Dan barangsiapa bertawakkal pada Allah maka Allah, niscaya Dia memadai baginya.
Qs. Ath-Thalaq, 65:4
Bertawakkal pada Allah merupakan hal yang penting, tidak hanya dalam hal keruhanian, dalam urusan-urusan umum setiap hari pun penting menanamkan sikap tawakkal. Dan tawakkal pada Allah baru dapat timbul apabila lahir keyakinan sempurna pada Zat Tuhan dan pada kekuasaan-kekuasaanNya.
Contoh-contoh ketawakalan yang tertinggi terdapat pada diri Rasulullah saw dan beliau marupakan manusia sempurna. Sejalan dengan itu beliau juga memberikan pendidikan pada umat bahwa jika kita mengikuti beliau, mencintai Tuhan, menciptakan keyakinan dan iman pada Zat-Nya maka Dia-pun tidak akan menyia-nyiakan kita. Dan sebagai dampak dari ketawakalan itu maka Dia-pun akan menaungi kita di bawah naungan rahmat-Nya.
Katakanlah, “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, kemudian Allah akan mencintaimu dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs. 3:32)
Terkait dengan ketawakalan Rasulullah saw, dari sejak kecil hal ini senantiasa kita dengar, tetapi kapan saja kita ulangi untuk membacanya maka akan timbul rasa segar dalam iman kita dan iman-pun manjadi bertambah.
Tatkala keaniayaan terhadap Rasulullah saw dan umat Islam sudah sampai melewati batas dan tiba saat untuk berhijrah dari Mekah, maka dengan sangat tenang beliau saw berhijrah dari sana. Mendengar kabar hijrahnya Rasulullah saw itu, para musuh segera mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang dapat menangkap beliau saw akan mendapatkan hadiah yang sangat besar.
Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Bakar ra bahwa di tengah-tengah pengejaran itu beliau ra dan Rasulullah saw bersembunyi di goa. Ketika beliau ra mencoba mengangkat kepala untuk melihat ke mulut goa, maka beliau dapati kaki orang-orang yang mengejar itu. Pada saat itu beliau ra berkata pada Rasulullah saw; “Ya Rasulullah saw, jika ada yang melihat ke bawah maka dia akan melihat kita.” Rasulullah saw bersabda: “Tenanglah wahai Abu Bakar, kita adalah berdua dan yang ketiga adalah Tuhan kita.”
Jadi inilah standar ketawakalan pada Allah yang hanya terlihat oleh kita dalam kehidupan Rasulullah saw. Dan kemudian kita juga dapat melihatnya ketika beliau saw keluar dari goa lalu memulai perjalanannya, betapa beliau saw merasa cukup bersama Tuhan dan betapa tingginya ketawakalan itu.
Hadhrat Abu Bakar ra meriwayatkan bahwa saat perjalanan hijrah, Suraqah yang berniat untuk mengejarnya, mendekat dengan menunggang kuda. Maka beliau ra berkata “Ya Rasulullah saw, kini orang yang mengejar benar-benar telah sampai di dekat kita” – Hadhrat Abu Bakar ra khawatir bukan terhadap diri beliau melainkan terhadap diri Rasulullah saw – maka Rasulullah saw bersabda dengan sebuah kalimat yang demikian indah, yang sampai saat ini menjadi kata yang sangat popular dan menenangkan hati la tahzan innallah maana, “Janganlah bersedih bahwasanya Allah beserta kita”. Maka tepat pada waktu itu akibat doa beliau, kuda Suraqah berulang-ulang terperosok ke tanah. Hingga pada akhirnya orang yang hendak menangkap Rasulullah saw itulah yang kemudian meminta jaminan keamanan di hadapan Rasulullah saw.
Memang benar bahwa perlakuan Allah kepada Rasulullah saw dan janji-janji itu tidak dapat berlaku untuk orang-orang Islam dan untuk manusia pada umumnya. Tetapi sebagaimana jelas dari pesan dan ajaran yang beliau saw bawa bahwa beliau saw menghendaki agar umat beliau memiliki keyakinan yang sama untuk menanamkan sikap tawakal kepada Allah.
