Oleh : Rahma A Roshadi, Wanasigra – Tasikmalaya.
If we want to grow, the way to break a pattern of negativity is to face anything negative with love. (Molly Fredenfeld)
Tak satupun manusia di dunia ini yang tidak akan terjun menjadi bagian sebuah masyarakat. Sudah gurat kadar, bahwa dengan tempaan ujian lah manusia akan besar. Bahkan dalam menghadapinya pun, beragam cara dan ekspresi yang bisa muncul. Mulai dari mereka yang tenang, panik, diplomatis, sampai dengan kelompok yang mengedepankan emosi karena terusiknya ambisi. Di balik itu semua, apa gerangan yang melatari cara setiap orang untuk bertahan dalam pijakannya, ketika terjun melebur ke tengah masyarakat?
Sedikitnya, lingkungan memberi pengaruh besar pada pembentukan karakter manusia. Ada yang mempengaruhi tampilan fisiknya, ada pula yang merasuki pola pikirnya. Di dalam keluarga, orang tua dan para kerabat adalah anggota terdekat yang bisa, bukan sekadar memberi contoh, namun menjadi contoh. Di sekolah, guru pun harus menjadi sosok pendidik, dan bukan hanya seorang pengajar mata pelajaran. Demikian halnya di masyarakat, ketika kehidupan bertetangga pasti akan terasa lebih menentramkan dengan komunikasi yang terbuka dan jauh dari prasangka. Percaya atau tidak, sosok positif di sekitar kita, ternyata turut berpengaruh dalam meningkatkan daya juang dalam mengembangkan potensi diri.
Sebuah ilmu tumbuh kembang anak, memberi contoh betapa pentingnya lingkungan kondusif dalam menjaga kestabilan emosi anak. Ternyata, tidak terbatas pada anak saja. Lingkungan kondusif juga dibutuhkan oleh orang dewasa, dalam mengembangkan kemauan untuk berpikir dan berkembang, sekaligus mengembangkan Lembaga-lembaga tempatnya bernaung. Lingkungan yang penuh ancaman, kekerasan, dan tertutup dari informasi, akan membentuk para anggota lingkungan tersebut menjadi pribadi yang tertutup pula, dan cenderung stagnan, mengikis pikiran positif, tanpa ada keinginan untuk mengembangkan diri.
Lingkungan yang terlalu banyak memberi kemudahan, juga tidak selamanya menumbuhkan kebaikan. Daya juang tidak akan muncul kepada mereka yang terlalu nyaman dengan pemberian tanpa pengorbanan. Ketika semua yang diinginkan seketika bisa terlaksana, maka pembentukan pola pikirnya akan mengarah pada kemudahan dan kemudahan saja. Berkata ‘tidak ada yang tidak bisa’, namun dalam konteks ‘menunggu disuapi’ tidak perlu berlelah-lelah mencari sesuatu.
Di tempat lain, sebuah lingkungan penuh kasih sayang, keramahan yang jujur, terbuka pada pertukaran pendapat, dan kebesaran hati dalam menerima kritik yang membangun, akan menjadi sebuah tempat yang indah untuk berkembang. Dengan keterbukaan menerima pendapat, seseorang akan merasa mendapat motivasi lebih untuk berani berpendapat dengan benar. Dalam hal mana, untuk bisa berpendapat dengan benar, seseorang haruslah menyiapkan dirinya dengan bekal ilmu. Mencari bekal ilmu, maka orang akan menyengaja menggali informasi dan menambah literasi. Kesemuanya ini, akan terwujud jika di lingkungan kita tersebar ilmu dan kasih sayang yang mendegradasi prasangka dan ambisi, karena kasih sayang selalu memberi kebahagiaan yang menjalar kepada orang lain. Kasih sayang adalah sebuah kenikmatan yang patut dijaga untuk peduli pada orang, menghargai orang, bahagia pada keberhasilan orang, dan kedamaian untuk terus bersama meskipun tanpa harus berbalas materi semata.
Kasih sayang manusia memang tak pernah berimbang dengan kasih sayang Allah Ta’ala. Namun, kita bisa membuat kasih sayang yang lebih kuat, ketika daya juang kita untuk mau mengasihi sesama juga muncul beriringan. Love for All Hatred for None, lagi-lagi membuktikan sebuah manifestasi kekuatan kasih sayang bagi sesama, yang kekuatannya bisa turut membantu orang lain untuk bangkit, memperbaiki, dan mengembangkan diri. Bukan sekadar berdiri dengan aktualisasi diri yang semu, tanpa sebuah kemajuan yang pasti.