Perjuangan mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan kerap dianggap tidak sejalan dengan perjuangan kesetaraan gender. Pendapat tersebut muncul, khususnya terhadap perempuan yang dianggap akan “tertindas” atas nama agama. Padahal, tak sedikit juga perempuan yang terdampak buruk akibat terampasnya hak beragama dan berkeyakinan.
KBB dan Kesetaraan Gender
Islam barangkali menjadi salah satu agama “tertuduh” perlakuan diskriminasi terhadap perempuan. Mulai dari anggapan perbedaan derajat rohani, kewajiban berpakaian hingga status perempuan pekerja yang sebenarnya kerap diartikan secara keliru.
Sudut pandang tersebut barangkali bisa dibenarkan bahwa Islam seolah menempatkan perempuan “berbeda.” Namun jika kita bergerak ke banyak kejadian lain di dunia, kita akan melihat bahwa perempuan Islam pun menjadi korban persekusi karena keinginannya untuk menjalankan perintah agama sesuai keyakinannya.
Di Cina, perempuan dari minoritas Muslim Uighur menjadi korban pemerkosaan bahkan sterilisasi paksa. Ratusan ribu muslim ditahan semata-mata karena afiliasi agama. Di Mesir, hukum keluarga yang dibenarkan oleh agama seperti pernikahan, perceraian, dan hak asuh anak mendiskriminasi tidak hanya perempuan, tetapi juga minoritas agama, sehingga perempuan minoritas agama menjadi korban diskriminasi ganda. Di Prancis, larangan cadar wajah penuh mempengaruhi hak perempuan Muslim untuk mengekspresikan agama sesuai keyakinan mereka.
Ketersinggungan masalah gender, khususnya perempuan, terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan sebenarnya juga dirasakan di Indonesia. Kekerasan fisik barangkali tidak terekspos, namun persekusi terhadap minoritas pada faktanya memberi pengaruh secara mental kepada perempuan.
Penyerangan kepada kelompok Ahmadiyah di Lombok dan banyak daerah lainnya meninggalkan bekas mendalam di kalangan kaum ibu dan anak-anak perempuan. Tidak sedikit dari mereka yang merasakan trauma mendalam, bahkan beberapa tahun setelah peristiwa tersebut berlangsung. Secara fisik, keterbatasan sarana seperti air bersih di pengungsian tentu akan sangat berdampak kepada kebutuhan kebersihan perempuan. Lebih dari itu, tekanan secara sosial juga dialami oleh kaum minoritas ketika identitasnya diketahui oleh publik sebagai Ahmadiyah, Syiah, Baha’i atau minoritas lainnya.
Sayangnya, upaya untuk mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan sering tidak sejalan dengan perjuangan kesetaraan gender. Bahkan, hak-hak yang terkait dengan KBB dan kesetaraan gender sering kali terlihat bertentangan satu sama lain.
Hal yang mendasari (salah) persepsi antara keduanya adalah pemahaman yang sering kali keiru tentang hak-hak yang melindungi agama – yang sering dipandang secara konservatif dan patriarkis. Bagi sebagian orang, KBB dipandang sebagai hambatan yang melekat untuk mencapai kesetaraan gender. Sementara bagi sebagian yang lain, kesetaraan gender dipandang sebagai ancaman terhadap perlindungan nilai-nilai dan praktik-praktik keagamaan.
Memahami Agama dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Pada dasarnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan sama sekali bukan tentang perlindungan terhadap agama. KBB adalah tentang melindungi hak individu dan kelompok untuk memiliki, mengadopsi atau mengubah agama atau kepercayaan; untuk mewujudkan dan mempraktikkan agama atau kepercayaan mereka, baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain; serta bebas dari paksaan dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan mereka.
Hal ini termasuk juga di dalamnya hak perempuan untuk menafsirkan dan memanifestasikan agama mereka dengan cara yang mereka yakini benar, tanpa perlu memperhatikan ortodoksi agama (mayoritas). Sebagai contoh pada praktik penggunaan hijab, ortodoksi tentang pakaian sangat mungkin ditafsirkan dan dipraktikkan berbeda di berbagai tempat.
Dengan demikian, KBB pada dasarnya adalah alat untuk memberdayakan masyarakat dalam perjuangan mereka – termasuk perempuan – untuk kesetaraan gender dan non-diskriminasi. Meskipun hak untuk memiliki (atau tidak memiliki) agama atau keyakinan adalah hak yang tidak dapat dikurangi, hak untuk memanifestasikan dan mempraktikkan agama atau keyakinan sangat mungkin untuk dapat dibatasi dalam situasi yang sangat spesifik. Namun yang paling penting adalah, praktik dan manifestasi ini tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain.
