By : Mln. Dudi Abdul Hamid, Salatiga – Jawa Tengah.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri.
(Qs. Ali-Imran, 3:103)
Setiap bulan suci Ramadhan kita berulang-ulang telah diajarkan mengenai ketakwaan, dengan tujuan tiada lain kecuali sedapat mungkin hati kita dipenuhi dengan ketakwaan. Mengapa ketakwaan menjadi sesuatu yang sedemikian penting? Karena ketakwaan merupakan sumber dari setiap kebaikan, yang karenanya ia menjadi tujuan dari setiap amal saleh yang kita lakukan. Jika ketakwaan ini yang selalu menjadi landasan dan tujuan amal kita, insyaAllah kebaikan yang kita amalkan akan dinilai sebagi kebaikan yang sesungguhnya.
Hadhrat Masih Mau’ud as dalam sebuah syairnya yang indah bersabda:
“Akar setiap kebaikan adalah takwa, jika akar ini ada maka semuanya akan tetap ada.”
Apa yang disabdakan Hadhrat Masih Mau’ud as merupakan rangkuman dari semua perintah dan maksud dari tujuan ibadah yang diperintahkan Allah swt dalam Al-Quran dan yang telah dicontohkan secara sempurna oleh junjungan kita Yang Mulia, Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah saw.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menjadikan kamu dan orang- orang yang sebelummu supaya kamu bertakwa.” (QS Al Baqarah 2: 22)
Ketika Allah Ta’ala memberikan perintah tentang pengorbanan misalkan; maka ketakwaan ini jugalah yang menjadi ukurannya. Bukan besar-kecilnya pengorbanan atau daging-darahnya yang akan sampai kepada Allah.
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ
“Sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, dagingnya dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu…” (QS Al Hajj 22: 38)
Begitu juga pernikahan dalam Islam, satu ibadah menyatukan dua insan dalam ikatan yang suci. Tujuannya tiada lain adalah ketakwaan. Karenanya Rasulullah saw dalam khutbah-khutbah nikah berulang-ulang menasehatkan tentang ketakwaaan.
Jadi, ketakwaaan adalah central dari setiap ibadah yang darinya setiap kita harus berusaha memperolehnya. Karena dengan meraih ketakwaan maka artinya kita telah memperoleh segala-galanya.
Dalam menjalankan ibadah puasa ini pun sebagaimana telah disinggung di awal pembahasan, ketakwaan menjadi tujuan utama dari ibadah ini. Suasana khas Ramadhan yang merupakan bulan ibadah merupakan cerminan dari pola hidup takwa yang sepatutnya terus dijaga, bahkan semestinya menjadi warna dari kehidupan keseharian kita sepanjang tahunnya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Quran Karim:
يايّها الّذين امنوا اتّقوا الله حقّ تقته و لا تموتنّ الّا و انتم مّسلمون
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri”. (Qs. Ali-Imran, 3:103)
Perintah “janganlah kalian mati kecuali telah menyerahkan diri kalian kepada Allah” setelah perintah takwa yakni; ”bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya”, mengandung hikmah agar tidak ada satu detik pun dari kehidupan kita yang kosong dari ketakwaan.
Apa tanda bahwa kita telah meraih ketakwaan? Dalam surah yang sama –yakni Ali Imran– melanjutkan perintah tentang takwa tadi, Allah Ta’ala berfirman:
واعتصموا بحبل الله جميعًا وّ لا تفرّقوا
“Dan berpegang-teguhlah kalian kepada tali ALLAH dan janganlah kalian bercerai-berai”. (Qs. Ali-Imran, 3:104)
Jadi, satu di antara tanda ketakwaan adalah ia akan dikumpulkan pada satu tangan dan berpegang pada satu tali yang merupakan tali Allah Allah-Ta’ala, dan ini adalah satu tanda pengenal yang khas. Untuk itu, menjadi satu karunia tersendiri bagi para Ahmadi bahwa pada hari ini di seluruh dunia tidak ada yang memperoleh tanda ini kecuali Jemaat Ahmadiyah. Setiap Ahmadi dalam setiap urusannya berada di bawah komando “satu tangan”, yakni Khilafah.
Karenanya, menjadi satu keharusan bagi kita agar kita terus berusaha jangan sampai ada satu saat pun dari kehidupan kita yang terlewati tanpa keridhaan Ilahi. Kita harus bersyukur atas rahmat serta karunia Allah yang telah menurunkan ‘tali–Nya’ kepada kita, dan kita telah berpegang teguh kepadanya. Tali Allah tersebut telah mempersatukan kita dalam perasaudaraan rohani yang global. Dan telah menyelamatkan kita dari perpecahan.[1]
[1] Khutbah ‘Idul Fitri Hadhrat Khalifatul Masih IV rh, Tg1.30-1-1998. Mesjid Fadhal, London