya penjagaan lisan. Keimanan kita tidak akan lurus sebelum hati kita lurus, dan hati yang lurus tentu tercermin dari perkataan yang lurus.
Begitu banyak kebaikan yang disebabkan oleh lisan tapi banyak pula kerusakan dan kesengsaraan yang bisa diakibatkannya. Kala lisan kita enggan untuk berbicara baik, saat itulah kita lebih baik diam. Karena banyak bicara bisa jadi akan menyebabkan kita banyak salah bicara, dan banyak salah akan menjadi sebab murkanya Tuhan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita menggunakan lisan sesuai dengan tuntunannya. Menggunakan lisan dengan mengucapkan hal-hal yang penuh hikmah dan bermanfaat juga sebagai salah satu cara kita mensyukuri karunia yang telah Tuhan berikan.