“Pemberian maaf adalah kemampuan moral. Seseorang harus melihat apakah orang lain perlu dimaafkan atau tidak? Sebab pelanggar ada dua macam, sebagian adalah jenis pelanggaran mereka yang mengganggu seseorang tetapi mereka perlu dimaafkan. Ada pula yang lain, yang jika dimaafkan menjadi semakin keterlaluan dan dapat membahayakan.
Sebagai contoh, ada seorang pelayan yang sangat taat dan patuh. Dia membawa air teh dan kebetulan dia tersandung sesuatu dan cangkir air teh itu pecah dan air teh itu juga tumpah atas majikannya. Jika majikan itu memukul dan memaki pelayan tersebut habis-habisan, tindakannya itu hanyalah satu kebodohan. Inilah kesempatan dimana majikan itu hendaknya memaafkan pelayan tersebut karena tidak memecahkan cangkir dengan sengaja. Jika pelayan itu dimaafkan dia akan merasa malu atas apa yang dia perbuat dan untuk selanjutnya ia akan lebih berhati-hati lagi.
Tetapi jika ada seorang pelayan yang memecahkan cangkir setiap hari dan menimbulkan kerugian kepada majikannya, dia harus dihukum dan itu akan merupakan bentuk kemurahan kepadanya. Itulah makna “mimmā razaqnāhum yunfiqūn” (membelanjakan apa yang Kami rezekikan kepada mereka). Setiap orang mukmin harus memutuskan [hukuman atau pengampunan] sesuai dengan keadaan. Dia harus memberikan apa yang dia anggap layak.”
Sumber: Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Malfuzāt, jld I, hlm. 418.