Mengatasi Tantangan Perempuan di Tengah KBB
Konflik praktis antara hak-hak terkait KBB dan kesetaraan gender jelas perlu mendapat perhatian yang seksama. Namun, sebagian besar tantangan yang ada lebih merupakan pelanggaran terhadap KBB dan kesetaraan gender daripada benturan di antara keduanya.
Menganalisis hubungan antara KBB dan kesetaraan gender dalam konteks kesehatan, pendidikan dan akses terhadap keadilan, dapat ditelaah bahwa diskriminasi dan ketidaksetaraan berbasis gender dan agama sering kali terjadi bersamaan. Tantangan yang dihadapi kelompok perempuan, anak perempuan dan minoritas agama dalam hal diskriminasi, marjinalisasi dan pengucilan sering kali serupa, dan sering kali – meskipun tentu saja tidak selalu – pendorong dan akar penyebab dari tantangan-tantangan tersebut adalah sama. Dalam hal pendidikan, misalnya, kita sering menemukan pola diskriminasi berbasis gender dan agama yang serupa dalam kurikulum dan buku-buku pelajaran – baik dalam bentuk stereotip, stigmatisasi, atau membuat perempuan, anak perempuan dan minoritas agama tidak terlihat.
Demikian juga dalam hal kesehatan, perempuan, anak perempuan dan minoritas agama sering kali menderita secara tidak proporsional akibat kurangnya akses ke perawatan kesehatan dan pengobatan yang berkualitas. Di Indonesia, diskriminasi ini bahkan merambah ke ranah kependudukan seperti pemaksaan pencantuman agama di kolom identitas penduduk dan pencatatan pernikahan yang “berbeda” untuk minoritas agama atau penganut agama lokal di Indonesia.
Tantangan-tantangan tersebut sering kali bersinggungan dan tumpang tindih dalam arti bahwa diskriminasi berbasis agama memiliki konsekuensi gender tertentu, dan diskriminasi berbasis gender memiliki konsekuensi bagi minoritas agama. Sebagaimana disinggung di atas, pelanggaran terhadap KBB sering kali berdampak pada perempuan, anak perempuan dengan cara yang lebih buruk – atau hanya berbeda – dibandingkan dengan laki-laki.
Mengatasi tantangan-tantangan ini jelas membutuhkan berbagai tindakan, termasuk misalnya mengedukasi hingga mengadvokasi kelompok rentan persekusi, mengupayakan pencabutan undang-undang yang diskriminatif, reformasi pendidikan untuk memastikan pendidikan inklusif bagi semua, dan perhatian yang lebih besar terhadap konsekuensi gender dari penganiayaan agama.
Pertama dan terutama, tindakan di bidang ini seharusnya tidak hanya menargetkan, tetapi juga secara aktif melibatkan orang-orang yang mengalami ketidaksetaraan berbasis gender dan agama, memastikan bahwa perspektif, pengetahuan, dan pengalaman dari perempuan dari kelompok agama minoritas untuk didengar dan dipertimbangkan.
Selain itu, kita perlu jeli menganalisa pernyataan para aktor agama yang menghasut, membenarkan, dan mempertahankan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Keyakinan, doktrin, tradisi, dan praktik keagamaan jelas dapat digunakan untuk mempertahankan, mendorong, dan membenarkan diskriminasi dan pengucilan terhadap perempuan dan minoritas agama, sehingga perlu adanya intervensi untuk mengatasi dan menantang hal tersebut, misalnya melalui peningkatan kesadaran dan pelatihan bagi para pemuka agama. Termasuk pula, secara sederhana namun masif, yaitu menyebarkan pemahaman melalui konten positif di berbagai platform media.
Terakhir, dan yang terpenting, para aktor agama tidak hanya menjadi korban atau pelaku pelanggaran hak asasi manusia, namun mereka juga harus tampil menjadi pembela dan pendukung hak asasi manusia yang gigih, yang menemukan motivasi dan dalil untuk perjuangan menuju inklusi, kesetaraan, dan keadilan yang lebih luas. Para aktor agama (seharusnya) merupakan mitra utama dalam upaya mengatasi diskriminasi berbasis gender dan agama.
Penulis: Rahma Roshadi
(Artikel ini merupakan kolaborasi dengan Konsorsium Inklusi)