“Disabilitas butuh pemenuhan hak, bukan belas kasih.”
Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid
Seiring menguatnya isu-isu hak asasi manusia, persoalan tentang kelompok difabel (differently abled people) seharusnya turut menjadi bahasan penting di samping isu tentang gender, kekerasan terhadap anak dan kelompok minoritas. Paradigma harus bergeser dalam melihat isu difabel, dari cara pandang karitatif (belas kasihan) kepada perspektif hak asasi manusia (HAM).
Sebuah “kebiasaan” meminggirkan kaum minoritas terjadi di berbagai aspek. Bukan hanya pada organisasi, namun juga menimpa para penyandang disabilitas. Pembedaan cara pandang antara normal dan tidak normal secara fisik dan pembedaan kelompok mayoritas dan minoritas telah membuat kebanyakan masyarakat bertindak diskriminatif.
Penghargaan pada Difabel dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai rujukan utama etik dan moral umat Islam sesungguhnya telah menyinggung upaya diskriminasi yang pernah menimpa kaum difabel. Secara eksklusif Al-Qur’an mengabadikan peristiwa itu dalam surah ‘Abasa ayat 2-5 (Basmallah dihitung ayat pertama).
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, (2) karena seorang buta (Abdullah bin Ummi Maktum) telah datang kepadanya. (3) Dan tahukah Engkau (Muhammad) barangkali ia ingin mencucikan dirinya (dari dosa) (4) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat bagi dirinya? (5)”
Konteks historis ayat tersebut terkait dengan peristiwa ketika Nabi sedang memberikan penjelasan (dakwah) tentang Islam kepada para bangsawan Quraisy, seperti ‘Utbah bin Rabiah, Abu Jahal, dan ‘Abbas bin Abul Mutalib. Di tengah-tengah itu tiba-tiba datang Abdullah bin Ummi Maktum yang juga ingin mendapatkan pengajaran dari Nabi.
“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu!” Ibnu Umi Maktum mengulang-ngulang permintaan ini dan tidak tahu kalau Nabi sedang sibuk berbicara dengan orang lain. hal ini membuat Nabi bermuka masam. Sikap Nabi ini ternyata langsung mendapat teguran dari Allah dan turunlah ayat tersebut.
Dakwah atau tabligh kepada orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat, sering dianggap sebagai cara efektif dan efisien. Namun ternyata bukan sedangkal itu makna dakwah. Siapapun, termasuk para penyandang disabilitas berhak mendapatkan ilmu. Apalagi, jika kita sadar bahwa ilmu berasal dari Allah Taala dan akan menjadi bermanfaat ketika kita membagikannya.
Dalam sejarah Islam, upaya untuk membuka dan memberikan aksesibilitas kepada kelompok difabel dapat ditemukan pada masa khalifah Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini menyediakan rumah untuk seorang tunanetra di dekat masjid. Upaya Umar ini dilakukan menyusul protes seorang ayah yang anaknya kesulitan menjangkau masjid untuk beribadah karena kendala penglihatan yang sudah tidak berfungsi.
Contoh lain yang bisa dianggap sebagai role model upaya untuk menempatkan kelompok difabel sejajar dengan masyarakat lainnya juga dapat ditemukan pada masa Bani Umayyah. Khalifah Abdul Malik membangun tempat rehabilitasi (care home) untuk pertama kalinya bagi kelompok masyarakat difabel. Bahkan, di masa pemerintahannnya, Abdul Malik juga membangun untuk pertama kalinya rumah sakit yang mengakomodasi pelayanan kesehatan bagi kelompok difabel.
Hak Difabel dalam Kerangka HAM
Tatanan demokrasi yang berorientasi pada inklusi, sangat dibutuhkan sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat sipil (civil society). Berdayanya civil society memiliki koherensi terhadap tegaknya fungsi HAM. Sementara itu, pengakuan terhadap HAM, membawa konsekuensi nyata akan adanya pengakuan terhadap kebebasan, persamaan, dan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa pengecualian termasuk untuk kaum difabel.
