Setelah missi Katolik mulai berkembang di Fak Fak dan Manokwari, maka roda pemerintahan pun dibentuk. Pada 1898, atau empat tahun setelah keberadaan missi Katolik di Fak Fak, dibentuklah Afdeeling North Nieuw Guinea dan Afdeeling South & West Nieuw Guinea.
Kedua afdeeling itu berada di bawah Residensi Ternate. Ini ditetapkan melalui Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch Indie No. 19 tgl. 5 Februari 1898 yang dimuat dalam Staatblad van Nederlandsch Indie No. 142 tahun 1898.
Hingga tahun 1934, Inanwatan masih berada di bawah Onderafdeeling Fak Fak. Dua tahun kemudian, barulah Inanwatan (Inanuiatan) ditetapkan sebagai Onderafdeeling di bawah Afdeeling West & South Nieuw Guinea bersama empat Onderafdeeling lainnya, yaitu Fak Fak, Mimika, Boven Digoel dan South Nieuw Guinea. Sedangkan Afdeeling North Nieuw Guinea mencakup Onderafdeeling Manokwari, Sorong, Middle Vogelkop, Serui dan Hollandia.
Teminabuan Dan Inanwatan Pada Masa Nederlandsch Nieuw Guinea
Setelah Inanwatan menjadi Onderafdeeling, maka pembangunan pun semakin ditingkatkan sejak 1936-1940 itu. Gereja merangkap rumah sakit dibangun di Inanwatan (Kerk en landschapshospitaal te Inanwatan). Begitu pula usaha yang bergerak dalam pembuatan perahu dan pemotongan pelat baja (Papoea bezig met het cirkelsnijden van stalen platen).
Sedangkan Teminabuan baru menjadi Afdeeling setelah tahun 1954 ketika Ayamaru diubah statusnya menjadi Onderafdeeling dengan seorang Adspirant-Controleur. Pada tahun itu pula terjadi perubahan ibukota Afdeeling, yang tadinya berada di Sorong dipindahkan ke Manokwari. Begitu juga yang sebelumnya di Bintuni (Steenkol) dipindahkan ke Ayamaru.
Pada masa inilah, empat tahun kemudian, dibuat jalan tembus antara Teminabuan dan Ayamaru. Insinyur Uyleman menggarap pembangunan jalan itu mulai November 1958. Dua tahun kemudian, jalan itu pun diresmikan. Tugu peresmiannya terdapat di Ayamaru, berupa linggis, cangkul dan sekop yang ditanam dalam coran semen berbentuk kubus. Sebuah tiang bendera juga disiapkan di dekatnya.
Karena Teminabuan menjadi tempat tinggal hoofd van platselijk bestuur (HPB) alias kepala pemerintahan lokal setingkat wedana, maka di Teminabuan juga dibangun sarana seperti sebelumnya di Ayamaru. Sarana itu mencakup kantor sekaligus rumah dinas (een bestuurkantoor), rumah dinas kepala polisi (hoofd van politiewoning), asrama polisi (politiebarak), poliklinik (een polikliniek) dan sarana lainnya.
Teminabuan Dan Inanwatan Pada Masa Jepang
Setelah Jepang menguasai Fak Fak pada 2 April 1942, maka Inanwatan dan Teminabuan pun ditaklukkan juga. Sebagaimana terjadi di tempat lainnya, di Teminabuan dan Inanwatan pun terjadi kekejaman Jepang. Para pejabat pemerintah dan missionaris biasanya diinternir ke luar Papua. Ada yang dibuang ke Medan, ada yang sementara ditempatkan sebagai tahanan di Makassar dan tempat lainnya.
Pesawat Sekutu dari Royal Australian Air Force (RAAF) mengalami kecelakaan (crash) saat menyerang Jepang di Teminabuan pada 28 April 1944. Pesawat itu dikenal dengan sebutan “Maggie” alias Catalina PBY-A54 dengan nomor kode A24-49 FJ-L. Hingga sekarang tidak diketahui lokasi jatuhnya pesawat itu dan beberapa pesawat lainnya. Pesawat mengangkut 10 personel.
Personel Sekutu yang hilang (missing in action) adalah:
(1) Pilot P/O Warwick Neville Rose, 400939,
(2) 2nd Pilot F/O Allan Roger Meakin, 418142,
(3) Navigator F/Sgt L. W. Stringer, 419679,
(4) W/AG F/Sgt Alexander John Hine, 415327,
(5) W/AG F/Sgt James William Willesden,
(6) W/AG F/Sgt J. B. Miller, 406811,
(7) Flight Engineer Sgt Alfred Harvey Brooks Wadham, 28840,
(8) Flight Engineer Sgt Herbert John Alexander Coates, 35037,
(9) Air Gunner Sgt Philip Charles Carter, 34396 dan
(10) Air Gunner Sgt George Wise Whitley, 41312.
