Pandangan kebanyakan orang tentang perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, masih berkisar pada faktor biologis saja. Perempuan masih dianggap kaum berbadan lemah, laki-laki fisiknya lebih kuat. Sehingga, diskusi berujung pada diskriminasi pekerjaan hingga kekuasaan.
Pra-anggapan bahwa perempuan dalam Islam berada pada lapis bawah (low-layer), dianggap mendapat dukungan. Agama ini, menurut beberapa pihak, telah memberikan pengesahan dengan berbagai aturan bahwa perempuan adalah kaum lemah tidak berdaya. Benarkah demikian?
Mitos Sosial Perempuan
Pandangan seperti di atas sama sekali tidak dapat dipertahankan. Faktanya, dalam berbagai hal telah membuktikan bahwa perempuan mampu memiliki ketrampilan, kecerdasan dan melakukan berbagai tugas. Bahkan dalam keterpurukan, perempuan memiliki daya lenting lebih tinggi dari laki-laki.
Sebaliknya banyak pria yang memilih pula pekerjaan-pekerjaan “feminim”. Maka perlu ada suatu perubahan pandangan tentang eksistensi pria dan wanita sesuai dengan budaya yang mengembangkan potensinya sebagai manusia utuh bukan dari pandangan biologis saja.
Bukan hanya membongkar mitos sosial, banyak diskusi yang mencari legalitas filsafati terkait emasipasi dan upaya pemberdayaan (enpowerment) perempuan. Diperlukan perjuangan menuju derajat emansipasif. Dan agar perempuan mampu memperjuangkan kepentingan dirinya tanpa tergantung pada orang lain.
Namun, Berkaitan dengan mitos-mitos sosial dan legalitas filsafati tadi, biasanya Islam justru mendapat tudingan sebagai agama yang memberikan “kontribusi” besar dalam pemunduran dan penindasan perempuan.
Ajaran-ajaran Islam yang dikatakan sangat maskulin atau male biased, tidak akomodatif terhadap aspirasi feminin. Fenomena jilbab, perbudakan, poligami, hak talak pada suami, hak waris dan persaksian perempuan yang hanya separuh laki-laki, adalah contoh kecil legalitas tersebut.
Ketika Islam mewajibkan istri meminta izin pada suami bila hendak keluar rumah atau puasa sunnah misalnya, sementara untuk hal yang sama suami tidak wajib meminta izin pada istri; juga ketika Islam menetapkan hak waris, Islam tengah berbicara tentang keluarga bukan tentang pribadi-pribadi. Islam sedang bicara tentang tatanan menuju keutuhan yang harmonis.
Struktur keluarga yang kuat membutuhkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang saling menunjang serta upaya penataan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan etika pergaulan yang terjaga.
Pandangan Fundamental terkait Perempuan
Layak kiranya mencermati pandangan kalangan fundamentalisme rasionalis dan fundamentalisme religius terhadap teks-teks di dalam Al-Qur’an. Kedua kalangan tersebut meyakini bahwa Al-Qur’an turun untuk membawa keadilan. Namun demikian, bagi kaum rasionalis keadilan adalah kesetaraan, sementara kaum religius melihat keadilan dalam perbedaan.
Corak pemikiran yang berhaluan rasional oleh Barat dikenal dengan modernism. Kaum modernis banyak dipengaruhi oleh metodologi Barat. Sementara corak pemikiran yang berhaluan religius oleh Barat dikenal dengan konservatisme.
Corak pemikiran yang berhaluan rasional cenderung menggugat tradisi masa lalu. Intrepertasi abad pertengahan tentang asal usul dan watak perempuan yang tidak mengakui aspek rasionalitas perempuan dianggap sebagai bentuk ketimpangan gender yang dikuatkan lewat kekuatan legislatif dan yudikatif.
Sementara Haluan konservatis justru mempertahankan tradisi keilmuan masa lalu. Mereka memandang Islam sebagai suatu sistem yang diwariskan dan didukung kitab suci yang intrepertasinya hasil ijma`. Menurutnya, esensi persamaan laki-laki dan perempuan terletak pada realitas kemanusiaannya. Namun dalam hal devision of labor tetap ada perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin dihilangkan.
Islam kadang berbicara tentang perempuan sebagai perempuan (misalnya dalam soal haid, mengandung, melahirkan dan kewajiban menyusui). Namun, Islam juga berbicara sebagai manusia tanpa dibedakan dari kaum laki-laki misalnya dalam hal kewajiban shalat.
Memang tercatat dalam sejarah sekian peristiwa yang menunjukkan gugatan wanita Islam di masa lalu. Tapi semua itu bukanlah dilandasi oleh dorongan seksis demi kepuasan kaum wanita semata, melainkan demi kesamaan kesempatan menuju derajat kemuliaan seorang muslimah.
Ditegaskan di dalam Al-Qur’an, bahwa hasil kerja seseorang tidaklah ditentukan oleh jenis kelamin: “……dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Q.S. Ani-Nisa: 33)
Islam memberikan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakan perempuan Amerika Serikat, bahkan jauh sebelum Revolusi Perancis meneriakkan “Liberte, Egalite et Fraternity”.
Peran Sosial Perempuan dalam Islam
Peran sosial perempuan dalam Islam tidaklah sama dengan konsep women liberation atau gerakan-gerakan feminis yang bermunculan di Barat. Tuntutan gerakan ini amat ekstrim, sehingga justru mencabut jati diri perempuan.
Salah satu permasalahan besar yang dihadapi adalah terbengkalainya urusan rumah tangga. Efek buruknya bisa mengenai anak-anak dan juga para suami mereka, muaranya adalah runtuhnya institusi keluarga.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Attaubah: 72)
Diriwayatkan dalam sejarah, ada seorang muslimah yang datang kepada Nabi saw mengatasnamakan kaum muslimah yang merasa iri dengan banyaknya amal-amal kebajikan yang bisa dilakukan kaum lelaki. Nabi saw menyampaikan, bahwa jika kaum perempuan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dalam mengelola rumah tangga dan berbakti kepada suaminya (dalam ketaatan kepada Allah), maka itu semua sepadan dengan amal-amal yang dilakukan kaum laki-laki.
Maka jelaslah bahwa konsep Islam mengangkat derajat kaum perempuan dalam peran sosialnya. Penunaian peran sosial ini dilakukan dengan tetap memperhatikan fokus peranan masing-masing pada kaum lelaki dan kaum perempuan.
Menggugat ajaran Islam yang dikatakan sebagai biang dari pemunduran kaum perempuan telah terbukti salah alamat. Bahkan sejatinya, justru dari ajaran yang agung itu bisa ditegakkan sebuah postur kehidupan kaum perempuan yang shalih secara individual, harmonis dalam keluarga serta mulia secara komunal.
Penulis: Rahma Roshadi