Antarkan kebaikan itu hingga ke derajat fitrati. Sebab tatkala sesuatu mengalami kemajuan dan kemajuan, lalu sampai pada tahap puncak kesempurnaan fitratinya, maka pada saat itu hal tersebut menjadi sempurna.
Ada dua aspek dan bagian besar dalam syariat yang perlu dijaga oleh manusia. Pertama hak Allah. Kedua hak sesama manusia. Hak Allah adalah tidak menyekutukan-Nya dengan wujud lain dalam hal kecintaan terhadap-Nya, dalam hal ketaatan terhadap-Nya, dalam peribadatan, dalam Tauhid dan dalam Dzat serta sifat-sifat-Nya. Sedangkan hak sesama manusia adalah tidak berlaku takabur, khianat, dan aniaya terhadap saudara-saudara yang lain. Yakni, jangan sampai timbul kelemahan jenis apa pun dalam hal akhlak.
Dalam pendengaran memang yang ada hanya dua kalimat itu saja (haququllah dan haququl ‘ibaad), namun dalam mengamalkannya sangatlah sulit. Jika manusia memperoleh karunia besar dari Allah Ta’ala, maka barulah manusia dapat berdiri tegak dalam kedua aspek tersebut.
Ada orang yang emosi marahnya berlebihan. Ketika dia marah maka kalbunya tidak dapat menjadi suci dan demikian pula lidahnya. Di dalam kalbu dia merancang rencana buruk bagi saudaranya, dan dari lidahnya dia melontarkan caci-makian, kemudian terbentuklah kedengkian. Ada orang yang dorongan syahwatnya sangat dominan dan dia terbelenggu dalam nafsu syahwat itu lalu melanggar batasan-batasan dari Allah.
Ringkasnya, selama kondisi akhlak manusia belum sungguh-sungguh benar, maka selama itu pula dia tidak akan dapat memperoleh keimanan kamil (sempurna), yang memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang memperoleh anugerah, dan yang melaluinya dapat timbul nur makrifat sejati.
Oleh karena itu hendaknya usahakanlah hal tersebut siang dan malam. Yakni sesudah itu manusia yang sungguh-sungguh penjunjung Tauhid melakukan pembenahan terhadap akhlaknya.
Saya melihat kondisi akhlak pada masa sekarang ini sudah sangat runtuh. Kebanyakan orang mengidap penyakit prasangka buruk yang sudah parah. Mereka tidak lagi berprasangka baik terhadap saudara mereka. Akibat perkara-perkara kecil saja mereka mulai berprasangka buruk terhadap saudara mereka, dan mereka mulai mengaitkan aib-aib tertentu terhadap saudara-saudara mereka itu, yang jika dituduhkan kepada mereka maka mereka akan merasa sakit sekali.
Oleh karena itu pertama-tama adalah penting supaya sejauh mungkin tidak berprasangka buruk terhadap saudara-saudara. Dan selalulah bersikap prasangka baik, sebab dengan itu kecintaan akan bertambah, dan timbul rasa kasih-sayang, serta kekuatan akan timbul di antara sesama. Dan karena [prasangka buruk] itu pula manusia akan tetap merugikan diri mereka, dan hampir-hampir membuat mereka biadab seperti binatang buas.
Namun saya nasihatkan berkali-kali kepada kalian, jangan sekali-kali kalian membatasi lingkup kepedulian kalian. Dan untuk kepedulian itu ikutilah ajaran yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala ini, “Innallaaha ya’muru bil ‘adli wal ihsaani wa iitaa-i dzil- qurbaa – (sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi pertolongan kepada kerabat – An-Nahl, 91).
Yakni, dalam berbuat kebaikan, pertama-tama perhatikanlah aspek keadilan, yaitu seseorang yang berbuat baik kepada kalian maka kalian pun berbuat baik kepadanya. Kemudian, derajat yang kedua adalah, kalian memperlakukannya lebih dari itu. Ini adalah sikap ihsan. Derajat ihsan walau pun lebih tinggi dari adil dan merupakan suatu kebaikan besar, akan tetapi kadang-kadang orang yang berbuat ihsan itu mengungkit-ungkit kebaikannya.
Namun yang paling tinggi dari semua itu adalah derajat dimana manusia melakukan suatu kebaikan dalam corak kecintaan sangat pribadi, yang di dalamnya tidak terdapat unsur untuk memperlihat-lihatkan kebaikan. Seperti seorang ibu yang membesarkan anaknya, ibu itu tidak menghendaki pahala dan ganjaran apa pun dalam membesarkan anak itu, melainkan hal itu sudah merupakan dorongan fitrati, sehingga dia rela mengorbankan segenap kesenangan dan ketenangannya untuk anak itu. Seperti misalnya ada raja yang memerintahkan kepada seorang ibu supaya berhenti menyusui anaknya, dan kalau anak itu mati ibu tersebut tidak akan dihukum, maka apakah mendengar perintah seperti ini sang ibu itu akan senang? Dan apakah dia akan melakukannya? Sama-sekali tidak. Justru sang ibu itu di dalam hatinya akan mencerca raja yang demikian, yakni mengapa raja tersebut memberi perintah seperti itu.
Jadi, lakukanlah kebaikan dalam bentuk demikian. Yakni, antarkan kebaikan itu hingga ke derajat fitrati. Sebab tatkala sesuatu mengalami kemajuan dan kemajuan, lalu sampai pada tahap puncak kesempurnaan fitratinya, maka pada saat itu hal tersebut menjadi sempurna.
Ingat, Allah Ta’ala sangat menyukai kebaikan, dan Dia menghendaki supaya kepedulian dilakukan terhadap makhluk-makhluk-Nya. Jika Dia menyukai keburukan tentu Dia menekankan keburukan. Namun kemuliaan Allah Ta’ala sangat suci dari hal itu.”
Sumber: “Dua Aspek Dalam Syariat”, Malfuzat, jld. VII, hlm. 278-284.
??