Terkait dengan tawakkal ini juga, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Masih Mau’ud Mirza Ghulam Ahmad as bersabda:
“Ketahuilah, syirik bukanlah sekedar melakukan penyembahan terhadap patung-patung dan berhala-berhala yang terukir terbuat dari batu-batu, ini jelas merupakan hal umum dan merupakan pekerjaan orang-orang dungu yang mana orang-orang bijak malu untuk melakukannya. Syirik merupakan sesuatu yang sangat halus. Syirik yang kebanyakan menghancurkan ialah syirik dalam hal sarana-prasarana, yakni sedemikian rupa bersandar pada sarana-prasarana dunia atau lahiriah sehingga seolah-olah itulah maksud dan tujuannya. Orang yang mendahulukan dunia diatas agama, inilah pula sebabnya dia bersandar pada barang-barang duniawi dan berharap pada itu yang tidak dilakukannya pada agama dan iman. Dia menyukai faedah yang spontan dan mahrum dari akherat. Apabila dia menyangka bahwa tumpuan segenap kemajuan-kemajuannya terletak pada sarana-sarana kebendaan maka pada saat itu wujud Tuhan akan dia fahami sebagai sesuatu yang sia-sia dan tak berfaedah, dan kamu jangalah lakukan seperti itu. Bertakwalah pada Allah dan tawakal ialah bahwa sarana-sarana yang Allah telah tetapkan untuk meraih sesuatu itu tempuhlah sedapat mungkin dan kemudian selebihnya berdoalah bahwa, “Hai Tuhan, sampaikanlah pada hasil akhir yang baik”. Ratusan malapeta dan ribuan musibah-musibah dapat menghancurkan sarana dan pra-sarana itu. Orang yang bertanggung jawab mengerti betul akan permisalan itu. Yakni, terkadang tanaman tumbuh subur, berkembang, hampir tiba musim panen, namun tiba-tiba topan datang menghantam, angin panas tiba dan tanaman sama sekali hancur terpotong–potong atau panen hancur lebur bagaikan telah diketam.”
Jadi, tawakkal atau bersandar pada Tuhan bukanlah maksudnya manusia meninggalkan upaya-upaya lahiriah. Melainkan ialah setelah manusia menyempurnakan upaya-upaya lahiriah lalu hasilnya dia serahkan pada Tuhan, maka itulah namanya tawakal. Dalam riwayat juga kita dapati kisah dimana ada seorang datang dengan menuggang unta. Terlihat olehnya Rasulullah saw, maka dia turun untuk memberikan penghormatan dan untuk menunjukan sikap tawakal, tampa melakukan upaya-upaya yakni dia tidak mengikat tali kekang untanya. Pada saat kembali kepada untanya setelah berjumpa Rasulullah saw, maka dia dapati untanya sudah tidak ada atau lari. Kemudian dia datang kembali dan mengadu pada Rasulullah saw, bahwa saya telah bertawakkal tetapi unta saya hilang. Rasulullah saw bersabda bahwa kamu telah melakukan suatu kesalahan. seharusnya kamu mengikat tali kekang unta lalu bertawakkal, demikianlah yang benar.
Demikianlah ketawakalan yang contoh-contohnya terlihat oleh kita, dan selalunya berbuah dengan suatu kondisi yang khas sebagai ganjaran dari Allah swt. Dengan syarat bahwa ketawakalan kita tersebut tidak dicampuri dengan kedustaan dan atau kepura-puraan.
Di dalam masyarakat dewasa ini banyak sekali pertengkaran dan kegaduhan yang terjadi akibat karena kecemasan dan kepustusasaan yang melanda tabiat-tabiat dan karakter yang lahir akibat kondisi-kondisi yang terus bergolak di sekelilingnnya. Keputus-asaan dan kecemasan ini menjadi bertambah akibat kecenderungan berlebih orang-orang untuk mengejar benda-benda duniawi dan penyembahan pada materi beserta segala sesuatu bersifat keduniawian.
Pada umumnya orang-orang menyandarkan suksesi suatu tujuan, sebuah usaha atau juga cita-cita hanya semata-mata pada upaya-upaya individual atau planning per planning yang tak sedikit orang kemudian menafikan unsur-unsur keruhanian semisal doa dan keyakinan pada iradah Tuhan. Dan adapun tawakal itu sendiri, seringnya difahami keliru sebagai bentuk kepasrahan atas sebuah cita-cita yang gagal atau tujuan-tujuan yang tak tercapai. Karenanya maka ketakwaan pada zat Tuhan menjadi berkurang sedangkan ketergantungan pada sarana-sarana duniawi terus meningkat.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda; “pada hakikatnya ketawakkalanlah yang merupakan asas yang menjadikan manusia sukses dan berhasil. Allah Ta’ala berfirman, Wa man yatawakkal ‘alallah fahuwa hasbuhu bahwa barangsiapa yang bertawakkal pada Allah, maka Dia memadai baginya (Qs. Ath-Thalaq, 65:4). Dengan syarat bahwa dia melangkahkan kaki dengan tulus ikhlas sambil memahami dengan sebenarnya mafhum dari tawakkal itu, dan berkarakter yang mantap juga bukan orang yang mundur ke belakang karena takut akan kesulitan.” (Malfuzhat jilid 10 hal. 252)
Karenanya, jika ingin menjadikan kehidupan menjadi penuh suka-cita maka sebagaimana sabda Hadhrat Masih Mau’ud as tadi, lakukanlah penekanan pada doa juga tawakkal dan hiasilah dunia juga akhirat, keduanya dengan itu.
——000——
Sumber : Diekstrak Khutbah Jum’ah Hadhrat Khalifatul Masih Khamis Atba tema Tawakkal.