Oleh: Ai Yuliansyah, Garut.
Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk diantara tanda-tanda Allah, maka barangsiapa menunaikan Ibadah haji ke Rumah itu atau Umrah maka tidak ada dosa baginya bertawaf di antara keduanya. Dan barangsiapa berbuat kebaikan dengan rela hati maka sungguh Allah Maha Menghargai kebaikan, Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2:159)
Bagi kaum Muslim, nama Shafa dan Marwah tentu sudah lekat dalam ingatan. Al-Shafa dan Al-Marwah adalah nama dua bukit dekat Ka’bah di Mekkah. Bukit-bukit itu merupakan saksi bisu perjuangan, pengorbanan, ketulusan, kesabaran, dan ketabahan yang begitu hebat dari seorang Ibu, insan mulia terpilih, yang dari rahimnya lahir seorang Nabi. Dialah Siti Hajar, Istri nabi Ibrahim as dan Ibunda nabi Ismail as. Begitu istimewanya kedudukan Siti Hajar, sebagai Istri seorang Nabi sekaligus ibu dari seorang Nabi. Dan dari kedua Nabi inilah, tonggak sejarah Kota Mekkah yang kelak menjadi pilar lahirnya Islam di mulai.
Terkisah dalam sejarah, nabi Ibrahim as begitu rupa ridho akan segala perintah Ilahi. Menepis beratnya rasa cinta dan kasih sayang sebagai ayah dan suami, tega tanpa menolehkan lagi wajah mulianya ke arah istrinya yang memanggil-manggil, “Wahai suamiku, apakah ini perintah Allah?” tanya Siti Hajar. “Benar”, Jawab nabi Ibrahim as. “Jika begitu, aku yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan kami”. Siti Hajar menjawab dengan segala keyakinan.
Sungguh indah ketaatan dan kepasrahan yang tiada tara bandingnya dalam menyambut ketetapan Allah Ta’ala. Meskipun dirinya ditinggalkan bersama Ismail kecil di padang pasir yang sangat panas, tandus, kering, gersang, nyaris tanpa pepohonan, bahkan tidak ada manusia lainnya di tempat itu. Jerit tangis Ismail kecil dalam dahaga tak terkira, menggerakkan kekuatan luar biasa. Fisik seorang perempuan yang sejatinya lemah, berubah menjadi perkasa, berlari di antara bukit Shafa dan Marwah. Menantang panas yang menyergap hingga ubun-ubun, mencari sumber air, atau berharap ada kafilah dagang yang melintas. Nihil, kembali ia berlari dalam gundahnya, hatinya menjerit memohon pertolongan.
Hingga pertolongan Allah Ta’ala pun tiba. Jerit doa Siti Hajar, pekik tangis Ismail kecil telah mengguncang Arasy-Nya. Sebuah sumber mata air, dengan Kuasa-Nya, muncul di padang tandus ini. Ismail kecil tak lagi menangis. Dahaganya terbayar tuntas. Dan kini, sumber mata air itu pun sudah menjadi pelepas dahaga bagi jutaan umat Islam yang melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah. Prosesi Thawaf mengelilingi Ka’bah, begitu melelahkan. Namun, Jamaah Haji dan Umrah dapat dengan mudah menemukan air zamzam, tak jauh dari Maqam Ibrahim, berjajar rapi penampungan air zamzam. Air yang tiada habisnya dari sumber mata air yang menghentikan tangis Ismail kecil.
Bagaimana dengan Sa’i? Jika dahulu Siti Hajar begitu rupa tangguhnya berlari di antara bukit Shafa dan Marwah, kini Jamaah Haji dan Umrah dengan nyaman bisa melaksanakan Sa’i. Tanpa panas terik, di sepanjang jalur Sa’i juga tersedia bak-bak penampungan air zamzam. Para Jamaah benar-benar dimanjakan untuk dapat menikmati sepuasnya air zamzam ini. Berbanding terbalik dengan perjuangan Siti Hajar kala itu.
Namun, lain zaman lain peradaban, beda pula perjuangan yang diemban. Ibu masa kini, tak kalah harus berjuang dengan kerasnya perubahan. Jika Siti Hajar berusaha sekuat tenaga di lembah Mekkah. Kini, para ibu harus siap berlomba di lembah Maya. Sebuah arena tak kasat mata, tapi nyata adanya. Para orangtua khususnya kaum Ibu, tiba-tiba kelimpungan dengan berbagai permintaan anaknya. “Bunda, instal Zoom, Meetclass, Youtube Channel, Live Streaming, Google Classroom, buat Email, masuk Grup Whatsapp, masuk Channel Telegram, buka MS Teams, buka Website, tugasnya di Upload, buka link, absensinya di Form, filenya disimpan di drive, klik Chat Boat, kuis Online, Ujian Online”. Berderet permintaan anak. Dengan istilah-istilah yang membuat “Emak-emak berdaster” kelabakan.
Bagi kaum ibu berpendidikan tinggi, terbiasa dalam pekerjaan kantor dan memiliki fasilitas lengkap, ini tentu perkara relatif mudah untuk segera beradaptasi. Tapi bagi mereka yang keseharian beraktivitas di rumah, nyaris jauh dari hiruk pikuk modernisasi teknologi, semua perubahan ini, dirasa sangat berat layaknya perjuangan Siti Hajar, walau beda bentuk dan suasana. Ibu masa kini, harus sigap berlari dari satu moda ke moda lainnya, dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya.
Terkadang kaum ibu juga dihadapkan dengan dilema yang berujung simalakama. Demi memfasilitasi anak-anaknya belajar, fasilitas gadget pun dipersiapkan. Namun di sisi lain, dihadapkan juga pada beragam konten tak layak bagi usia anaknya. Perjuangan lagi, tanpa penat mendampingi dan memberikan tarbiyat-tarbiyat demi penjagaan diri. Kaum Ibu, berjibaku dengan teknologi dan segala aplikasi yang kadang benar-benar menguji emosi.
Namun, perubahan adalah keniscayaan. Tak mampu beradaptasi dengan perubahan sama dengan menyerah kalah pada kehidupan, bersedia tersingkir tanpa perlawanan, dan hanya berdiam diri di sudut-sudut sunyi peradaban. Tentu saja tidak menginginkan hal ini bukan? Kaum ibu sudah mendapat contoh nyata tangguhnya perempuan menaklukan padang pasir, melawan ganasnya alam, menyingkirkan segala halang rintang. Kini, masanya para ibu yang berjuang dalam kerasnya dunia “Negeri di Awan”. Meneguhkan kembali posisi ibu sebagai madrasah dan sekolah utama bagi anak-anaknya. Di tengah segala keterbatasan, seyogyanya ibu terus mengasah kemampuannya, mengimbangi roda zaman yang tak mungkin berhenti melaju atau mau menunggu siapapun yang bergerak lamban.
Para ibu, mari bahu-membahu. Mengasah ilmu, memperkaya khazanah jiwa dengan iman dan takwa. Agar dari para ibu, lahir anak-anak hebat dalam keilmuan sekaligus mampu membangun benteng-benteng pertahanan yang kuat dalam menghadang segala ancaman zaman. Di pundak ibu, amanah ini diembankan. Maka menjadi setangguh Siti Hajar adalah pilihan yang tak bisa ditawar-tawar.
Masyaallah Bu Ai Muantaaaapppp tulisannya! Mubarak
Pelajaran yg sangat berharga.
Jazakumullah