Dalam konteks hari ini, tidak bisa untuk tidak mengatakan masih banyak kebijakan pemerintah yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara holistik, dan tentunya tidak salah jika dikatakan kebijakan itu masih diskiriminatif. Celakanya, tanpa sadar, masing-masing kita secara bersamaan mengikuti orang lain dalam memberikan makna tertentu kepada orang lain.
Inilah yang dinamakan realitas sosial budaya disekitar kita. Pemaknaan difabel atau disabilitas muncul dari diskursus medis. Namun masyarakat seolah “latah” dengan menggeneralisasi “ketidakmampuan” tersebut dalam segala aspek kehidupan.
Dengan kata lain, persolan disabilitas terletak pada faktor yang labih luas dan bersifat eksternal yakni lingkungan sosial, dan bukan konsekuensi dari kekurangan fisik atau mental individu.
Islam, Pancasila dan Pemenuhan Hak Difabel
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Konsepsi difabilitas memiliki relevansi dengan falsafah Pancasila, dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tapi satu tujuan. Ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia pada prinsipnya memiliki nilai-nilai yang menghargai keragaman, keberbedaan, serta pluralitas.
Pancasila yang berorientasi pada keragaman dan pluralitas, seyogyanya ditransformasikan juga ke dalam tindakan sosial, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini penting, agar proses pengambilan kebijakan publik juga memperhatikan aspek-aspek difabilitas.
Selama satu dekade terakhir, masih terdengar adanya praktik diskriminatif terhadap difabel di luar jaminan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, bidang pendidikan. Kecacatan (impairment) bisa menyebabkan difabel seringkali mengalami penolakan dan hambatan terhadap akses memperoleh pendidikan dari lembaga pendidikan.
Permasalahan difabel seharusnya diseselesaikan bukan dari sudut pandang pemenuhan kesejahteraan sosial dalam wujud belas kasih, melainkan lebih jauh harus melihat seluruh aspek persoalan difabel baik dari sisi sosial, maupun dari sisi kesehatan, pendidikan, politik, dan budaya termasuk dalam hal ini adalah agama.
Sebagaimana Al-Qur’an tidak membedakan status seseorang pada aspek fisik, melainkan lebih pada ketaatan dan ketakwaannya. Bahkan, pengungkapan Al-Qur’an dengan kosakata yang bermakna kecacatan lebih untuk menggambarkan pengertian alegori tentang sikap tidak taat, kekufuran dan kezaliman manusia.
Islam melarang seseorang memanggil dengan sebutan buruk kepada orang lain, apalagi memperlakukan dengan keburukan karena adanya suatu kekurangan, atau menyebutkan kekurangan orang lain dengan tujuan menertawakan. Rasulullah saw memberikan contoh bagaimana memperlakukan Sabit bin Qais bin Syammas dengan memberikan tempat khusus di samping beliau di suatu majelis, karena ia mempunyai gangguan pendengaran supaya bisa mendengar dengan lebih jelas.
Di dalam asbab turunnya surat Abasa, pelajaran berlanjut dengan teladan dari baginda Nabi Muhammad saw. Sejak kejadian itu, Nabi menaruh perhatian dan memuliakan Ibn Umi Maktum. Setiap kali bertemu atau melihatnya, Nabi mengucapkan, “Selamat datang wahai orang yang membuat Tuhanku menegurku”
Selepas turunnya ayat tersebut, Nabi Muhammad saw lebih tanggap setiap kali bertemu dan melihat Ibn Umi Maktum. Selain ditunjuk sebagai muazin, Nabi juga pernah mempercayakan kepemimpinan kota Medinah, kota suci kedua di Saudi Arabia, dua kali kepada ‘Abdullah Ibn Maktum, yang nota bene merupakan tunanetra.
Penulis: Rahma Roshadi
Referensi:
‘Imad ad-Din Abi al-Fida’ Ismail Ibn Kasir, Tafs r al-Qur’ n al-‘A§³m, Juz IV, (D r alfikr, t.th), hal. 246.
Hiam Al-Aofi et al., “Islam and The Cultural Conseptualisation of Disability” dalam International Journal of Adolescence and Youth, (London: 2012), hal. 2