Saat Perang Pasifik itu, beberapa bangunan kemudian dijadikan oleh Jepang sebagai basis pertahanan mereka. Bangunan gereja pun tidak luput dijadikan sebagai tempat pertahanan. Namun, Sekutu yang mengetahui hal itu, kemudian membombardir bangunan gereja itu. Bangunan yang masih sederhana itu rata dengan tanah, api berkobar dimana-mana. Menurut saksi mata (eyewitness), Teminabuan dan Inanwatan seperti kota mati.
Sebuah lonceng gereja kemudian dibawa dari Inanwatan ke Kampung Waren di Ransiki (Manokwari Selatan). Selama beberapa waktu lonceng besi itu dipergunakan Jepang sebagai tanda jam kerja sebelum akhirnya dibawa ke Biak dan menjadi lonceng gereja kembali. Setelah 79 tahun kemudian, lonceng gereja itu pun dikembalikan ke Inanwatan dan dipasang kembali di gereja GKI Bethel Inanwatan.
Meskipun keberadaan Jepang hanya “seumur jagung” tetapi terkadang ada peninggalan nama-nama yang identik dengan bahasa Jepang. Di Moswaren sendiri ada nama kampung Hararo dan Kamisabe serta Yohsiro. Di Kokoda, ada juga nama-nama yang mirip bahasa Jepang, yaitu Korewatara dan Migori.
Teminabuan Dan Inanwatan Pasca Perang Dunia II
Tujuh tahun setelah Perang Pasifik usai, orang-orang Inanwatan banyak yang pindah ke Sorong dan bekerja di Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Mereka ditempatkan di Klamono ataupun Kasim, Wasian dan Jeflio. Dampak Perang Dunia II yang terjadi di kawasan Kepala Burung bagian selatan, berangsur pulih.
Di Teminabuan, 15 tahun setelah Perang Dunia II, mulai dibangun jalan tembus dari Ayamaru. Jalan yang melewati Kampung Waren itu difungsikan sebagai sarana transportasi khususnya untuk mengangkut hasil perkebunan kopi yang ada Moswaren. Sebab, sebelum dan sesudah Perang Pasifik, Belanda membuka perkebunan kopi disana.
Hingga tahun 1990, barang peninggalan perkebunan kopi itu masih bisa dilihat. Sayangnya, sebagaimana di lokasi lainnya ada tangan-tangan jahil, di Moswaren juga akhirnya jejak peninggalan Belanda itu hilang karena ulah tangan-tangan jahil tersebut. Menurut informasi warga Moswaren, dulu sempat melihat alat berat, senapan anti-aircraft yang besar dan juga semacam kerangkeng besi.
Keberagaman di Teminabuan Bag. 1
Pada 1994, sekitar 200 orang Jawa ditempatkan di Moswaren. Mereka disebar menjadi dua satuan pemukiman atau SP, yaitu di SP 1 dan SP 2. Karena datangnya dari arah Ayamaru, maka lokasi SP 1 terletak di bagian yang ke arah Ayamaru, sedangkan SP 2 di bagian ke arah menuju Teminabuan.
Jaab Timer menulis demikian dalam makalahnya, A Bibliographic Essay on the Southwestern Kepala Burung (Bird’s Head, Doberai) of Papua, “Just outside the Teminabuan sub-district, in the subdistrict of Aitinyo there is a so-called transmigration site in Moswaren where around two hundred Javanese attempt to make a living.”
Selain orang-orang Jawa, kini orang-orang Bugis, Buton dan Makassar atau dikenal dengan singkatan BBM juga mulai menempati kawasan sekitar Teminabuan. Begitu juga orang-orang dari Manado dan Toraja, mulai mengisi di kantor pemerintahan. Sebagian kecil orang Batak juga menjadi guru.
Adalah menjadi suatu kebiasaan di kawasan Timur ini, bahwa terkadang nama-nama tempat merupakan singkatan atau akronim dari beberapa nama. Misalnya, di Kota Sorong ada nama HBM yang merupakan kependekan dari Holland Beton Maatschappij. Ada juga UT (dibaca Yu-Ti) di Kilo 13 yang berasal dari United Tractors.
Di Ayamaru, Maybrat, kita kenal juga nama Fategomi yang merupakan singkatan dari nama beberapa kampung. Kampung baru itu terdiri dari empat nama, yaitu Faan, Tehak, Gohsames dan Mirapan. Ini merupakan kampung awal dimana roda pemerintahan pernah dijalankan disana. Oleh sebab itu, dengan alasan sejarah tersebut, Fategomi layak diusulkan menjadi ibukota Kabupaten.\
Di kawasan Beraur (Berau) yang mencakup kampung Suku Kokoda, ada nama Nebes. Kampung Nebes merupakan singkatan dari Negeri Besar. Negeri Besar sendiri telah mengalami beberapa kali pemekaran sehingga memunculkan banyak kampung baru lagi. Bahkan, kini sudah menjadi Distrik Kokoda dengan ibukota di Kampung Tarof.
Penulis: Mln. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Muballigh Daerah Papua Barat; Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial-Enterpreneur dan Kemanusiaan)