Menyusuri jejak akulturasi budaya di Indonesia, semakin membuka mata bahwa negara kita sangat kaya. Islam sebagai mayoritas agama, ternyata bisa juga berakulturasi dengan budaya China. Salah satunya, terlihat pada arsitektur Masjid Al-Imtizaj di Cikapundung, Bandung.
Kebudayaan China di Indonesia
Perkembangan budaya di Indonesia selain terdiri dari beragam suku bangsa, juga tidak lepas dari masuknya pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari luar yang datang ke tanah air. Istilah ‘kebudayaan’ sering dikaitkan dengan istilah ‘peradaban’. Perbedaannya, kebudayaan lebih banyak diwujudkan dalam bidang seni, sastra, religi, dan moral, sedangkan peradaban diwujudkan dalam bidang politik, ekonomi, dan teknologi.
Indonesia terletak di tengah-tengah jalur perdagangan strategis yang menghubungkan Laut Tengah dan Cina. Tidak heran jika bangsa-bangsa lain, termasuk China, datang ke Indonesia untuk berinteraksi dan berakulturasi dengan masyarakat setempat.
Adanya muslim Tionghoa di Indonesia menjadi salah satu faktor terjadinya akulturasi budaya tersebut. Bukan hanya berkumpul dan berinteraksi, namun etnis Tionghoa juga menerapkan kebudayaannya, salah satunya pada arsitektur masjid di beberapa wilayah di Indonesia.
Keinginan menambah sentuhan seni pada bangunan masjid dengan budaya Tionghoa dan meningkatkan khazanah pembauran etnis Tionghoa Islam dengan umat Islam lainnya, juga menjadi alasan khusus terlihatnya arsitektur China pada bangunan umat Islam.
Budaya China pada Masjid
Akulturasi budaya Islam dan Tionghoa dalam arsitektur Masjid Al Imtijaz dapat dilihat dari bentuk fisik bangunan masjid. Mulai dari atap masjid, ornamen-ornamen yang ada, serta warna-warna yang digunakan dalam arsitekturnya.
Masjid Al-Imtizaj terletak di Jalan Banceuy nomor 8, kota Bandung. Masjid tersebut diresmikan pada tanggal 6 Agustus 2010 oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, R. Nuriana. Masjid berkapasitas 200 orang tersebut memiliki tampilan yang unik karena hasil akulturasi budaya yang berbeda.
Bangunan masjid merupakan bentuk revitalisasi bangunan sebelumnya yakni bekas gudang sebuah pusat perbelanjaan di Bandung. Kemudian, difungsikan lain untuk tempat peribadatan kaum muslim.
Masjid Al-Imtizaj mempunyai arti ‘Pembauran’ atau dalam bahasa Tionghoa yaitu ‘Ronghe’. Hal ini sejalan dengan keadaan bahwa saat itu, mulai terbentuk beberapa komunitas muslim Tionghoa di Bandung.
Didominasi warna etnis Tionghoa, namun berkubah seperti masjid pada umumnya. Pada bagian entrance (pintu masuk) terdapat gapura dengan beberapa lampion digantung mirip bangunan kelenteng.
Bagian pintu masuk didominasi warna merah, kuning, dan keemasan. Tempat wudu yang unik terletak di pelataran masjid. Bentuknya seperti cawan emas. Selain itu, di pelataran juga terdapat beberapa tempat duduk yang nyaman dengan pohon dan bunga yang menghiasi setiap sudut Masjid.
Pada interior masjid, warna merah mendominasi sama dengan warna luar bangunan, ditambah warna kuning, dan emas. Selain warna-warna tersebut, terlihat pula ornamen khas oriental Tiongkok sebagai aksen yang bersanding dengan kaligrafi lafaz Allah.
Ada juga mimbar dan gelaran sajadah pada mihrab (tempat imam salat) seperti halnya masjid pada umumnya. Untuk area salat, dibagi menjadi dua untuk laki-laki dan wanita. Dari pintu gerbang para jamaah laki-laki harus menuruni beberapa anak tangga untuk memasuki tempat wudu dan tempat salat. Sedangkan bagi wanita harus naik ke lantai dua.
Seperti arsitektur masjid di Indonesia pada umumnya, Masjid Al-Imtizaj juga menghadirkan kubah pada bagian puncak atapnya. Walaupun sebenarnya kubah juga merupakan pembauran budaya Barat dan Islam melalui seni arsitektur Byzantium.
Penempatan kubah pada arsitektur masjid Al-Imtizaj berbeda dengan masjid-masjid lainnya. Kubah diletakan pada atap pintu gerbang masjid yang berada di pinggir trotoar. Bentuk atap pintu gerbang ini menyerupai bentuk atap kelenteng, namun puncaknya diberi kubah.
Penegasan Budaya China-Islam pada Arsitektur Bangunan
Bentuk kubah emas di atas gerbang berbentuk lingkaran merupakan akulturasi dari budaya Islam dengan budaya Tionghoa. Kubah sebagai penanda masjid mewakili budaya Islam. Sedangkan pintu lingkaran mewakili budaya Tionghoa.
Dinding pembatas dengan bukaan pintu berbentuk lingkaran merupakan pengaruh budaya Tionghoa. Bangsa Tionghoa mengenal ajaran Lao Tzu, bahwa ruang yang terkandung di dalamnya adalah lebih hakiki ketimbang materialnya, yakni massa.
Ajaran tersebut menekankan pada batasan antara ruang internal dan eksternal yaitu dinding pemisah. Ia menjelaskan kekosongan yang terbingkaikan oleh pintu dan jendela yang boleh dianggap sebagai ruang transisi yang membatasi bentuk arsitektur.
Di negara Tiongkok penerapan ajaran tersebut sering dihadirkan juga dalam unsur bangunan yakni pintu gerbang yang berbetuk lingkaran besar yang dibingkai. Bentuk inipun juga dimunculkan pada bagian entrance (pintu gerbang) dan pembatas antara mihrab dengan area jamaah.
Perpaduan antara Islam dan budaya Tionghoa juga terlihat pada ornamen kaligrafi pada interior masjid dan ornamen motif batu bata. Ornamen batu bata mengingatkan pada bangunan tradisional Tionghoa dimana batu bata sering digunakan untuk lantai.
Selain bentuk dan pemakaian ornamen adalah penerapan warna. Warna didominasi dengan warna khas merah, kuning, dan keemasan. Menurut filosofi Tionghoa, warna merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan dengan kemakmuran dan keberuntungan. Merah juga simbol kebajikan, kebenaran, dan ketulusan. Warna merah juga dihubungkan dengan arah, yaitu arah selatan, dan sesuatu yang positif. Itulah sebabnya warna merah sering dipakai dalam arsitektur Tionghoa. Warna merah melambangkan kemakmuran dan keberuntungan sedangkan warna kuning melambangkan kekayaan.
Namun hal ini tidak berlaku pada bangunan masjid Al-Imtizaj dimana penggunaan warna merah dan kuning ini dimaksudkan hanya sebagai bentuk adaptasi budaya saja. Islam tidak mengenal filosofi warna baik atau hari baik sebagaimana bangsa Tionghoa. Di dalam Islam, semua hari adalah baik karena keberkatan datang dari sisi Allah swt pada setiap aktivitas apapun yang diawali dengan bacaan Basmallah.
Warna-warna tersebut sengaja digunakan dengan maksud agar warga Tionghoa yang datang ke masjid ini merasa lebih nyaman dan familiar. Hal ini mengingat beberapa jamaah merupakan para mualaf yang berasal dari etnis Tionghoa.