Sungguh, beruntunglah orang yang mensucikannya, dan tentu binasalah orang yang mengotorinya.
(Qs. Asy-Syam, 91:10-11)
Pada tanggal 12 Mei 1908, di Lahore terjadi perbincangan antara Hadhrat Masih Mau’ud as dengan seorang ilmuwan dari Inggris, Profesor Rigg. Salah satu permasalahan yang ia paparkan adalah: “Di dunia ini ada dua potensi berlainan yang bekerja, negatif dan positif. Jika kita hanya menggunakan yang positif maka suatu hari potensi negatif itu perlahan-lahan akan menyatu lalu akan tampil dominan, dan pada waktu tertentu ia akan meledak lalu menghancurkan dunia ini. Demikian pula halnya kebaikan dan keburukan. Jika di seluruh dunia yang dilakukan hanyalah kebaikan, dan tidak ada yang berbuat keburukan maka dengan demikian suatu hari keburukan itu akan berkuasa (dominan) dan menghancurkan dunia ini.”
Menanggapi hal itu Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Lihat, jika seseorang tidak memiliki kekuatan (potensi) untuk berbicara dengan suara keras maka apabila dia berbicara dengan lembut maka itu tidak akan dianggap sebagai suatu akhlak fadhilah. Jika manusia selalu tegak di satu kondisi saja dan dia tidak mampu beralih ke sisi yang lain, maka kemudian kebaikan itu tidak akan ada lagi.
Dengan adanya negatif-positif itulah timbul kebaikan. Jika kondisi yang berlaku hanya satu sisi saja, sedangkan potensi kedua tidak diberikan kepada manusia, dan manusia senantiasa hanya terkondisi untuk melakukan kebaikan saja, sedangkan kekuatan (potensi) untuk melakukan keburukan tidak dia peroleh, maka tidak akan ada lagi apa yang disebut taat dan kebaikan itu.
Allah Ta’ala telah memberikan ikhtiar (kewenangan) kepada manusia hingga suatu batas tertentu. Manusia dapat beralih ke sisi lain. Manusia memiliki kekuatan untuk berbuat baik, dan ia juga memiliki ikhtiar untuk berbuat buruk, sehingga dengan demikian apa pun yang ia lakukan ia akan memperoleh ganjarannya.
Ketahuilah, jika tidak ada akhlak buruk, maka akhlak fadhilah pun tidak akan ada. Ketika akhlak rendah itu ada barulah muncul akhlak mulia. Ketika di dalam pikiran manusia terdapat akhlak buruk barulah manusia menggelar gambarannya di dalam pikiran, lalu mengerjakan keburukan itu, dan dengan demikian terbentuklah nama akhlak fadhilah, dan hal itu [dengan sendirinya] mendefinisikan akhlak fadhilah tersebut. Jika di dalam pikiran tidak terdapat gambaran suatu hal buruk maka akhlak baik pun tidak akan ada. Selalu, melalui keburukan itulah suatu kebaikan dapat dikenali.
Jika yang diciptakan hanya satu sisi saja maka sudah pasti bahwa ganjaran pun tidak akan ada, dan ungkapan kegembiraan terhadap hal itu pun tidak akan ada. Dari kesedihan timbul kegembiraan, dari duka timbul suka, dari gelap timbul terang, dari pahit timbul manis, dari racun timbul anti-racun, dari buruk timbul baik, dari dosa timbul kebaikan. Jika baik-buruk yang saling tarik-menarik ini tidak tercipta di dunia, maka hidup ini sendiri akan menjadi hambar.
Jika yang ada hanya satu sisi saja, maka hal itu akan masuk ke dalam fitrat (pembawaan alami). Dengan demikian bagaimana mungkin ada ganjaran dan pahala? Dan bagaimana mungkin hal itu dapat menjadi sarana untuk meraih keridhaan? Itu justru merupakan suatu kondisi yang terpaksa, yakni secara fitrat manusia melakukan perbuatan sesuai dengan itu.
Ingatlah, manusia itu telah dijadikan sebagai suatu wujud yang memilik ikhtiar (wewenang/upaya). Manusia memiliki ikhtiar untuk berbuat kebaikan maupun keburukan. Untuk berbuat ihsan maupun zalim (aniaya), untuk bersikap dermawan maupun kikir. Selalu dengan mempertimbangkan kedua sisi itu, seorang manusia tertentu baru dapat dianggap baik atau buruk.
Makna amal-perbuatan juga demikian, yakni manusia itu memiliki kuasa (ikhtiar) untuk berbuat sebaliknya. Seseorang yang mempunyai kekuatan (potensi) untuk membalas dendam, tetapi dia tidak melakukan pembalasan berarti dia berbuat kebaikan. Namun seseorang yang tidak diberi tangan untuk meninju guna membalas, maka bagaimana mungkin dia dapat mengatakan bahwa dia telah berbuat baik, yakni dia tidak meninju?
“Qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man dassaahaa – (Sungguh beruntunglah orang-orang yang mensucikannya, dan tentu binasalah orang-orang yang mengotorinya – (Asy-Syams,10-11). Dari ayat suci ini dengan jelas diketahui bahwa kebaikan dan sifat baik itu bergantung pada kedua sisi ini.
Seseorang yang kepadanya hanya diberikan satu potensi saja, sedangkan potensi yang kedua tidak diberikan kepadanya maka hal itu sudah menjadi garis (ketetapan) yang tidak dapat dihapus baginya. Seseorang yang mengingkari Tuhan dan juga mengingkari setan, berarti dia itu mengingkari hal-hal yang nyata dan perkara-perkara yang telah terbukti jelas.
Setiap hari kita menyaksikan bahwa orang-orang melakukan kebaikan, dan kejahatan-kejahatan pun terjadi juga di dunia ini, dan kedua kekuatan ini sama-sama bekerja di dunia. Tidak ada satu orang pun yang dapat mengingkari hal itu. Siapa pula orang yang tidak menemukan rasa dan pengaruh kedua hal itu di dalam dirinya? Di sini tidak diperlukan suatu falsafah atau logika tertentu, sebab kedua potensi ini ada dan bekerja pada tempatnya masing-masing.
Ada pun pendapat bahwa jika hanya kebaikan saja yang dilakukan, maka keburukan akan menjadi kuat dan akan menghancurkan dunia, mengenai hal itu saya hanya dapat mengatakan bahwa saya tidak punya hubungan (urusan) dengan hal itu, yakni bahwa jika begini, maka akan terjadi begitu; dan jika begitu, maka akan terjadi begini. Saya hanya melihat bahwa potensi-potensi itu bergerak dengan dinamis. Terserah, apakah itu untuk akhlak fadhilah (akhlak yang baik) maupun untuk akhlak radzilah (akhlak yang rendah), saya tidak bisa melebihi dari itu.”
Sumber: Malfuzat, jld. X, hlm. 360-362